Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Wina sudah bangun. Dapur masih gelap, hawa dingin terasa menusuk, tapi tangannya sigap menyiapkan sarapan. Ia memastikan semuanya siap sebelum majikannya bangun. Tak ada jeda. Waktu makannya hanya 30 menit, itupun dalam pengawasan. Jangan sampai terlihat bersantai. Jangan sampai terlihat lelah.
“Saya makan buru-buru, takut dimarahi karena dianggap malas,” kenangnya.
Wina masih remaja ketika meninggalkan kampung halamannya di Manonjaya, Tasikmalaya. Tahun 1997, di usia 14 tahun, ia mulai bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hanya tamat SMP, tanpa banyak pilihan, ia harus bekerja. Setahun di kampung, lalu merantau ke Hongkong sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sejak itu, hidupnya berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain. Awal-awal di luar negeri penuh ketakutan.
“Di Hongkong, saya kerja nyaris 24 jam. Bangun subuh, tidur lewat tengah malam. Bos galak, nggak ada waktu istirahat. Saya takut, karena ini bukan negara saya,” katanya.
Tak Ada Akhir untuk Pekerjaan
Setiap hari ia mengurus rumah, memasak, mencuci, mengasuh anak. Beban kerja terus bertambah. Jika satu pekerjaan selesai, selalu ada tugas baru.
Beban kerja Wina tak pernah habis. Setiap ia merasa sudah menyelesaikan tugas, ada saja yang baru. Waktu istirahat pun hampir tak ada.
Hari libur? Itu hanya formalitas. “Saya nggak tahu harus ke mana. Majikan juga melarang saya bergaul dengan orang lain,” katanya.
Setelah menikah pada 2007, Wina mencoba berhenti bekerja. Tapi kebutuhan hidup memaksanya kembali. Pernah, dalam sehari, ia bekerja di empat rumah berbeda, berpindah dari satu ke yang lain.
Saat hamil anak kedua, ia masih bekerja. Perutnya membesar, tapi ia tetap mengepel lantai dan menggendong bayinya yang masih merah. “Saya bersih-bersih di satu rumah, lanjut ke rumah lain. Begitu terus,” katanya.
Gajinya? “Ada yang cuma Rp300 ribu per bulan, paling besar Rp800 ribu.”
Pindah dari rumah ke rumah. Tapi ada satu hal yang tak berubah: kelelahan.
“PRT kayak saya kerja 24 jam. Tiap dipanggil, harus siap. Sopir aja kerjanya cuma nyetir, banyak nunggu, tapi gajinya lebih gede,” ujarnya.
Namun, yang lebih berat dari kelelahan adalah rasa takut. Di antara pekerjaan yang tak ada habisnya, ada pengalaman yang membuatnya trauma. Suatu hari, majikan laki-lakinya meminta pijatan. Awalnya terlihat biasa saja, sampai ia menyadari permintaan itu berujung kekerasan seksual. Wina kaget, takut, merasa terhina. Tapi ia diam. “Malu. Dan siapa yang akan percaya? Saya hanya pembantu, dia punya uang.” Bertahun-tahun kemudian, kenangan itu masih membekas.
Lama Wina menerima semuanya sebagai ‘nasib.’ Hingga akhirnya, pada 2003, seorang teman mengenalkannya pada JALA PRT, organisasi yang memperjuangkan hak-hak PRT. Awalnya ia ragu.
“Mana ada bantuan hukum gratis?” pikirnya. Tapi perlahan, ia melihat sendiri manfaatnya. Dari sana, ia belajar tentang haknya sebagai pekerja.
Kini, setelah hampir 30 tahun bekerja, Wina lebih berdaya. Ia tetap menjadi PRT, tapi dengan kesadaran bahwa pekerjaannya bernilai. Dengan bantuan JALA PRT, ia berhasil mendapatkan ijazah SMA di usia 41 tahun. Ia juga memperjuangkan hak-hak sesama PRT, termasuk mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, perjuangan masih panjang. Tidak ada perlindungan yang jelas bagi PRT, tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada upah minimum. “Sopir kerja cuma nyetir, gajinya lebih besar. Padahal, PRT seperti saya kerja 24 jam, mengurus rumah, anak, masak, bersih-bersih.”
Baginya, pekerjaan perempuan terlalu sering dipandang sebelah mata. Tapi ia tak lagi diam. Kini, ia mengajak PRT lain untuk berani bersuara. “Hak itu harus diperjuangkan,” katanya. “Karena bersyukur bukan berarti menerima ketidakadilan.”
Hak yang Terabaikan: Mengingat Sejarah dan Realitas Pekerja Rumah Tangga
Pada webinar “Wicara Bersama PRT: Pekerja, Perlunya Pengakuan terhadap Kerja Perawatan” pada 13 Februari 2025 lalu, Noor Intan, Program Officer dari Care Connect, mengingatkan kembali sejarah peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional setiap tanggal 15 Februari. Ia menyoroti kasus tragis Sunarsih, seorang PRT anak berusia 15 tahun yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi bersama empat PRT lainnya di Jawa Timur.
