Jakarta, Prohealth.id – Kota Layak Anak hanya bisa terwujud dengan penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dari semua pemerintah daerah di Indonesia. Sanggupkah tanpa kesadaran dari level keluarga sampai masyarakat?
“Dari merokok ini pula saya sadar bahwa saya telah berbuat jahat dengan anak-anak,” kata ujar Richard Maradon, seorang wirausaha yang tinggal di Banten.
Dalam buku ‘Kita Adalah Korban’ yang diterbitkan oleh Komnas Pengendalian Tembakau, Richard memberi kesaksian dia telah bersikap jahat kepada keluarganya, khususnya putra-putrinya dengan merokok selama bertahun-tahun.
Dia menceritakan pada suatu hari tiba-tiba napas terasa sesak. Padahal dia baru saja turun dari mobil dan hendak menghadiri rapat. Meski begitu Richard masih merasa biasa-biasa saja dan mengabaikannya.
Hingga akhirnya saat Richard pulang dari Surabaya pada awal Januari 2016 lalu, dia kembali merasa sesak. Dia mulai minum obat, sialnya, bukan sembuh malah semakin sesak dan sakit dadanya. Di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari Surabaya napas Richard makin sedikit, dan makin sulit bernapas. Lagi-lagi, Richard masih mencoba menahan diri tidak tumbang.
“Saya tidak mau bilang sama pramugari karena gengsi. Toh saya laki-laki, pasti kuat. Tiba di rumah jam 1 subuh. Paginya cek kesehatan ke rumah sakit. Paru kanan sudah kolaps [mengempis]. Tinggal 10 persen!” terang Richard.
Dalam konsultasi dia diberikan solusi untuk pasang selang ke dalam paru. Awalnya, Richard masih menolak dan hanya mau dirawat seperti biasa saja. Dia pun lantas terapi dengan beberapa metode yang disarankan oleh dokter.
Perlahan kondisi paru-paru membaik. Levelnya bisa naik menjadi 30 persen. Latihan lagi, bisa sampai 50 persen.
“Saya merasa, ah semua bisa selesai. Ini karena error aja kemarin. Bodohnya, saya masih merokok lagi,” katanya.
Ada konsekuensi akibat ketidakdisiplinan Richard berhenti merokok. Terbukti, sebulan kemudian dia mengikuti tes lagi dan paru-paru kolaps lagi. Hasil tes menyebut kondisi paru-paru tinggal 10-20 persen sekalipun Richard masih bisa bernapas secara normal.
Mulai kapok, dia menyerah untuk merawat diri mandiri. Akhirnya dirawat dan dipasang selang kateter atau WSD di paru-paru. Proses perawatan Richard pun masih panjang. Dia masih harus menjalani dua kali operasi yaitu torakoskopi dan torakotomi.
Paru-paru Richard dinyatakan mengempis akibat merokok, dan lagi-lagi, Richard pun menolak hasil diagnose itu. Dia tidak merokok. Dia beralasan, banyak perokok lain yang biasa-biasa saja.
“Kok harus saya? Berkali-kali saya kontrol, paru-paru pun kolaps lagi. Saya stres. Namun saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang tepat. Salah satunya adalah dr. Lie Dharmawan,” tuturnya.
Akibat pengempisan ini mau tak mau Richard harus melalui operasi. Dia terus menguatkan diri sekalipun sangat sedih karena saat operasi bertepatan dengan hari ulang tahun anaknya. Richard mulai merasakan kesedihan yang luar biasa. Hanya karena si rokok doang, banyak momen yang terbuang.”
AKIBAT ROKOK ANAK-ANAK JADI SAKIT
Richard mengaku dia memang tak pernah merokok di depan anak-anaknya. Namun tentunya bekas asap dan baru rokok ada di tas, baju, handphone, dan kursi.
“Mereka [anak-anak Richard] selalu batuk-batuk dan berujung demam karena radang. Setelah sembuh paling hanya 1-2 hari, mereka pasti batuk-batuk dan berujung demam kembali,” kenang Richard.
Tak hanya itu, setiap makan permen, chiki, es krim, kerupuk atau makanan yang digoreng anak-anak Richard langsung mengalami batuk-batuk parah. Padahal hanya mencoba sedikit sekali.
