Seorang anak berusia 7 tahun ditemukan mengalami kasus polio karena tidak pernah mendapatkan imunisasi. Anak tersebut awalnya merasa demam di tanggal 6 Oktober 2022. Kemudian tanggal 18 Oktober 2022, anak tersebut masuk RSUD TCD Sigil. Barulah pada tanggal 21 sampai 22 Oktober 2022, dokter anak terkait mencurigai polio dan mengambil dua spesimen dan dikirim ke provinsi. Barulah pada tanggal 7 November 2022 hasil RT-PCR keluar. Pasien ini teridentifikasi mengalami polio tipe 2, dengan gejala kelumpuhan pada kaki sebelah kiri. Temuan ini terjadi berdasarkan penelusuran RT-PCR sehingga pemerintah Kabupaten Pidie menerapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio tingkat Kabupaten Pidie.
Sebanyak 415 Kabupaten/Kota di 30 provinsi di Indonesia masuk dalam kriteria risiko tinggi polio karena rendahnya imunisasi, termasuk Aceh. Untuk itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali menggencarkan upaya imunisasi.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan, pasien anak tersebut mengalami pengecilan di bagian otot paha dan betis kiri karena tidak memiliki riwayat imunisasi, dan tidak memiliki riwayat perjalanan kontak dengan pelaku perjalanan. Dia mengklaim kasus polio di Indonesia muncul sangat mungkin akibat pandemi Covid-19.
“Kalau lihat cakupan oral polio virus OPV dan IPV memang seluruh Indonesia rendah terutama saat Pandemi Covid-19,” terang dr. Maxi di Jakarta pada 19 November 2022 lalu.
Berdasarkan penyelidikan epidemiologi, selain cakupan imunisasi polio wilayah ini memang rendah. Penelusuran lain menemukan faktor perilaku hidup bersih dan sehat penduduk yang masih kurang. Misalnya, masih ada penduduk yang menerapkan buang air besar (BAB) terbuka di sungai. Meskipun tersedia toilet, lubang pembuangan langsung mengalir ke sungai, sementara air sungai dipakai sebagai sumber aktivitas penduduk termasuk tempat bermain anak-anak.
Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Kementerian Kesehatan, WHO, dan UNICEF pun melakukan sejumlah tindakan penting, termasuk melakukan pelacakan untuk mencari kasus lumpuh layuh lain di sekitar tempat tinggal kasus, pengambilan sampel tinja di wilayah terdampak untuk dilakukan pemeriksaan, dan memeriksa sampel air di tempat pembuangan dan survei cepat cakupan imunisasi.
Selanjutnya akan dilakukan tindakan pencegahan penularan lebih luas dengan meningkatkan notifikasi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan untuk segera mendeteksi adanya kasus lumpuh layuh lain, dan segera ditindaklanjuti secara medis maupun epidemiologis. Pemerintah akan melakukan pemberian imunisasi polio tambahan bagi semua anak usia 0-13 tahun di seluruh wilayah Provinsi Aceh sebanyak 2 putaran yang direncanakan akan dimulai pada 28 November 2022.
Selain itu, pemerintah langsung melakukan edukasi dan penggerakkan masyarakat untuk mencegah penularan virus polio mengenai pentingnya imunisasi rutin bagi anak, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama perilaku BAB di jamban.
Asal tahu saja, penyakit polio sangat berbahaya bagi anak karena menyebabkan kelumpuhan dan tidak ada obatnya, namun mudah dicegah dengan imunisasi polio lengkap dan imunisasi rutin. Pencegahan juga dilakukan dengan melakukan perilaku hidup bersih dan sehat seperti BAB di jamban yang sesuai standar, cuci tangan pakai sabun dan menggunakan air matang untuk makan dan minum.
“Saya menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk segera melengkapi imunisasi rutin bagi anak-anak sesuai jadwal, dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat,” ucap dr. Maxi.
Sementara itu, Prof. Tjandra Yoga Aditama selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI menjelaskan, ketika masih bertugas sebagai Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan, sejak awal tugas tahun 2009, pemerintah memang menargetkan Indonesia bebas polio. Hasilnya, Indonesia menerima sertifikat bebas polio dari WHO pada 27 Maret 2014.
Perlu dicatat, bahwa virus polio liar terakhir yang berhasil diisolasi terakhir di negata kita adalah yaitu pada tahun 1995. Selain itu, KLB polio di Indonesia dilaporkan terakhir terjadi pada 2005-2006 untuk virus polio tipe 1 yang berasal dari Timur Tengah. KLB kali itu terjadi di 10 propinsi dan 47 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia, dengan total kasus yang dilaporkan sebanyak 305.
Terkait temuan kasus polio di Aceh, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara mengingatkan bahwa virus polio dari vaksin memang dapat berkembang menjadi penyakit pada daerah yang relatif rendah cakupan vaksinasi polionya, dan atau mereka yang daya tahan tubuh lemah.