Sunarsih dan rekan-rekannya mengalami kondisi kerja yang tidak manusiawi. Mereka termasuk dalam kategori Korban Perdagangan Orang (KPO), dipaksa bekerja lebih dari 18 jam sehari tanpa upah dan tanpa makanan yang layak. Mereka juga tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bersosialisasi, dan bahkan harus tidur di lantai jemuran. Sunarsih akhirnya meninggal dunia akibat penyiksaan yang ia alami pada 12 Februari 2001. Namun, keadilan tetap jauh dari jangkauan. Majikannya yang divonis empat tahun penjara mengajukan banding dan hukumannya dikurangi menjadi dua tahun—yang ironisnya, tidak pernah dieksekusi.
Sejak itu, tanggal 15 Februari menjadi Hari PRT Nasional, sebuah pengingat bahwa masih terjadi pengabaian hak-hak pekerja rumah tangga dan hal-hak vitalnya belum sepenuhnya terpenuhi.
Ribuan Kasus Kekerasan, Tanpa Perlindungan Hukum
Sayangnya, Wina bukan satu-satunya korban. Ketimpangan relasi kuasa antara pekerja rumah tangga (PRT) dan pemberi kerja menciptakan kerentanan yang terus berulang. Di balik pintu-pintu rumah di Indonesia, PRT menghadapi kekerasan dan eksploitasi tanpa payung hukum yang melindungi mereka.
Ajeng Astuti, seorang PRT yang telah bekerja selama 33 tahun di Jakarta Selatan dan kini menjadi pengurus Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi, berbagi pengalamannya tentang kondisi kerja yang masih jauh dari layak dalam webinar Care Connect (13/02).
“Ada yang cuma dapat libur sebulan sekali. Mau makan makanan yang sehat dan bergizi, tapi dikasih uang belanja minim banget. Jadi harus muter otak gimana caranya cukup. Lebaran pun nggak bisa langsung pulang, harus nunggu PRT lain balik dulu baru boleh mudik,” ungkapnya.
Kisah Ajeng dan Wina mencerminkan kenyataan pahit banyak PRT di Indonesia. Mereka kerap bekerja dalam kondisi tanpa perlindungan hukum yang memadai, tanpa jaminan kesejahteraan, dan sering kali tanpa pengakuan atas hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.
Masalah ini bukan hal baru. Selama lebih dari dua dekade, perjuangan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tetapi hingga kini belum juga sah. Sementara itu, angka kekerasan terhadap PRT terus bertambah. Data JALA PRT mencatat 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT dalam periode 2021–2024, mencakup kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga perdagangan manusia. Dan ini hanya yang tercatat—jumlah sebenarnya bisa jauh lebih besar.
Antara Kekerasan, Upah Rendah, dan Jam Kerja Panjang
Tanpa perlindungan hukum, PRT kerap mendapat perlakuan semena-mena. Mereka bisa diberhentikan tanpa alasan jelas, upah ditahan, bahkan menjadi korban kekerasan fisik dan seksual tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.
Komnas Perempuan mencatat 25 kasus kekerasan terhadap PRT dalam rentang 2019–2023. Sementara itu, KPAI mengungkap bahwa 30% pekerja anak dalam kategori Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA) adalah PRT anak. Banyak dari mereka mengalami eksploitasi ekonomi, kekerasan seksual, hingga penyiksaan.
Eksploitasi ini semakin nyata ketika melihat upah mereka. Data BPS 2022 mencatat rata-rata upah PRT hanya Rp437.000 per bulan. Dengan jam kerja panjang dan beban kerja berat, jumlah ini jauh dari layak. Sebagai perbandingan, upah minimum di Jakarta mencapai Rp4,9 juta—lebih dari 11 kali lipat dari rata-rata upah PRT. Padahal, banyak PRT bekerja di kota besar dengan biaya hidup tinggi.
“Upah PRT nggak pernah pasti. Selama RUU PPRT belum disahkan, PRT tetap hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan terus berlanjut,” ujar Wina.
Ironisnya, pekerjaan domestik sering diremehkan dan dianggap tak membutuhkan keterampilan, sehingga dinormalisasi untuk dibayar murah tanpa jaminan perlindungan. Padahal, tanpa PRT, banyak rumah tangga dan sektor pekerjaan formal akan lumpuh.
Bahkan bagi pemberi kerja, RUU PPRT justru membawa manfaat. “Kalau PRT kecelakaan kerja, majikan nggak perlu keluar biaya besar karena ada BPJS Ketenagakerjaan yang menanggung,” jelas Wina.
