Dalam rangka peringatan World No Tobacco Day dengan tema “We Need Food, Not Tobacco” yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023, Komnas Pengendalian Tembakau kembali mendesak Presiden Joko Widodo agar memiliki keberanian untuk bersikap tegas di akhir masa kepemimpinannya.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mencatat bahwa kejadian stunting pada anak yang merokok lebih dari 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak merokok, dan setiap kenaikan 1 persen pengeluaran untuk rokok akan meningkatkan kemungkinan sebuah rumah tangga untuk jatuh ke dalam kemiskinan hingga 6 persen. Temuan PKJS UI pun sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 yang menunjukkan bahwa rokok merupakan salah satu komponen pengeluaran tertinggi rumah tangga penyebab kemiskinan.
Oleh karena itu, Jokowi wajib menuntaskan target yang masih kurang tersebut melalui upaya pengendalian konsumsi produk zat adiktif tembakau apapun bentuknya, demi mendorong peningkatan kualitas SDM Indonesia menjelang bonus demografi 2045, mendorong percepatan penanganan stunting dan pengentasan kemiskinan, serta mendukung program ketahanan pangan nasional.
Menurut Indeks Ketahanan Pangan Global atau Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022, Indonesia memiliki peringkat ketahanan pangan yang relatif baik, yaitu peringkat 63 dari 113 negara yang dievaluasi. Produksi beras Indonesia pada 2022 mencapai sekitar 54,75 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai produsen beras terbesar keempat di dunia (USDA). Selain itu, Indonesia juga merupakan produsen utama komoditas pangan lainnya, seperti jagung, kedelai, dan kelapa sawit.
Namun perlu diantisipasi, konsumsi pangan di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan perubahan pola konsumsi.
Menurut data BPS, pada tahun 2022, konsumsi beras per kapita di Indonesia mengalami peningkatan 0,61 persen sebanyak 333,68 kg per tahun dan permintaan akan produk hortikultura, daging, dan produk olahan juga terus meningkat.
Di sisi lain, meskipun memiliki produksi pangan yang besar, Indonesia juga masih mengimpor sejumlah besar pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Pada tahun 2022 menurut Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor pangan Indonesia mencapai sekitar US$19,94 miliar. Beras, kedelai, jagung, gandum, gula, dan susu adalah beberapa komoditas pangan yang paling sering diimpor.
Skor (Global Hunger Indonesia/GHI) 2022 Indonesia adalah 17,9 persen, menunjukkan tingkat kelaparan yang moderat. Angka ini turun dari tahun 2014 yang sebelumnya Indonesia menduduki peringkat di atas level 20. Angka GHI suatu negara menunjukkan situasi kelaparan semakin memburuk.
Turunnya indeks kelaparan Indonesia dipicu oleh turunnya proporsi penduduk kurang gizi, prevalensi balita stunting, serta angka kematian balita secara nasional. Sementara itu, terkait stunting (gagal tumbuh) yang merupakan indikator buruknya status gizi dan kesehatan anak-anak, Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan angka kejadian stunting yang masih tinggi di Indonesia, yaitu sekitar 21,6 persen dan perlu penurunan 3,8 persen per tahun untuk capai angka 14 persen di tahun 2024. Angka ini menunjukkan bahwa hampir 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting.
Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan dengan mengkaji hal-hal di atas, maka jelas program pengendalian tembakau yang turut berpengaruh terhadap keberhasilan program berbagai sektor harus menjadi perhatian serius Presiden Jokowi dan jajarannya, yang didasari dengan regulasi yang kuat demi menjamin dijalankannya upaya pengendalian konsumsi produk adiktif tembakau.
Oleh karena itu, Prof. Hasbullah menyebut, jjauh menuju ketahanan pangan nasional, ia mulai mempertanyakan komitmen serius Presiden Jokowi dan para bakal capres selanjutnya menangani pemenuhan gizi masyarakat di tengah tingginya konsumsi rokok di Indonesia.
“Selama konsumsi rokok masih tinggi di Indonesia, dan ini disebabkan oleh regulasi yang lemah dan tidak tegas, maka bangsa ini tidak akan pernah benar-benar keluar dari kemiskinan dan kejadian stunting akan tetap tinggi,” ujar Prof. Hasbullah.
Sementara itu, terkait regulasi, Tubagus Haryo Karbiyanto, Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau Bidang Hukum dan Advokasi, menyebutkan, pemerintah sesungguhnya saat ini punya peluang yang besar untuk akhirnya dapat membuat regulasi yang kuat tentang pengendalian produk adiktif tembakau, yaitu melalui RUU Kesehatan omnibus yang saat ini sedang berproses.
“Jika memang Pemerintah serius menangani masalah konsumsi rokok, tidak takut pada intervensi industri demi kepentingan rakyat, maka perkuat RUU ini dengan substansi tegas tentang pengendalian konsumsi rokok,” terangnya.
Tubagus menyebutkan, di antaranya dengan memasukkan klausul larangan iklan, promosi, dan sponsor yang saat ini sangat masif dan juga standarisasi kemasan untuk menutup celah industri bermain-main dengan kemasan untuk menarik konsumen anak.
Tubagus juga mengingatkan agar Pemerintah dan Wakil Rakyat memastikan tidak ada penyelewengan selama proses penyusunan RUU dengan mengawasi secara ketat pasal zat adiktif yang di dalamnya termasuk produk tembakau sebagai produk yang mengandung zat adiktif nikotin.
Menurutnya, pasal zat adiktif adalah jangkar regulasi-regulasi pengendalian produk adiktif tembakau, dan polemik tarik-menarik pasal zat adiktif yang dikabarkan sedang terjadi saat ini di parlemen sangat mengkhawatirkan.
“Jangan sampai terjadi lagi seperti kasus ayat tembakau yang sempat hilang pada UU Kesehatan no. 36/2009. Nyawa rakyat tidak boleh dijadikan taruhan untuk bargaining politik,” tambahnya.
Dari regulasi yang tegas dan berani, maka upaya kendali konsumsi/produk adiktif tembakau akan memberi dampak baik pada sektor-sektor lainnya yang terkait. Maka sangat relevan jika jajaran pembantu Presiden Jokowi di sektor yang relevan, mulai dari Budi Gunadi Sadikin, Tito Karnavian, Zulkifli Hasan, sampai Nadiem Makarim, Tri Rismaharini, dan I Gusti Ayu Bintang Darmawati harus turut mendorong upaya ini. “Sudahkah kita pentingkan makanan daripada produk adiktif?”
“Apakah masuk akal kita terus memberi karpet merah industri produk yang merusak sementara anak-anak kita stunting dan rakyat miskin sulit keluar dari kemiskinan?”
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci bagi pemimpian bangsa ini, yang sekarang maupun selanjutnya, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang akan diambilnya.
Untuk itu dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023, Komnas Pengendalian Tembakau mendesak pemimpin negeri ini, terutama Presiden Joko Widodo, untuk meninggalkan jejak yang baik.
“Meninggalkan warisan yang akan mendobrak kejenuhan kita terhadap jebakan candu yang selama ini terus mengekang, warisan yang akan melahirkan anak-anak Indonesia di masa depan yang sehat dan berkualitas, Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023. Kita butuh bahan pokok, bukan rokok,” tutup Prof. Hasbullah.
Discussion about this post