Jakarta, Prohealth.id – Pada 17 Maret 2023 lalu, Indonesia memperingati Hari Perawat Nasional yang ke-49. Adapun Hari Perawat Nasional Tahun ini, mengusung tema “Gapai Sejahtera dengan Profesionalisme”. Dengan hadirnya tema tersebut, diharapkan para perawat dapat senantiasa menjaga profesionalitas.
Hari Perawat Nasional diperingati bersamaan dengan berdirinya organisasi profesi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada 17 Maret 1974 silam. Organisasi ini dicetuskan dengan alasan tenaga keperawatan yang harus berada di bawah organisasi profesi.
Menurut Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) DKI Jakarta, Ns. Jajang Rahmat S, M. Kep, Sp.Kep.Kom, dalam Instagram Live bersama Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan tema Hari Perawat Nasional tahun ini ingin menekanan pada kualitas kerja para perawat di Indonesia.
Ns. Jajang menjelaskan, perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan adalah profesi dengan memberikan layanan secara profesional berpraktik untuk menjawab masalah kesehatan. Untuk itu layanan perawat harus diselenggarakan dengan standar profesionalisme kerja, sesuai kode etik profesi keperawatan. Ia menegaskan, profesionalisme kerja ini tidak boleh sebatas peningkatan upah saja, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan hidup dan hak-hak utama para perawat yang harus dipenuhi melalui kebijakan pada sektor kesehatan.
“Berkaitan dengan itu, maka kami berfokus meningkatkan profesionalisme perawat dalam pelayanan kesehatan antara lain dengan peningkatan kompetensi, integritas, dan pendekatan pasien sehingga apa yang kami laksanakan berdampak pada kesejahteraan,” ujar Ns. Jajang pada 16 Maret 2023 lalu.
Untuk itu, salah satu hal yang masih penting dan belum optimal dibahas adalah pengembangan karir bagi perawat. Selain itu juga peningkatan kualitas kerja dan aktivitas sosial perawat.
“Maka kami sampaikan ini semua harus menjadi pemicu bagi kita untuk menggapai layanan kesehatan yang profesional,” kata Ns. Jajang.
Sebagai Ketua DPW PPNI DKI Jakarta, Ns. Jajang membeberkan saat ini ada 58.138 perawat di ibu kota yang menjadi anggota PPNI DKI Jakarta. Sebanyak 58.000 perawat ini bekerja rata-rata di rumah sakit pemerintah, RSUD, RS swasta, puskesmas, klinik, maupun layanan kesehatan praktik mandiri.
Melalui upaya mendorong profesionalisme dan kualitas layanan kesehatan, Ns. Jajang mengingatkan beberapa fokus utama PPNI bagi anggota perawat di seluruh Indonesia. Upaya ini bertujuan juga untuk menekan kesenjangan antara tenaga kesehatan.
Pertama, menjamin perawat bisa langsung melayani masyarakat baik di RS, puskesmas, maupun klinik dengan memberikan dampak yang terbaik bagi komunitas masyarakatnya.
Kedua, perawat harus memiliki kompetensi sebagai pendidik dalam masyarakat. Dengan demikian, para perawat bisa memberikan pelayanan seperti yang dilakukan untuk pendidikan layanan kesehatan, khususnya bagi pasien. Standar kompetensi ini juga bahkan bisa dimanfaatkan perawat dalam lingkungan internal seperti keluarga.
Ketiga, perawat perlu memiliki kompetensi sebagai peneliti atau periset sehingga bisa meneliti dan memperhatikan perubahan dinamika kesehatan dalam masyarakat tempatnya bekerja.
Keempat, perawat juga harus menguasai kemampuan manajerial. Dengan demikian menurut Ns. Jajang, perawat bisa berperan mumpuni dalam mengatur mekansime layanan kesehatan di sebuah wilayah.
Kelima, perawat sebagai garda terdepan harus punya standar interaksi atau attitude yang baik untuk bisa menerima pasien sesuai kode etik. Selain itu, attitude bisa berperan untuk menekan cedera psikis maupun fisik yang dialami pasien selama proses pengobatan.
Terakhir adalah pentingnya merumuskan kebijakan yang pro terhadap kualitas hidup perawat. Misalnya dengan menjamin upah perawat tidak dibawah standar UMR atau UMP.
