rah seAbu vulkanik yang terlontar menimbulkan “tahun tanpa musim panas” di Eropa. Kesusahan pangan terjadi sehingga kelaparan hebat. Konon pasukan Napoleon pun kelaparan karena tidak ada perbekalan lagi.
Peristiwa erupsi gunung Tambora ini turut menginspirasi Mary Shelley untuk menulis novel gotik “Frankenstein”. Tidak ada cahaya matahari yang menyinari. Suasana terasa gelap dan sangat mencekam.
“Bisa kita bayangkan kalau sekarang terjadi maka dunia lumpuh. Ekonomi sangat terganggu dan beberapa gunung berapi Indonesia mempunyai letusan terbesar,” papar Surono. Ia adalah perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia Bidang Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim dalam webinar ‘Hidup Harmoni Dengan Gunung Api’, oleh Yayasan Pelita Indonesia Timur (PIT) pada Februari 2025 lalu.
Indonesia memiliki 127 gunung berapi. Sebesar 13 persen gunung berapi di dunia ada di Indonesia sehinggakan negara ini dengan gunung berapi terbanyak. Jajaran sebaran gunung berapi di Indonesia ini akrab sebutannya dengan ‘Cincin Api’.
Kondisi alam ini akibat dari pertemuan tiga lempeng utama aktif dunia. Pertemuan antar lempeng tersebut membentuk patahan-patahan sehingga memicu peristiwa gempa sangat besar seperti yang pernah terjadi di Aceh pada 2004.
Menurutnya, lempeng ini menghasilkan dampak positif dan negatif. Karena tidak hanya menghasilkan gempa dan melahirkan gunung berapi. Tetapi memberi kekayaan mineral dan kesuburan.
Daerah rawan tersebut biasanya daerah yang nyaman untuk menjadi tempat tinggal. Maklum, daerah erupsi biasanya subur. Sementara daerah rawan tsunami mempunyai pantai yang indah. Hampir 148 juta lebih warga tinggal di daerah rawan gempa dan tsunami dan sekitar empat juta warga berada di sekitar gunung berapi.
Bencana Alam di Indonesia
Pakar Gunung Berapi ini mengatakan bencana alam yang paling sering menelan korban jiwa di Indonesia adalah gempa. Ada empat kejadian gempa bumi besar yang menyebabkan lebih dari 1.000 korban jiwa sejak 2000 hingga 2011. Seperti gempa dan tsunami Aceh pada 2004, gempa Nias pada 2005, gempa Yogyakarta pada 2006, dan gempa Padang pada 2009.
Rentetan bencana tersebut lalu mengubah paradigma penanggulangan bencana di Indonesia. Dari sebelumnya bersifat reaktif menjadi lebih preventif pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Namun bencana terkait perubahan iklim kini semakin banyak dan merusak ketahanan pangan. Akibatnya, butuh mitigasi mendesak.
Sementara letusan gunung berapi merupakan salah satu bahaya alam yang juga berpotensi menimbulkan dampak besar. Erupsi tidak saja menimbulkan bahaya primer seperti aliran lava, lontaran batu pijar, hujan abu, awan panas, dan gas beracun. Tetapi dampak sekunder seperti lahar hujan yang tercampur dengan material vulkanik dan air hujan dapat menggerus lereng gunung dan merusak lingkungan sekitarnya.
Bahan gas yang sangat berbahaya dari gunung api adalah karbon dioksida (CO2) yang tidak berwarna dan tidak berbau. Ini sangat membahayakan makhluk hidup yang terpapar jika konsentrasi gas tersebut tinggi. Kemudian abu vulkanik yang mengandung silika dapat mengancam kesehatan mata dan saluran pernapasan manusia serta dapat merusak mesin pesawat.
Penerbangan yang terancam akibat abu vulkanik dapat menyebabkan kecelakaan serius seperti yang pernah terjadi pada 1982 dengan pesawat British Airways yang terbang dari Malaysia ke Australia akibat menghisap abu gunung Galunggung.
Mitigasi dan Pemetaan Daerah Rawan Bencana
Penelitian berkesinambungan tentang gunung berapi sangat penting untuk dilakukan termasuk dampaknya terhadap lingkungan dan kemampuan warga dalam merespon ancaman. Hanya dengan pemahaman yang berbasis penelitian yang akurat maka mitigasi dapat berjalan secara efektif.
Salah satu langkah mitigasi yang sangat penting adalah pemetaan kawasan rawan bencana. Ini harus mencakup informasi tentang daerah mana yang paling berbahaya, sedang, dan aman. Peta tersebut sebagai dasar dalam penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana. Dengan cara ini maka warga dapat tinggal di daerah yang aman. Sementara daerah yang sangat berisiko dapat menjadi kawasan lindung atau cagar alam.
Hal ini akan memastikan bahwa pembangunan di sekitar gunung berapi dilakukan dengan mempertimbangkan potensi risiko. Penataan ruang akan membantu warga hidup harmonis dengan gunung berapi, mengurangi potensi kerusakan, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam sehingga memiliki ketahanan guna menghadapi bencana.
