Jakarta, Prohealth.id – Anak muda di seluruh pelosok tanah air menjadi prioritas utama untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Bebas AIDS pada 2030.
Dolfi Rumampuk dari Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) menyebutkan kerentanan tersebut kemungkinan terjadi didorong oleh rasa keingintahuan.
“Mungkin karena rasa keinginantahuan jadinya mereka kepo banget. Dengan hal-hal yang baru mereka mau coba-coba kaya apa sih itu?” ungkapnya dalam talk show “Indonesia Maju Menuju Ending AIDS 2030” seperti dikutip dari akun Youtube Berita KBR yang tayang pada Rabu (9/8/2023) lalu.
Dia melanjutkan bahwa akibat rasa ingin tahu yang tinggi, anak muda cenderung ingin mencoba hal-hal yang memang mungkin menurut mereka baru dan unik.
“Tetapi ini tidak diimbangi dengan pendidikan dan pengetahuan bahwa ternyata tindakan itu berbahaya bagi kesehatan. Jadi keingintahuan remaja sangat tinggi sehingga mau mencoba semua hal yang kemungkinan tidak tahu bahayanya bagi kesehatan,” ujar Dolfi.
Para siswa antusias sekali mendengarkan penyuluhan terkait HIV/AIDS ketika YKIS bertandang ke sejumlah SMP dan SMA di Jakarta pada Juli lalu. Tetapi masih banyak informasi yang belum diketahui tentang HIV/AIDS seperti dampak penggunaan narkoba dan apakah masturbasi itu menularkan.
Dokter Teza Farida dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DKI Jakarta menjelaskan penularan HIV dari sisi perilaku seksual. Menurutya, berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dan tidak memakai kondom saat berhubungan berisiko tertular HIV. Kelompok-kelompok populasi tertentu yang memiliki perilaku berisiko untuk tertular HIV ini merupakan populasi kunci.
Di samping itu ada juga kelompok rentan. Misalnya ibu hamil, pasangan dari orang dengan HIV atau orang yang mempunyai resiko berperilaku seksual yang tidak aman, dan remaja.
Dia menyebutkan masa remaja sebenarnya masa peralihan dari anak-anak menuju ke dewasa. Pada masa peralihan itu terjadi banyak sekali perubahan baik secara fisik atau emosional.
“Rasa ingin tahunya tinggi banget, ingin coba-coba. Mereka rentan sekali jika tidak memperoleh informasi yang benar. Kalau mereka tidak tahu maka mereka bisa tertular HIV ini,” terang dr. Teza.
Dia juga menyebutkan bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bisa menjalan hidup dengan berkualitas seperti halnya orang pada umumnya asalkan teratur minum obat.
“Kalau tidak minum obat maka otomatis gampang sakit, imunnya lemah, dan akhirnya tidak bisa berkarya. Beda dengan mereka yang mempunyai imun tinggi, pengobatannya baik, bisa berkarya seperti orang pada umumnya.”
Di samping itu Teza Farida menuturkan HIV seperti fenomena gunung es. Kasus yang ada di bawah itu masih banyak belum ditemukan dan upaya tersebut menjadi tujuan “Indonesia Maju Menuju Ending AIDS 2030.”
“Tujuan dari ‘Indonesia Maju Menuju Ending AIDS 2030’ itu kita harus menemukan kasus baru sebanyak-banyaknya. Sebab HIV itu seperti fenomena gunung es sebenarnya,” ungkapnya.
Dia melanjutkan bahwa kasus yang ada saat ini sebenarnya belum menunjukkan fakta aslinya. Ia beralasan masih banyak kasus yang belum ditemukan. Belum lagi beberapa kasus setelah ditemukan bagaimana dia secepatnya diobati atau diterapi, dan setelah diterapi lalu dievaluasi.
“Apabila virusnya turun itu menandakan obatnya bekerja dengan baik. Tubuh mampu melawan virus yang ada di dalam tubuhnya. Berikutnya mengurangi angka penularan HIV dari ibu ke anak. Ini tujuan dari Indonesia Maju Menuju Ending AIDS 2030,” ujar dr. Teza.
Namun guna mencapai “Indonesia Maju Menuju Ending AIDS 2030” membutuhkan kesadaran masyarakat. Karena itu strategi penyampaian informasi ke masyarakat dilakukan melalui banyak cara. Baik melalui online maupun offline.
Terkait informasi di sosial media membutuhkan kebijakan mengingat banyaknya hoaks sehingga perlu memilah, memilih, dan menyaring informasi yang benar dan melakukan pengecekan ke sumber yang valid.
Sementara YKIS untuk mendukung “Indonesia Maju Menuju Ending AIDS 2030” melakukan sejumlah langkah kampanye dan penyuluhan.
“Pastinya kita mengarah ke sosial media. Karena tidak dipungkiri sekarang sosial media sudah eranya. Sosial media ini kaya ujung tombak informasi saat ini. Tetapi kita tetap masuk ke sekolah-sekolah. Karena ada beberapa komponen yang mungkin tidak terlalu bersosial media,” urai Dolfi Rumampuk dari YKIS.
Dia juga memandang sangat pentingnya pendidikan seks bagi anak. Selain sekolah, lingkungan terdekat yaitu keluarga, sangat perlu memberi perhatian pada hal ini.
“Ini yang sebenarnya sangat penting bagi anak. Kita harus memberitahu anak sedari dini bahwa kamu harus menjaga bagian atau organ yang yang tidak boleh disentuh orang lain. Sebagai contohnya ini payudara kamu, vagina kamu. Jadi tidak mengubah istilahnya dengan ini gunung kamu tidak boleh disentuh. Sebisa mungkin memang mengajarkan ke anak itu sesuai dengan bahasa yang seharusnya. Memang ini harus sedini mungkin,” pungkasnya.
Discussion about this post