Meski sudah masuk era digital dan berjibaku menghadapi Covid-19, program imunisasi di Indonesia ternyata masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Padahal, imunisasi bertujuan melindungi diri sendiri dan orang lain untuk memenuhi hak imunitas dan kekebalan kelompok. Jika kekebalan tidak tercapai, maka akan terjadi wabah.
Menurut Dr. Mei Neni Sitaresmi, PhD, Sp.A(K), selaku Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak yang melakukan imunisasi lengkap memiliki risiko meninggal 0,73 dibandingkan anak yang tidak melakukan imunisasi.
“1 dari 30 balita meninggal sebelum usia 5 tahun, bahkan 1 per 10 anak ini beberapa dari kota atau kabupaten di Indonesia Timur,” terang dr. Neni beberapa waktu yang lalu.
Lantas, apa saja penyebab kematian utama bayi dan balita? Ada beberapa penyebab utama yakni; berat badan yang kurang, terjadi radang paru-paru yang berkontribusi 28 persen terhadap kematian. Ada juga penyakit diare atau rotavirus, infeksi otak, dan campak. Dia menjamin, semua penyakit ini bisa dicegah dengan imunisasi.
“Balita yang tidak mendapat imunisasi lengkap, juga punya risiko besar dan lebih tinggi mengalami stunting,” tuturnya.
Oleh karena itu, dr. Neni menjamin bahwa imunisasi adalah langkah awal pencegahan stunting. Penting bagi orang tua untuk mengawal dan mengikuti jadwal imunisasi dasar rutin serta menerapkan protokol kesehatan selama belum ada pengumuman pencabutan status pandemi Covid-19.
Selain itu selama program BIAN berjalan bertahap di seluruh provinsi, orang tua wajib memanfaatkan imunisasi kejar, imunisasi tambahan khususnya untuk MR, serta perluasan introduksi vaksin baru PCV, Rotavirus, dan HPV.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, dr. Imran Agus Nurali, SpKO mengatakan imunisasi juga dapat mencegah lebih dari 26 jenis penyakit. Selain itu imunisasi berfungsi membangun kekebalan kelompok/herd immunity.
“Oleh karenanya imunisasi penting seandainya anak itu sakit, dia bisa menularkan pada orangtua atau lansia sebagai faktor risiko. Apabila anak tidak mengalami imunisasi lengkap, dia bisa sakit berat, cacat, bahkan meninggal dunia,” tutur dr. Imran dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.
Pada 2022, pemerintah Indonesia telah menambahkan tiga vaksin baru yaitu PCV, HPV, dan rotavirus dalam imunisasi dasar rutin. Penambahan ini penting menurut dr. Iman mengingat pada 2021 lalu pencapaian imunisasi dasar baru 76,3 persen, jauh di bawah target awal 93,6 persen. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan kasus Covid-19 yang masih fluktuatif tahun lalu.
STRATEGI KOMUNIKASI
Menurut dr. Kenny Peetosutan selaku Health Specialist UNICEF Indonesia, imunisasi adalah hak anak dan wajib diberikan pada anak. Hal ini makin penting seiring dengan sejumlah data global yang menemukan bahwa Indonesia masih masuk dalam 5 besar negara dengan peningkatan anak-anak zero dose tertinggi per 2020 lalu.
“UNICEF memang pernah melakukan survei singkat terkait Covid-19 dan singkat terkait dengan perspektif pengasuh. Ada keraguan untuk tidak melakukan imunisasi,” ungkap dr. Kenny.
Survei UNICEF menemukan, ada 22,63 persen responden yang menolak vaksin. Selain itu ada 13,35 persen yang menolak karena ragu atau tidak tahu manfaat imunisasi. Hanya 64,02 persen saja yang yakin dan mau melakukan imunisasi untuk anak-anak.
Tak hanya itu, UNICEF juga melakukan penilaian cepat pada saat pandemi Covid19 menerpa mengenai dampak pandemi Covid-19 pada kelancaran imunisasi. Survei cepat ini membuktikan ada 5.300 jawaban, dan ada 83,86 persen responden menjawab mereka mempunyai halangan saat melakukan layanan imunisasi. Artinya, sekitar 4000 responden menjawab mereka mengatakan terjadi halangan pelayanan imunisasi di fasilitas kesehatan.
“Untuk melancarkan program imunisasi, mereka ingin ada pemberitahuan kepada pengasuh atau orang tua terkait imunisasi berikutnya. Oleh karenanya perlu ada langkah perlindungan untuk pengasuh dan anak,” jelas dr. Kenny.
Berkat survei dan pendataan cepat, dr. Kenny menyebut tim UNICEF menemukan ada beberapa informasi tambahan yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menjalankan program imunisasi.
Misalnya saja, ketika layanan faskes terkendala, UNICEF juga menemukan adanya kekhawatiran tenaga kesehatan akan penularan Covid-19. Hal ini diperkuat dengan terbatasnya alat pelindung diri (APD) saat memberikan layanan imunisasi. “Banyak orang tua yang juga menunda karena sama-sama takut dengan Covid-19,” ungkap dr. Kenny.
Untuk menurunkan angka keraguan dan penolakan terhadap imunisasi, dr. Kenny menerangkan pentingnya program konseling pada orang tua dan pengasuh terkait manfaat imunisasi. Program ini bisa berjalan bersamaan dengan pembukaan kembali aktivitas di Posyandu dan Puskesmas.
Selain pandemi, dr. Imran menyoroti permasalahan resistensi masyarakat terhadap imunisasi yang masih mengakar di beberapa tempat. Oleh karena itu, program imunisasi hanya bisa berjalan lancar jika ada penerimaan dari masyarakat, melalui tokoh masyarakat, tokoh agama dari wilayah tersebut.
“Maka itu penting keterlibatan mereka [para tokoh] untuk bisa berpartisipasi memotivasi masyarakat,” sambungnya.
Ada juga masalah keterbatasan akses untuk masyarakat menjangkau fasilitas kesehatan. Sisanya, ada kendala akibat penyebaran hoaks, misinformasi, dan disinformasi terkait imunisasi.
Dia pun menyebut urgensi media sebagai corong informasi publik agar tidak hanya mengubah pemahaman tentang pentingnya vaksinasi, tetapi juga mempersuasi pembaca untuk mau mengajak lingkungannya melakukan imunisasi bagi anak.
“Hal ini penting karena pemerintah sudah menargetkan usia 12-23 bulan imunisasi sudah harus mencapai 90 persen. Pada 2024 nanti juga ditargetkan usia 0-11 bulan, imunisasi dasar rutin sudah mencapai 80 persen.”
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post