Australia-Indonesia Centre meluncurkan laporan model matematika yang fokus terhadap model matematika yang dapat mengukur dampak dari kebijakan yang fokus pada kesehatan dibandingkan dengan kebijakan yang fokus pada ekonomi selama kondisi pandemi.
Laporan yang berjudul ‘Health or economy in Indonesia? Making the best impossible decision during COVID-19’ berfokus pada delapan wilayah di Indonesia (Bali, Indonesia Timur, Jakarta, Jawa, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Sumatera). Laporan ini menemukan bahwa intervensi yang sangat luas dari pemerintah akan dapat menyelamatkan 35.000 jiwa per tahunnya, tapi ini juga akan dapat mendorong penurunan ekonomi yang substansial, hingga mencapai 10 persen dari GDP.
Dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Profesor Andreas Ernst dari Monash University mengatakan, penelitian baru ini mengintegrasikan model ekonomi dan epidemiologi ke dalam satu kerangka kerja untuk melihat dampak terhadap satu model ke model lainnya.
“Metode ini memberikan cara untuk mempelajari ketegangan antara pertimbangan ekonomi dan kesehatan secara objektif.”
Berdasarkan model tersebut, penurunan ekonomi yang tajam dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan yang lebih buruk bagi Indonesia jika dibandingkan dengan pandemi COVID-19. Di sisi lain, model tersebut juga menunjukkan bahwa solusi kesehatan publik lainnya menawarkan konsekuensi yang berbeda, dan berpotensi untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa.
Dosen senior dan peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar, Dr. Sudirman Nasir menambahkan, studi ini menunjukkan bahwa ada opsi lain bagi pembuat kebijakan dalam menghadapi pandemi COVID-19.
“Dengan memanfaatkan keahlian para peneliti dari beberapa bidang dan analisis data kesehatan dan ekonomi, para pengambil kebijakan dapat memiliki berbagai opsi alternatif dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Lebih lanjut model penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan untuk mengelola pandemi yang sedang berlangsung ataupun wabah kesehatan lainnya yang mungkin terjadi di masa depan.
Dalam laporan ini, terdapat tiga hipotesis kebijakan kesehatan.
Pertama, kebijakan do-nothing, disebut ‘none’, menunjukkan tingkat infeksi tertinggi tetapi tidak ada perubahan permintaan ekonomi atau tingkat produksi.
Kedua, kebijakan ‘light’ atau ringan yang menempatkan beberapa pembatasan pada sektor jasa dan perdagangan dan hotel tetapi dapat menurunkan tingkat penularan.
Ketiga, kebijakan yang jauh lebih ketat tetapi lebih efektif, ‘medium’, yang menempatkan pembatasan pada konstruksi, manufaktur, dan transportasi dan komunikasi selain meningkatkan pembatasan pada industri jasa, perdagangan, dan hotel.
Dr. Pierre Le Bodic, Dosen Senior di Monash University di Departemen Ilmu Data & Kecerdasan Buatan, menambahkan, meskipun pandemi dan aktivitas ekonomi selama pandemi telah dipelajari secara luas, hingga saat ini tidak banyak yang membahas kedua topik tersebut secara bersamaan.
“Kami kira model ini bisa menjadi alat yang berharga bagi pembuat kebijakan, tidak hanya selama COVID-19 tetapi juga dalam krisis kesehatan lainnya di masa depan,” ujar Dr. Pierre.
Laporan ini dihasilkan oleh Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR), sebuah program inisiatif riset besar di bawah naungan Australia-Indonesia Center, yang juga didukung oleh pemerintah Australia. PAIR mempertemukan 11 universitas dari Australia dan Indonesia untuk dapat melihat hasil temuan secara langsung tentang isu-isu sosial dan ekonomi yang menjadi kunci di masa pandemi, untuk kemudian dapat digunakan dalam pembuatan kebijakan.
Selain kerja sama ini ke depannya, Monash University akan terus melakukan kolaborasi antar sektor untuk mendukung kemajuan pendidikan tinggi Indonesia, serta memberikan kontribusi dalam pengembangan sosial, ekonomi, dan teknologi Indonesia. Hal ini sesuai dengan komitmen Monash saat menjadi kampus asing pertama yang hadir di Indonesia sejak 2021 lalu.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post