Jakarta, Prohealth.id – Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore, Kepulauan, Maluku Utara, telah memutuskan bahwa 11 warga Maba Sangaji yang bersengketa dengan tambang nikel PT Position telah berstatus sah sebagai tersangka. Hal ini tertuang dalam putusan praperadilan pada hari Senin, 16 Juni 2025.
Melalui siaran pers, Trend Asia menilai bahwa putusan ini melegitimasi tindakan kriminalisasi yang membungkam hak konstitusi warga. Terutama untuk melindungi lingkungan sekaligus tanah adat mereka dari upaya perusakan.
Pada 19 Mei 2025, Polda Maluku Utara melakukan penangkapan terhadap 27 warga pada aksi upacara adat di lahan Hutan Adat Maba Sangaji. Sebanyak 11 orang di antaranya menjadi tersangka melalui Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1951 (UU Darurat). Mereka pun terseret Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan dan Pasal 368 ayat 1 Jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Padahal, pihak warga menegaskan bahwa aksi mereka adalah bentuk perjuangan mempertahankan tanah dan hutan adat dari ekspansi tambang nikel PT Position yang telah berlangsung sejak akhir tahun 2024.
Sejak itu, laporan warga pada perusahaan bahwa aktivitas mereka menyerobot hutan adat dan menyebabkan pencemaran air sungai terus terabaikan.
Lebih lanjut, warga menyatakan bahwa PT Position tidak pernah menyampaikan informasi apapun mengenai rencana penambangan mereka, bahkan kepada pemerintah desa sekalipun. Hal ini mendorong warga untuk menganggap aktivitas perusahaan di wilayah tersebut sebagai tindakan ilegal.
“Ini adalah aksi kriminalisasi SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Selain itu pembungkaman bagi masyarakat yang mempertahankan lingkungannya,” ujar Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, Selasa (18/6/2025).
Arko melanjutkan, bahwa 11 masyarakat Maba Sangaji harus bebas, karena mereka membela wilayah hidup mereka dari kerusakan lingkungan. Menurut Arko, penetapan tersangka ini mencederai hak pejuang lingkungan yang membela wilayah hidup dan hutan mereka dari kerusakan lingkungan.
Hal ini tidak sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66. Beleid itu menegaskan bahwa: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Arko menegaskan saat ini hilirisasi nikel sangat ugal-ugalan. Sebut saja yang terjadi di Raja Ampat, Papua. Maka sangat penting memastikan bahwa hukum negara menjamin hak masyarakat membela lingkungan hidup mereka.
“Keputusan ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan masyarakat adat yang saat ini terdesak oleh investasi ekstraktif dan hilirisasi,” pungkas Arko.
Hal menarik dari putusan hakim adalah, tiga dari lima perkara yang menyatakan bahwa proses penangkapan oleh polisi tidak sah. Sementara status tersangka tetap sah. Satu perkara lain dinyatakan bahwa proses penangkapan dan penetapan tersangka sah. Sedangkan satu perkara lagi ditolak seluruhnya dengan alasan hakim bahwa PN Soasio tidak berwenang mengadili perkara.
Wetub Toatubun dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan bahwa putusan para hakim terkesan ambigu. Satu hakim menyatakan bahwa PN Soasio tidak berhak mengadili perkara tersebut, sedangkan hakim lainnya tidak mempersoalkan terkait kewenangan mengadili. Padahal, wilayah Halmahera Timur masuk dalam administrasi hukum PN Soasio.
“Mestinya, dari fakta-fakta hukum persidangan praperadilan, PN Soasio bisa mengambil keputusan untuk membatalkan seluruhnya status tersangka warga Maba Sangaji. Serta tidak menerima satu pun atau sebagian tuntutan dari polisi kepada warga,” jelas Wetub.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post