Sementara itu Ahli Patologi Klinis di Universitas Sebelas Maret (UNS) dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, PhD, FISQua menambahkan, persepsi adanya bias atau kasta antara dokter dan perawat harus segera dituntaskan.
Menurut dr. Tonang, sebelum era tahun 2000-an, banyak perawat di Indonesia yang tingkat pendidikannya sebatas asisten perawat tapi sudah langsung terjun untuk bekerja. Kesenjangan ini tercipta karena para dokter sejak dulu sudah pasti merupakan lulusan sarjana.
“Ini kesannya menjadi beda kasta walau sebenarnya tidak. Ini yang saya dapatkan kesannya saat saya masih di level pendidikan kedokteran,” ujar dr. Tonang melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id.
Untuk menangkal bias tersebut dr. Tonang menekankan pentingnya kerja sama antara dokter dan perawat bersama semua tenaga kesehatan. Dia juga menolak persepsi bahwa tenaga kesehatan selain dokter hanyalah ‘pembantu’ sekalipun jenjang pendidikannya berbeda.
Untungnya saat ini level pendidikan keperawatan semakin berkembang, dari level diploma sebagai sekolah vokasi. Dengan demikian, kompetensi perawat juga makin meningkat sehingga bentuk kerja sama dokter-perawat mengalami perubahan. Kondisi ini terjadi awal 2000-an.
“Setelah itu pendidikan keperawatan semakin berkembang, mulai banyak yang mencapai level S1, yang mulai banyak mendekati 2010-an. Bahkan setelah itu, semakin tinggi melangkah ke S2 dan S3. Juga mulai banyak yang melanjutkan sekolah di luar negeri bahkan ada yang profesor,” ungkap dr. Tonang.
Barulah pada tahun 2010-2020an, spesialisasi keperawatan makin berkembang. Setidaknya, ada 5 jenis pendidikan spesialis keperawatan yakni; keperawatan anak, keperawatan jiwa, keperawatan komunitas, keperawatan maternitas dan keperawatan medikal bedah. Implikasi perkembangan pendidikan akademis maupun profesional adalah makin berkembangnya kompetensi keperawatan. Hal ini makin diperkuat dengan Standar Profesi Perawat ditetapkan pada Kepmenkes 425 tahun 2020.
“Apakah perawat jadi seperti dokter? Ya, memang arahnya kesana. Teman-teman keperawatan pun berharap sampai ke sana. Bahkan ada satu yang menarik bahwa ada juga kawan-kawan keperawatan yang memfokuskan diri pada perawat manajerial. Ini sinkron dengan kebutuhan lapangan bahwa perawat juga ada tugas manajerial yakni kepala ruang perawatan, atau ruang pelayanan lainnya,” ungkap dr. Tonang.
Meski demikian ia menegaskan kompetensi keperawatan berbasis spesialis tidak akan sama dengan dokter. Ia beralasan, ada beberapa konteks kewenangan dalam pengobatan yang hanya dimiliki oleh dokter dan tidak dimiliki oleh perawat.
“Contohnya, menyuntikkan obat itu kompetensi dan kewenangan dokter yang merawat pasien. Perawat berkompetensi menyuntik, tapi tidak berwenang. Nah, dalam kondisi inilah ada mekanisme pendelegasian kewenangan menyuntik dari dokter ke perawat. Dalam hal ini bukan dokter menyuruh, tetapi dokter mendelegasikan kepada perawat,” terang dr. Tonang.
Mekanisme ini diyakini dr. Tonang masih akan berjalan guna menjaga kelancaran dan keberlangsungan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, pihak yang mendelegasikan tugas yakni dokter bertanggung jawab bahwa yang diberikan delegasi adalah orang yang berkompeten. Sehingga, yang diberikan delegasi juga bertanggung jawab untuk melaksanaan tugas yang didelegasikan dengan baik.
Berkaitan dengan kemampuan mendiagnosis, sekalipun perawat punya kemampuan mendiagnosis, namun diagnosis yang dilakukan perawat sebatas untuk asuhan keperawatannya. Dokter tetap berfungsi utama untuk menegakkan diagnosis secara medis, sementara perawat menegakkan diagnosis untuk asuhan keperawatan pasien.
Discussion about this post