Jakarta, Prohealth.id – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan selama dua bulan awal tahun 2023 sudah ada 10 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Jumlah korban dari 10 kasus tersebut bahkan mencapai 86 orang.
FSGI menyebut dari total 10 kasus, sebanyak 9 kasus tercatat sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan semua dalam proses penanganan oleh kepolisian, sedangkan 1 kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan pengurangan jam mengajar oknum guru pelaku.
Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI mengkritik keras hukuman tersebut karena tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah, dan sangat mungkin setiap hari bertemu oknum guru pelaku di lingkungan sekolah tersebut.
Retno juga menegaskan, guru pelaku tersebut bisa tetap berpotensi melakukan hal yang sama tapi pada anak yang lain. Keputusan hukuman semacam itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak berpresfektif melindungi anak di lingkungan sekolah.
Retno menerangkan, pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 10 orang dan semuanya adalah laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu pimpinan pondok pesantren dan guru sebagai pelaku merupakan jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebanyak 40 persen, ada juga kepala sekolah dan penjaga sekolah masing-masing 10 persen. Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,20 persen, dan korban anak perempuan mencapai 62,8 persen.
Heru Purnomo, selaku Sekjen FSGI menambahkan, kekerasan seksual terhadap anak yang berbasis daring pada tahun 2023 ada 1 kasus atau setara 10 persen, dan 90 persen kasus dilakukan secara luring oleh pelaku.
“Kekerasan seksual berbasis daring terjadi diawal tahun 2023 ini, menyasar pada anak-anak usia SD dengan jumlah korbannya 36 anak, dan 22 anak dari 36 tersebut merupakan teman satu sekolah yang sama, laki-laki maupun perempuan”, ungkap Heru.
Mutasi tak beri hukuman jera
FSGI mengamati bahwa selama ini, jika terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh pendidik, maka acuan hukuman yang digunakan oleh Dinas Pendidikan dan SKPD lainnya di Indonesia dalam mengurus guru dan non guru PNS dan PNS lainnya, yang menjadi pelaku pidana KS misalnya, maka biasanya digunakan Peraturan yang dipakai sebagai acuan adalah PP No. 53 Tahun 2010. Tidak ada peraturan lain yang terkait mutasi khusus bagi guru yang merugikan peserta didik kecuali PP No. 53 Tahun 2010 tersebut.
Guntur Ismail, Ketua Tim Kajian Hukum FSGI menegaskan, dinas pendidikan di Indonesia umumnya menggunakan peraturan yang berlaku umum yaitu peraturan kepegawaian. Sehingga, yang dihukum dalam hal ini bukan jabatan gurunya melainkan pegawainya. Sementara dalam hukum kepegawaian tidak ada hukuman penjara, sehingga kerap kali sanksi ketika korban tidak melapor ke polisi terkait perbuatan pelecehan seksual dan bahkan pencabulan adalah berupa mutasi. Padahal mutasi bukanlah hukuman, tetapi untuk promosi jabatan atau atas keinginan si pegawai sendiri.
Dampaknya untuk sejumlah kasus, si guru pelaku mengulangi perbuatan yang sama kelak di kemudian hari di tempat bertugasnya yang baru dengan korban anak yang lain, artinya tidak ada efek jera dengan hukuman mutasi.
Guntur mengambil contoh misalnya, kasus kekerasan seksual dilakukan guru agama berinisal AM (33 tahun) dan berstatus PNS yang juga menjabat pembina OSIS di SMPN di Kabupaten Batang, Jawa Tengah (2022). Ternyata pelaku diduga pernah melakukan kekerasan seksual di sekolah sebelumnya, namun keluarga korban tidak melapor ke polisi.
“Ada juga kasus guru agama dengan status PNS berinisal M (51 tahun) di salah satu SD di Kabupaten Cilacap yang mencabuli 15 siswinya di berakhir dengan mediasi yang kemudian guru pelaku dimutasi, lalu berbuat KS lagi terhadap siswinya di sekolah yang baru,” ujar Guntur.
Guntur menambahkan, untuk kejahatan seksual yang dilakukan secara berulang dengan melihat kasus dan dampak yang ditimbulkan bagi korban, orang tua, masyarakat, dan latar belakang pelaku menyalahgunakan kekuasaan.
“Hendaknya menjadi prioritas dalam penegakan hukum penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 12 Tahun 2022 Pasal 6 huruf c dengan ancaman hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp300.000.000 [tiga ratus juta rupiah],”
Rekomendasi FSGI
Berangkat dari kondisi tersebut, ada beberapa rekomendasi dari FSGI.
Pertama, mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memastikan bahwa, para pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana. Hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi.
“Kalau hukumannya hanya mutasi, maka diduga kuat guru pelaku tersebut berpotensi melakukan perbuatan yang sama di tempat yang baru dengan korban lain.”
Mendorong hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan mandat dari UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menyatakan bahwa; “Perkara tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.”
Kedua, FSGI mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi melakukan sosialisasi secara masif dan implementasi kebijakan dari Permendikbudristekdikti No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Ketiga, FSGI juga mendorong Kementerian Agama untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di madrasah dan pondok pesantren, atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag. Hal ini mengingat kasus kekerasan seksual di lingkungan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek.
Keempat, FSGI mendorong Kemenag RI dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Lampung melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 ke seluruh lembaga berbasis keagamaan, secara formal dan non formal, dengan menekankan keberpihakan terhadap korban. Hal ini mengingat, kasus-kasus KS terjadi disejumlah pesantren di wilayah Lampung.
Kelima, FSGI mendorong dinas-dinas pendidikan kabupaten/kota/provinsi dan Kantor Kemenag kabupaten/kota/provinsi untuk melakukan kerja sama dengan SKPD di daerah seperti dinas PPPA dan P2TP2A tingkat kabupaten/kota/provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual. Hal ini mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Keenam, FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan kerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi di wilayahnya yang memiliki fakultas psikologi untuk membantu pemulihan psikologis anak-anak korban kekerasan seksual. Hal ini mengingat proses pemilihan psikologi anak korban kekerasan seksual umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post