“Makanya sejak kecil mereka tidak pernah saya beri makan itu.
Pernah suatu hari mereka bertanya kepada Richard.
“Kenapa sih Pi, orang lain boleh makan permen, kami nggak boleh?”
“Karena kamu spesial dan berbeda dengan anak-anak yang lain.”
Saat saya berhenti merokok, anak saya tidak sakit lagi. Mereka begitu bahagia bisa hidup seperti anak normal pada umumnya. Setelah 10 tahun akhirnya kedua anak Richard bisa sama seperti anak-anak yang lain. Mereka bisa menikmati snack chiki, permen, es krim dan lain-lain tanpa takut sakit lagi. Sebelumnya dua putra Richard hanya bisa melihat teman-tema sebaya menikmati makanan itu tanpa mencicipinya sedikit.
“Ternyata yang jahat itu saya. Yang merokok, enak itu sendiri. Yang rugi orang sekitar. Yang paling rugi, keluarga,” kenangnya.
KAPOK SAMA ROKOK, LALU?
Pengalaman Richard kapok dengan rokok mungkin baru satu dari jutaan korban lain di seluruh Indonesia. Richard mungkin terbilang beruntung karena anak-anaknya tak sampai ikut mencontoh menjadi perokok.
Salah satu perokok yang juga pernah kapok adalah Aldi Rizal Suganda, bocah asal Musi Banyuasin yang menghebohkan dunia maya pada tahun 2010 karena merokok pada usia 3,5 tahun.
Dikutip dari buku ‘A Giant Pack of Lies Bongkah Rahasia Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia’ yang diterbitkan oleh TEMPO Institute dan KOJI Communications menyebut, target pasar perokok paling banyak adalah membidik anak muda.
Dalam tayangan berjudul ‘Sex, Lies, and Cigarettes’ dari Vanguard saja menunjukkan betapa agresif industri rokok menyasar anak muda di Indonesia. Tak heran jika pada waktu sekitar 10 tahun lalu, harga rokok sebatang masih sangat terjangkau yakni Rp500.
Salah satu pengajar strategi periklanan di Universitas Indonesia, Masli, juga mengakui bahwa industri rokok selalu bergerak cepat ketika pemerintah hendak merumuskan dan memutuskan peraturan untuk rokok. Caranya, industri akan langsung menanam investasi ke pasar anak muda. Misalnya; industri rokok bertahun-tahun gemar menanam sponsor pada acara konser music, festival, hingga acara olah raga. Inovasi lain menggaet anak muda saat ini adalah dengan produk rokok elektrik yang menghadirkan ragam rasa dan klaim-klaim kesehatan.
Menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 ada beberapa jenis pengguna tembakau di Indonesia. Misalnya, survei ini menemukan ada 19,2 persen pelajar, 35,6 persen anak laki-laki, dan 3,5 persen anak perempuan saat ini menggunakan produk tembakau.
GYTS juga menemukan ada 18,8 persen pelajar dengan rincian 35,5 persen anak laki-laki, dan 2,9 persen anak perempuan yang menghisap tembakau. Sementara itu, ada 19,2 persen pelajar diamna 38,3 persen anak laki-laki, dan 2,4 persen anak perempuan yang menghisap rokok
Survei yang sama juga menemukan ada 1,0 persen pelajar dimana 1,4 persen anak laki-laki, dan 0,7 persen anak perempuan menggunakan tembakau kunyah.
Dari rentetan temuan itu, dapat disimpulkan ekspansi dan inovasi industri tembakau cukup berhasil. Laju perokok anak menunjukkan kenaikan dan mengancam masa depan.
Oleh sebab itu, salah satu delegasi Indonesia untuk pembahasa Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada 1995-20033 di WHO yaitu Mawarti Djamaludin menyatakan rokok jelas mengancam kualitas anak Indonesia. Tak hanya butuh kesadaran orang tua yang ‘kapok’ merokok, tetapi juga kesadaran pemerintah bahwa anak-anak adalah aset masa depan bangsa. Jangan sampai kekosongan aturan yang mengendalikan industri tembakau menandakan pemerintah tidak peduli terhadap kualitas aset bangsa.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post