Selama ini, bias terhadap PRT begitu mengakar. Mereka sering dianggap “bagian dari keluarga” hanya untuk menghindari kewajiban memberikan upah layak dan perlindungan kerja. Tapi realitanya, mereka adalah pekerja—dan sebagai pekerja, mereka berhak atas keadilan.
“RUU PPRT ini menjadi hal yang mendesak betapa segala bias terjadi pada kawan-kawan PRT. Baik itu bias gender, bias kelas, bias ras, feodalisme, perbudakan modern. Semua itu terjadi pada kawan-kawan PRT—mereka tidak bisa berkata tidak,” ungkap Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT, dalam film Mengejar Mbak Puan.
Namun, perjuangan bertahun-tahun ini seolah berputar di tempat.
RUU PPRT: Satu Langkah Lagi, Tapi Harus Kembali ke Titik Nol?
Dua dekade sudah berlalu, lebih lama dari masa anak-anak yang tumbuh oleh PRT di rumah majikan mereka. Dalam waktu yang sama, seseorang bisa menempuh pendidikan hingga menjadi dokter atau insinyur. Tapi undang-undang yang seharusnya melindungi pekerja domestik tetap menjadi janji kosong.
Maret mendatang menandai dua tahun sejak RUU PPRT sah sebagai RUU inisiatif DPR. Presiden bahkan sudah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), serta menunjuk kementerian terkait untuk membahasnya. Tapi setelah itu? Mandek.
Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa terdapat 22 juta orang bekerja di sektor ini, belum termasuk mereka yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Sayangnya, meskipun memiliki peran vital dalam menopang kehidupan keluarga-keluarga di Indonesia, mereka masih belum mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.
Menurut Eva Sundari, Koordinator Komisi Sipil untuk Pengesahan RUU PPRT, perjuangan untuk mengesahkan undang-undang yang melindungi PRT telah berlangsung lama. RUU PPRT telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi berbagai kendala politik membuatnya belum juga terlegitimasi.
“Semakin ke sini, kita makin dihadapkan pada data yang menambah urgensi dari undang-undang ini,” ujarnya.
RUU ini telah masuk Prolegnas, menjadi prioritas tahunan, hingga berstatus sebagai RUU inisiatif DPR. Seharusnya hanya tinggal satu langkah lagi untuk menjadi undang-undang. Namun, justru harus diulang dari nol karena tergolong non-carry over—berbeda dengan RUU lain seperti IKN, Minerba, atau revisi Polri yang melaju tanpa hambatan.
Eva menyoroti bahwa tanpa perlindungan hukum, PRT rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan. “Eksploitasi itu kalau kita pakai istilah sekarang adalah perbudakan modern. Tidak ada standar jam kerja, tidak ada aturan mengenai tempat tinggal yang layak, bahkan banyak kasus kekerasan fisik seperti yang dialami Khotimah, yang dipaksa tidur di kandang anjing dan dirantai,” ungkapnya.
Situasi ini semakin parah akibat hubungan kerja yang asimetris antara majikan dan PRT. “Ketika negara tidak mengakui keberadaan mereka sebagai pekerja, maka tidak ada perlindungan yang bisa mereka dapatkan. Kalau ada kasus, undang-undang yang dipakai pun tidak spesifik, hanya bisa menggunakan UU KDRT atau UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), padahal ada banyak kasus kekerasan ekonomi seperti tidak dibayar gaji atau di-PHK secara sepihak menjelang lebaran,” jelas Eva.
Bukan hanya soal keadilan bagi individu PRT, tetapi juga soal kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional. “Negara ini berhutang banyak kepada PRT. Mereka menopang kehidupan kelas menengah, memungkinkan para profesional bekerja, bahkan buruh dengan gaji UMR pun bergantung pada mereka untuk mengurus anak. Kalau tidak ada PRT, mungkin kelas menengah kita sudah jatuh ke kelompok miskin,” kata Eva.
Dia menyoroti bagaimana Filipina sudah memberikan pengakuan dan perlindungan bagi PRT mereka, termasuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan. “Di sana, PRT dalam negeri maupun luar negeri diakui, dilindungi, dan diberi kontraprestasi yang layak. Sementara di Indonesia, keberadaan mereka saja tidak diakui. Kalau tidak diakui, bagaimana mereka bisa mendapatkan keadilan?”
Eva menegaskan bahwa pengesahan RUU PPRT bukan hanya soal kemanusiaan, tetapi juga kepentingan ekonomi nasional. Dengan memberikan perlindungan kepada PRT, negara akan menciptakan ekosistem kerja yang lebih sehat, adil, dan berkontribusi bagi produktivitas nasional. “PRT bukan sekadar pekerja, mereka adalah tulang punggung ekonomi rumah tangga dan bangsa ini. Saatnya negara membayar utangnya dengan memberikan perlindungan yang layak.”
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post