Jakarta, Prohealth.id – Dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia, instansi lintas sektor di seluruh dunia berupaya merealisasikan layanan tuberkulosis (TBC) yang berkualitas di tempat kerja. Layanan ini difokuskan untuk menjaga produktivitas dan kinerja karyawan yang terancam TBC.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (23/3/2023), sebagian besar pasien TBC adalah mereka yang dalam rentang usia antara 25 hingga 45 tahun. Sementara itu, di Indonesia 27 persen pasien TBC adalah karyawan.
Oleh karenanya, Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), Kementerian Kesehatan RI, dan Unilever mengumumkan kesepakatan untuk bekerja sama dalam mendeteksi dan mengobati TBC di lingkungan kerja Unilever di Indonesia.
“Amerika Serikat menyambut baik inisiatif Tuberculosis Free Workplace Kementerian Tenaga Kerja untuk memastikan bahwa semua pekerja memiliki akses ke layanan TBC berkualitas,” kata David Stanton, selaku Wakil Direktur USAID untuk Penyakit Menular.
David menegaskan, USAID tetap berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan untuk mengeliminasi TBC pada tahun 2030.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pencegahan di Kementerian Kesehatan, Dr. Maxi Rein Rondonuwu menyatakan pemerintah mendukung untuk program kesehatan karyawan Unilever akan mencapai hampir 5.000 karyawan dengan tata laksana TBC berkualitas.
Ia menilai, USAID bersama Tim Kerja Tuberkulosis Kementerian Kesehatan juga telah memperkenalkan program e-learning yang berpusat pada TBC untuk tenaga kesehatan swasta, yang dapat digunakan untuk melatih staf kesehatan Unilever dalam praktik terbaik TBC,
Lebih lanjut dr. Maxi menyatakan bahwa dalam menindaklanjuti amanat dalam Perpres Penanganan TBC, Kemenaker telah menerbitkan Permenaker Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja.
Permenaker tersebut menyampaikan beberapa poin penting. Pertama, Hak kepada pekerja untuk mendapatkan dukungan dari perusahaan atau pemberi kerja jika terkena TBC.
Kedua, Perusahaan atau pemberi kerja harus memastikan penghapusan stigma dan diskriminasi bagi pekerja yang terkena TBC.
Ketiga, Perusahaan atau pemberi kerja harus memastikan pekerja yang menderita TBC dapat kembali bekerja sesuai dengan penilaian kelaikan kerja.
Direktur Sumber Daya Manusia Unilever, Willy Saelan menyatakan pihaknya telah berkomitmen untuk membantu karyawan Unilever menjadi versi terbaik dari diri mereka dengan memberdayakan mereka untuk menikmati keseimbangan kerja-hidup yang sehat, aman, dan berkualitas.
“Kami percaya bahwa ketika orang sehat dan baik-baik saja, mereka dapat memberikan kontribusi lebih banyak bagi keluarga, pekerjaan, dan masyarakat. Oleh karena itu, kami sangat mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pencegahan Tuberkulosis di Tempat Kerja dengan melakukan upaya proaktif yang meliputi Promotif, Preventif, Kuratif, dan Rehabilitatif untuk mencapai lingkungan kerja bebas TBC di seluruh situs Unilever Indonesia,” katanya.
Pemberian layanan TBC bagi tenaga kerja bukan tanpa alasan. Dalam workshop daring khusus media, Dr. dr. Erlina Burhan, MSc, SpP(K) selaku Dokter Spesialis Paru Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan menjelaskan Indonesia saat ini telah menyumbang 8,4 persen dari kejadian TBC global per tahun 2020. Bertepatan dengan pandemi, pada tahun 2021 data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan bahwa Indonesia berkontribusi terhadap 9,2 persen kejadian TBC tingkat global.
Tren penurunan temuan kasus memang terjadi akibat hantaman pandemi Covid-19. Pada 2019, Indonesia masih bisa menemukan 67 persen kasus baru TBC. Namun pada 2020, Indonesia hanya berhasil menemukan 47 kasus TBC, dan menurun lagi pada 2021 hanya 45 persen kasus atau 443.234 kasus yang ditemukan.
Akibatnya dikutip dari Global Tuberculosis Report 2022, WHO, Indonesia berkontribusi terhadap 13 persen missing cases (kasus tak terdeteksi) untuk TBC secara global. “Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan missing cases ke-2 terbanyak secara global,” ujar dr. Erlina.
Kondisi ini jelas berbanding lurus dengan tingkat kematian akibat TBC yang meningkat tajam selama 3 tahun terakhir. Lebih lanjut, dr. Erlina membeberkan pada 2019 ada 12.469 orang meninggal akibat TBC. Pada 2020 angka kematian akibat TBC naik menjadi 13.110 orang. Kenaikan makin drastis pada 2021 menjadi 15.186 orang meninggal akibat TBC.
“Angka ini masih ada perkiraan bahwa kematian di Indonesia yang disebabkan oleh TBC mencapai 144.000 pada tahun 2021,” jelas Erlina.
Peneliti TB Network JetSet TB Universitas Udayana, I Wayan Gede Artawan Eka Putra menambahkan, penularan TBC yang rentan di Indonesia diakibatkan oleh beberapa faktor.
Pertama, faktor eksternal dari lingkungan yakni buruknya ventilasi udara, suhu dan cuaca, hingga mobilitas terpapar polusi udara, hingga kebiasaan merokok dalam lingkungan keluarga dan lingkungan pekerjaan.
“Pola hidup, kebiasaan atau candu merokok dan minuman beralkohol ini yang juga masih berkontribusi besar terhadap kasus tuberkulosis di Indonesia,” jelas I Wayan Gede Artawan.
Untuk itu, ia menegaskan pentingnya pendekatan baru dalam mengeliminasi TBC, salah satunya dengan membiasakan paradigma One Health yakni ketahanan kesehatan lintas sektor dari manusia, hewan, dan alam. I Wayan Gede Artawan menilai, metode One Health menjawab beberapa faktor orang berisiko TBC yang tak bisa dilepaskan dari kondisi eksternal dan kehidupan sehari-hari. Misalnya saja; kebersihan lingkungan dan polusi.
“Pendekatan One Health yang terintegrasi akan menjamin keberlanjutan, keseimbangan, kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem. Pendekatan ini membuktikan bahwa kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan hidup seluruhnya sebenarnya saling berhubungan satu sama lain,” tuturnya.
Discussion about this post