Jakarta, Prohealth.id – Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC biasanya menyerang paru, tetapi juga dapat mempengaruhi bagian tubuh lain seperti otak, ginjal, atau tulang belakang.
TBC juga bisa menyerang beberapa bagian tubuh sekaligus, misalnya paru dan kelenjar getah bening.
Secara global, terdapat 217 juta remaja dan dewasa muda (10–24 tahun) yang terinfeksi TBC. Ini dengan perkiraan 1,8 juta berkembang menjadi sakit TBC setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2022 terdapat 104.000 (67.000–142.000) orang usia 15-24 tahun penderita TBC.
Menurut dr. Desdiani, dosen Fakultas Kedokteran IPB University, remaja usia 10-19 tahun merupakan kelompok usia yang unik karena transisi antara anak ke dewasa. Tanda dari masa transisi adalah adanya perubahan fisik, fisiologi, emosi, dan psikis
Ia menerangkan, pada usia ini risiko berkembangnya infeksi TBC menjadi sakit TBC meningkat. Hal ini karena secara alamiah terjadi penurunan sistem imun terkait kondisi pubertas.
“Oleh karena itu, TBC pada remaja perlu mendapat perhatian khusus,” ungkap dr Desdiani, Senin (24/3/2025).
Tantangan lain pada TBC remaja adalah faktor psikososial. Misalnya; pergaulan yang luas, ketakutan akan stigma, ketidakpatuhan minum obat, gangguan belajar dan kognitif, depresi, komorbiditas seperti HIV. Ada juga perilaku berisiko seperti merokok, konsumsi alkohol, dan penyalahgunaan obat.
“Hal ini menjadikan remaja dan dewasa muda memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terlambat diagnosis dan hasil pengobatan TBC yang kurang baik. Akibatnya terjadi gangguan terhadap kesehatan mentalnya,” tutur dokter spesialis paru ini.
Ia memaparkan gejala TBC aktif pada anak-remaja-usia muda meliputi batuk, merasa tidak enak badan, lemah atau tampak kurang bermain. Lalu terjadi penurunan berat badan, demam hingga berkeringat di malam hari.
Adapun pencegahan TBC pada remaja dapat melalui tiga upaya. Pertama, dengan pemberian vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) yang berisi Mycobacterium bovis yang dilemahkan.
“Tujuannya untuk memberikan perlindungan sementara pada remaja terhadap terjadinya penyakit TBC,” ungkap dr.Desdiani.
Kedua, pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT). Tindakan ini untuk mencegah terjadinya infeksi TBC pada individu yang kontak dengan pasien TB. Sehingga menghentikan perkembangan dari infeksi TBC ke arah TBC aktif.
“Ketiga, pengendalian faktor risiko dengan cara mengurangi kontak dengan individu yang terinfeksi TBC. Misalnya; tinggal dengan anggota keluarga yang menderita TBC. Atau sering bepergian ke negara yang masyarakatnya banyak menderita TBC.
Sementara itu, dr. Desdiani memaparkan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC dengan berbagai cara. Pertama, praktik pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Hal ini penting untuk mengurangi risiko penularan TBC dengan mengurangi konsentrasi droplet infeksius di udara dan paparan aerosol pada orang yang rentan.
Kedua, penyediaan tisu, masker, tempat pembuangan tisu, dan pembuangan dahak yang benar. Ketiga, praktik higienitas pernapasan (termasuk etika batuk) pada orang dengan kecurigaan TBC atau terkonfirmasi menderita TBC.
Keempat, orang yang mengalami batuk dan mengeluarkan dahak selama lebih dari dua minggu harus segera diperiksa ke rumah sakit. Kelima, jangan meludah di tempat umum, tutup mulut dan hidung saat batuk atau bersin (etika batuk).
Keenam, jaga agar lingkungan sekitar memiliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup, karena kuman TB suka dengan tempat yang lembab. Ketujuh, cuci tangan karena kebersihan yang paling penting. Delapan, hindari kontak dengan orang yang terinfeksi TBC dengan cara menggunakan masker di tempat umum.
Dr. dr. Desdiani, Sp.P, M.K.K., M.Sc (M.Bio.Et) adalah dokter spesialis paru dan akademisi yang saat ini mengajar di Fakultas Kedokteran IPB University. Ia menyelesaikan pendidikan kedokteran di Universitas Airlangga, kemudian meraih gelar spesialis Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi dari Universitas Indonesia dan Universitas Sumatera Utara. Selain itu, ia juga memiliki gelar Magister Kedokteran Kerja dari UI dan Magister Bioetika dari UGM.
Dengan pengalaman lebih dari satu dekade, ia pernah menjabat sebagai Wakil Dekan Akademik dan Kemahasiswaan di Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Ia juga menjadi Ketua Tim Pendirian FK Untirta dan berbagai program studi kesehatan lainnya. Selain aktif di dunia akademik, dr. Desdiani juga berpraktik sebagai dokter spesialis paru di berbagai rumah sakit dan baru saja menyelesaikan program fellowship Onkologi Toraks di RS Persahabatan/FKUI.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post