“Sebelum kasus yang di Aceh ini, kejadian serupa pernah terjadi di Papua, dan bahkan masuk dalam “Disease Outbreak News (DONs)” WHO pada 27 Februari 2019. Tepat pada saat saya bertugas sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara,” ungkapnya.
Pada saat itu, kenang Prof. Yoga, ada dua kasus terinfeksi “circulating vaccine-derived poliovirus type 1 (cVDPV1)” di Papua yang keduanya virusnya berhubungan secara genetik (genetically-linked VDPV1 viruses). Hal seperti ini diperlukan untuk melihat adanya penularan di masyarakat.
Kasus pertama anak dengan kelumpuhan jenis acute flaccid paralysis (AFP) yang bermula pada 27 November 2018, dan kasus kedua adalah anak lain yang sehat tapi kontak di masyarakat (healthy community contact) dimana pada tinjanya yang didapat pada 24 Januari 2019 ternyata positif Vaccine Derived Polio Virus (VDPV). Perlu dicatat, tempat tinggal kasus kedua adalah di desa terpencil yang hanya berjarak 3-4 kilometer dari kasus pertama.
“Tentu sekarang harus dilakukan upaya maksimal agar kasus di Aceh tidaklah merebak luas, dan kita sudah punya pengalaman panjang untuk mengendalikan polio di Indonesia,” terangnya.
Komitmen global atasi polio
Pada 18 Oktober 2022 lalu, pemimpin dunia menginvestasikan US$2,6 triliun untuk eliminasi polio melalui program the Global Polio Eradication Initiative’s (GPEI) 2022-2026 Strategy. Ada lebih dari 3000 peneliti dan pakar kesehatan dari 115 negara yang fokus untuk eradikasi polio.
Svenja Schulze, selaku Menteri Federal untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman, menjelaskan pendanaan global ini untuk mencapai eradikasi polio dengan melakukan imunisasi bagi 370 juta anak selama 5 tahun ke depan, dan untuk menekan angka penyebaran kasus di 50 negara.
“Tidak ada tempat yang aman sampai kasus polio tuntas eradikasi. Selama masih ditemukan virus ini di salah satu bagian dunia termasuk di negara kita sendiri, maka ini masih akan menyebar di seluruh negara kita. Kita perlu realistis untuk eradikasi polio secara tuntas,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, pemerintah Jerman berkomitmen melawan polio dengan menyiapkan 35 juta euro untuk penanganan kasus ini. Selanjutnya, Jerman juga akan mendukung GPEI dengan 37 euro setelah mendapat persetujuan dari parlemen.
Virus polio saat ini masih banyak ditemukan di Pakistan dan Afghanistan. Sejauh ini sampai dengan 2021 lalu ada 29 kasus yang tercatat, sudah termasuk dengan temuan kasus di Afrika bagian selatan. Artinya, virus polio masih akan mungkin ditemukan di wilayah yang tidak semua warganya memperoleh imunisasi polio. Baik itu di Eropa, Afrika, juga Asia.
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus membenarkan bahwa kasus-kasus terbaru polio tahun ini ditemukan di beberapa negara yang justru sudah dinyatakan bebas polio. “Ini menjadi pengingat jika kita tidak mencapai target bebas polio di seluruh dunia, virus ini masih mungkin menyebar lagi secara global,” tegasnya.
Oleh karena itu, Tedros menyebut negara-negara dunia patut bersyukur dan mendukung komitmen pendanaan yang sudah dibentuk untuk eradikasi polio secara penuh tahun 2022-2026. Berikut rincian komitmen kepala negara atasi polio.
Perjanjian yang dibentuk di Berlin ini mengumpulkan US$4,8 triliun yang akan secara utuh digunakan untuk strategi eradikasi polio 2022-2026. Jika target eliminasi polio berhasil, maka seluruh dunia diprediksi akan mengantongi keuntungan biaya kesehatan sampai US$33,1 triliun jika dibandingkan dengan kerugian tidak berhasil menekan kasus polio. Selanjutnya, GPEI akan bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan dan imunisasi polio di komunitas menengah ke bawah dan kelompok marjinal seluruh dunia.
Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell menambahkan, anak-anak di seluruh dunia harus bebas polio berkat komitmen pendanaan ini. Sebab, seperti yang diketahui sepanjang tahun akibat pandemic banyak komunitas masyarakat yang terkendala mengakses vaksin.
“UNICEF sangat beruntung dan bersyukur dengan keterlibatan para donor yang berjanji untuk melakukan eradikasi polio. Dengan berinvestasi pada sistem kesehatan dan imunisasi, kita telah berinvestasi pada keamanan, dan kesehatan yang lebih baik di masa depan,” ujar Catherine.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post