Di samping itu sistem peringatan dini yang efektif menjadi kunci untuk mitigasi bencana. Peringatan dini yang cepat dan akurat dapat menyelamatkan banyak jiwa. Pemantauan gunung berapi untuk mendeteksi aktivitas vulkanik dan menyediakan informasi yang tepat waktu kepada warga sekitar menjadi bagian dari strategi mitigasi yang harus dilaksanakan.
Komponen lain dalam mitigasi bencana adalah tanggap darurat yang cepat dan terorganisir. Latihan tanggap darurat yang berjalan rutin terbukti meminimalkan jumlah korban jiwa seperti letusan Gunung Kelud pada 2014 yang mengakibatkan gangguan besar terhadap penerbangan.
Keberagaman, Kearifan Lokal, dan Potensi Ekonomi
Warga yang tinggal di sekitar gunung berapi memiliki kearifan lokal yang telah menjadi warisan turun temurun. Beragam legenda dan kepercayaan yang berhubungan dengan gunung berapi menjadi media untuk berinteraksi dengan alam. Warga menyadari gunung berapi lebih dahulu hadir sementara warga menganggap dirinya seperti tamu yang menumpang pada gunung sebagai sang tuan sehingga harus menghormatinya.
“Bentang alam gunung api dan fenomena vulkaniknya membentuk alam magis spiritual tersendiri bagi masyarakatnya,” kata Surono.
“Dari dulu sampai sekarang itu di puncak Semeru ada kepercayaan tentang Jonggring Saloko. Kalau di pewayangan itu tempat para Dewa bersemayam,” lanjutnya.
Kearifan lokal itu menghubungkan warga dengan keberadaan gunung berapi dan ini dihargai dalam konteks mitigasi bencana. Warga pun dilibatkan dalam perencanaan mitigasi bencana. Tokoh masyarakat atau tokoh adat dapat menjadi sarana efektif dalam menyampaikan pesan mitigasi kepada masyarakat lokal. Jika mitigasi bertabrakan dengan kepercayaan atau kearifan lokal mereka maka upaya mitigasi tersebut hampir pasti akan gagal.
“Saya masuk berkomunikasi dengan warga dan mengajak memahami gunung berapi tersebut. Saya berdialog dengan sejumlah tokoh. Misalnya Mbah Maridjan di Merapi, Mbah Ronggo di Kelud, dan Mbah Citro di Lemongan. Karena mereka subjeknya. Mereka ada di sana dan saya datang,” ucap Dosen Luar Biasa Institut Teknologi Sumatera (ITERA) ini.
Di samping itu gunung berapi memberikan manfaat bagi warga seperti kesuburan tanah yang mendukung pertanian, potensi energi panas bumi, dan menjadi objek wisata yang menarik.
Potensi dari aktivitas vulkanik di Indonesia yang dihasilkan sekitar 40 persen dari sumber energi panas bumi dunia. Namun untuk mengelola sumber daya ini secara berkelanjutan membutuhkan kebijaksanaan sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Bencana dan Kebijakan Politik
Bencana bisa terjadi akibat kelengahan manusia atau kehilangan kesabaran. Peristiwa alam bukanlah kejadian tidak terduga melainkan akibat dari perubahan ekologis yang harus disikapi dengan pengertian yang baik.
Pria yang akrab disapa Mbah Rono ini mengingatkan, alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan selalu jujur dan tidak pernah bohong. “Karena itu manusia harus belajar untuk mendengarkan dan memahami apa yang alam inginkan bukan malah berusaha mengendalikan atau mengabaikan tanda-tanda yang ada.”
Kebijakan politik turut berperan dalam mengubah keadaan. Sebab mempunyai kekuatan untuk mengubah banyak hal bahkan hal-hal terkecil seperti harga barang hingga peraturan daerah.
Dia meyakini perubahan kebijakan bisa memengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung terutama dalam hal bencana, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut bisa dilakukan semudah membalikkan tangan.
Anggota Dewan Pakar Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Nasional ini pun melontarkan kritiknya atas kebijakan politik. Juga menyayangkan kampanye Presiden, Wakil Rakyat, Gubernur, Bupati, sampai Lurah sekalipun tidak pernah menyinggung Indonesia yang rawan bencana dan menyesalkan politik uang yang berlangsung.
Bagaimana dia kalau terpilih kemudian mengantisipasi di situ ada gunung berapi? Pemegang otoritas politik tidak cukup bermodalkan duit. Namun harus mempunyai kepekaan dan mampu memahami masalah. Terkait hal itu maka pilih pemimpin yang dapat membuat warga itu tahu bisnis, tahu lingkungan, dan tahu masalah bencana. “Karena daerah Indonesia rawan bencana.”
“Kalau saya sebagai ahli bisa apa sih? Paling memberikan rekomendasi. Rekomendasi itu seperti tulisan dalam bungkus rokok. Mengganggu jantung, kesehatan, dan sebagainya,” pangkas Surono.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post