Jakarta, Prohealth.id – Tiga dekade setelah kesepakatan Deklarasi dan Platform Aksi Beijing, kesetaraan gender di Indonesia masih belum selesai menghadapi tantangan besar.
Untuk memperingati momen tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama bersama United Nations Population Fund (UNFPA), United Nations Women (UN Women), dan United Nations Development Programme (UNDP) mengungkapkan bahwa perempuan di Indonesia masih menghadapi risiko tinggi dalam kesehatan reproduksi, kekerasan berbasis gender, hingga ketidaksetaraan ekonomi.
Laporan terbaru UN Women, Women’s Rights in Review 30 Years After Beijing, yang rilis menjelang Hari Perempuan Internasional ke-50 PBB, menunjukkan hampir seperempat pemerintah di dunia melaporkan adanya kemunduran dalam hak perempuan.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres dalam rilis UN edisi Hari Perempuan Internasional 2025,, menegaskan alih-alih mengarusutamakan kesetaraan, kita justru melihat misogini yang semakin meluas.
“Bersama, kita harus berdiri teguh dalam mewujudkan hak asasi manusia, kesetaraan, dan pemberdayaan bagi semua perempuan dan anak perempuan, di mana pun mereka berada.”
Kesetaraan Gender di Indonesia Masih Jauh dari Target
Deklarasi Beijing 1995 menjadi tonggak pengarusutamaan gender di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2000, strategi ini telah terintegrasi dalam perencanaan pembangunan nasional. Namun, tantangan implementasi masih tinggi, terutama dalam anggaran yang responsif gender.
“Masih perlu perubahan paradigma dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan gender,” ujar Indra Gunawan, Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA.
Fakta Kesehatan Perempuan: Angka Kematian Ibu Masih Tinggi
Dalam sektor kesehatan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Menurut UNFPA, satu perempuan meninggal setiap jam akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Sementara, Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup pada 2020. Ini masih jauh dari target SDGs 3.1.
Sayangnya, menurut Verania Andria dari UNFPA, kematian Ibu saat proses kehamilan seringkali masih belum mendapat perhatian sebagai permasalahan yang serius. Ia mengatakan, terkadang saat membicarakan kematian karena kehamilan banyak komentar nirempati.
“Contohnya; ‘Nggak apa-apa, kalau meninggal itu jihad, nanti masuk surga.’ Padahal perlu banyak pembenahan agar hal tersebut tidak terjadi,” ujarnya.
Pernikahan anak adalah salah satu faktor signifikan yang menyebabkan kematian Ibu. Asisten Perwakilan UNFPA, Verania Andria, menyoroti urgensi pendidikan kesehatan reproduksi dalam menekan angka permasalahan terkait. Di Indonesia, pendidikan seks mendapat cap sebagai ajakan menuju “seks bebas.” Padahal, menurut John Santrock, pendidikan ini bukan sekadar mencegah hubungan seks dini atau kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga membekali remaja dengan pemahaman tentang tubuh mereka sendiri, kesadaran terhadap risiko, serta nilai-nilai dan seksualitas diri.
“Tujuannya bukan untuk mendorong seks bebas, melainkan memberi pemahaman yang benar agar perempuan dapat melindungi dirinya sendiri,” ujarnya.
Lebih dari sekadar pencegahan, pendidikan seks juga berperan dalam memberikan ruang bagi remaja yang telah aktif secara seksual—baik sendiri maupun dengan pasangan—untuk memahami batasan dan kendali atas tubuh mereka. Dengan demikian, pendidikan ini menjadi alat perlindungan terhadap kekerasan, bukan sekadar upaya pencegahan.
UNFPA juga menyoroti sunat perempuan, sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang masih terjadi di Indonesia. “Meskipun sering dianggap hanya sebagai simbolis, praktik ini tetap berisiko dan memperkuat budaya patriarki yang membatasi hak perempuan atas tubuhnya sendiri,” ujar Verania.
Data menunjukkan bahwa 46,3 persen perempuan berusia 15-49 tahun pernah mengalami pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP).
“Banyak yang menganggap ini hanya goresan kecil. Tetapi bagi perempuan yang mengalaminya, ini adalah luka yang tertanam seumur hidup,” lanjut Verania.
Praktik ini mulai sejak usia 4-5 tahun dengan berbagai metode. Dengan penggunaan bambu hingga capit udang, yang sering kali meninggalkan trauma fisik dan psikologis. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan larangan praktik ini sejak 2014, tetapi implementasi di lapangan masih lemah.
“Kami butuh pengawasan ketat dan penegakan hukum yang tegas. Perlu penguatan edukasi kepada masyarakat agar praktik ini benar-benar berhenti,” kata Verania.
Krisis Global Memperburuk Ketimpangan Gender
Dalam dekade terakhir, jumlah perempuan dan anak perempuan yang hidup di daerah konflik meningkat hingga 50 persen. Pembela hak-hak perempuan menghadapi pelecehan, serangan pribadi, bahkan ancaman kematian setiap harinya.
“Perempuan dan anak perempuan menuntut perubahan—dan mereka tidak boleh mendapatkan apa pun yang kurang dari itu,” tegas Dwi Yuliawati, Head of Programmes dari UN Women.
Selain itu, berbagai krisis global—termasuk pandemi COVID-19, darurat iklim, dan lonjakan harga pangan serta energi—semakin menekan hak-hak perempuan. Kesenjangan digital juga menjadi tantangan serius, dengan algoritma kecerdasan buatan yang memperkuat stereotip gender dan membatasi akses perempuan terhadap peluang digital.
Adapun krisis iklim semakin memperburuk ketimpangan gender. KemenPPPA mencatat bahwa perempuan di desa nelayan dan komunitas hutan mengalami dampak langsung dari krisis iklim, termasuk kehilangan mata pencaharian dan meningkatnya angka kematian ibu akibat cuaca ekstrem.
Selain itu, Dwi menambahkan bahwasanya beban ekonomi perempuan juga semakin berat. Sebanyak 70 persen pekerjaan perawatan di Indonesia masih tidak mendapat upayh (unpaid care work). Bahayanya, sebagian besar perempuan melakukan pekerjaan itu. Harapannya, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PRT) dapat memberikan perlindungan masih tertahan di DPR.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post