Jakarta, Prohealth.id – Ratusan ibu hamil mengalami kematian pada 2020. Catatan WHO, pada 2020 kematian ibu hamil mencapai 287.000 kasus. Ini artinya, 1 ibu meninggal setiap dua menit.
WHO mengungkapkan ada banyak faktor penyebab kematian ibu hamil. Namun, seringkali tidak terdeteksi atau tidak mendapat pengobatan tepat waktu. Akibatnya, terjadi komplikasi yang parah dan memperburuk risiko kehamilan bagi jutaan perempuan di seluruh dunia.
“Padahal, memahami mengapa ibu hamil dan ibu meninggal sangat penting untuk mengatasi krisis kematian ibu yang masih ada di dunia dan memastikan perempuan memiliki peluang terbaik untuk bertahan hidup saat melahirkan,” kata Direktur Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta Penelitian di WHO, Dr. Pascale Allotey dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/3/2025) memperingati Hari Perempuan Internasional.
Hasil penelitian terbaru WHO, dari ratusan ribu ibu hamil yang meninggal, sebanyak 27 persen di antaranya akibat pendarahan hebat. Lalu ada 16 persen karena preeklamsia dan gangguan hipertensi.
Sebagai informasi, preeklamsia adalah kondisi serius yang ditandai dengan tekanan darah tinggi yang dapat menyebabkan pendarahan, stroke, kegagalan organ, dan kejang jika tidak diobati atau terlambat diobati
Penelitian yang terbit di Lancet Global Health tidak hanya menguraikan penyebab utama obstetri langsung. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kondisi kesehatan lainnya, termasuk penyakit menular dan kronis seperti HIV/AIDS, malaria, anemia, dan diabetes. Semua jenis penyakit ini menyebabkan hampir seperempat yakni 23 persen, kematian terkait kehamilan dan persalinan.
Pascale Allotey menilai banyaknya kematian ini juga sebabkan oleh masih banyaknya perempuan yang sulit mengakses pelayanan kesehatan dan perawatan kehamilan. Hal ini juga merupakan masalah kesetaraan yang sangat besar secara global – perempuan di mana pun membutuhkan perawatan kesehatan berkualitas tinggi dan berbasis bukti sebelum, selama, dan setelah melahirkan.
“Selain itu juga upaya untuk mencegah dan mengobati kondisi mendasar lainnya yang membahayakan kesehatan mereka,” tambahnya.
Penyebab langsung lainnya meliputi: sepsis dan infeksi; emboli paru; komplikasi dari aborsi spontan dan yang diinduksi – termasuk keguguran, kehamilan ektopik, dan masalah yang berkaitan dengan aborsi yang tidak aman. Selain itu juga komplikasi anestesi dan cedera yang terjadi selama persalinan.
Temuan ini menyoroti perlunya memperkuat aspek-aspek utama perawatan maternitas, termasuk pelayanan yang mendeteksi risiko sejak dini pada kehamilan dan mencegah komplikasi yang parah.
Selain itu juga harus memperkuat aspek kebidanan yang dapat menangani keadaan darurat terkait kelahiran yang kritis seperti pendarahan atau emboli, dan perawatan pascanatal.
Peneliti WHO, Dr. Jenny Cresswell menyebut sebagian besar kematian ibu terjadi selama atau segera setelah melahirkan, menjadikan ini sebagai waktu yang kritis untuk menyelamatkan nyawa. Namun, sekitar sepertiga perempuan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah, masih belum menerima pemeriksaan pascanatal atau setelah kelahiran. Padahal ini mekanisme yang penting pada hari-hari pertama setelah melahirkan.
Pada tingkat populasi, intervensi pencegahan yang lebih luas dapat membantu mengurangi prevalensi kondisi kesehatan yang mendasarinya, seperti penyakit tidak menular dan kekurangan gizi. Ia menyebut, sering kali bukan hanya satu tetapi banyak faktor yang saling terkait yang menyebabkan kematian wanita selama atau setelah kehamilan, alias preeklamsia.
“Misalnya dapat secara signifikan meningkatkan kemungkinan pendarahan serta komplikasi lain yang dapat terjadi bahkan lama setelah melahirkan,” ujar Jenny Cresswell yang juga merupakan penulis laporan penelitian tersebut.
Ia menambahkan, pendekatan yang lebih holistik terhadap kesehatan ibu telah terbukti memberi perempuan peluang terbaik untuk kehamilan dan kelahiran yang sehat. Perempuan juga bisa menikmati kualitas hidup yang langgeng setelah melahirkan. Oleh karenanya, sistem kesehatan harus mampu mendukung mereka di berbagai tahap kehidupan.
Studi ini mengacu pada data nasional melalui laporannya ke WHO dan sejumlah sumber terkait. Data sementara masih belum bisa mengungkapkan penyebab kematian lainnya.
Para peneliti juga telah meminta lebih banyak data tentang bunuh diri ibu. Namun, saat ini hanya tersedia untuk 12 negara. Di sisi lain, sebagian besar negara tidak melaporkan kematian ibu.
Penelitian terbaru ini merupakan perbaruan dari penelitian yang sebelumnya pada 2014 silam. Penelitian sebelumnya, menemukan angka kematian ibu hamil pada periode 2003-2009. Pada penelitian tersebut, pendarahan juga menjadi penyebab kematian terbesar dalam analisis sebelumnya, yakni 27 persen.
Data yang berhasil teridentifikasi melalui tiga jalur utama. Pertama, Basis Data Mortalitas WHO; laporan yang terbit oleh Negara Anggota WHO (Basis Data MMEIG); dan artikel jurnal yang teridentifikasi melalui basis data bibliografi.
Penyebab kematian ibu dikelompokkan ke dalam kategori yang selaras dengan kode Klasifikasi Penyakit Internasional-Kematian Ibu (ICD-MM). Lalu aborsi yang berkaitan dengan keguguran, kehamilan ektopik, dan aborsi yang diinduksi. Ada juga, emboli, perdarahan, gangguan hipertensi, sepsis terkait kehamilan, penyebab langsung lainnya, dan penyebab tidak langsung.
Estimasi baru untuk jumlah total kematian ibu, termasuk data global, regional, dan tingkat negara, akan rilis pada bulan April 2025. Data ini yang mencakup periode 2000-2023.
Pada sisi lain, WHO mengklaim telah berupaya untuk memperkuat akses layanan kehamilan dan pasca kehamilan. Pada 2024, WHO dan mitra meluncurkan Peta Jalan global untuk Perdarahan Pascapersalinan. Peta Jalan ini menguraikan prioritas utama untuk mengatasi penyebab utama kematian ibu ini
Pada tahun yang sama, 194 negara Majelis Kesehatan Dunia mengeluarkan resolusi yang berkomitmen memperkuat perawatan berkualitas. Mulai dari masa sebelum, selama, dan setelah melahirkan.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post