Berdasarkan Global TB report 2024, Indonesia berada di posisi kedua tertinggi global dengan temuan 1.090.000 kasus TBC. Angka ini termasuk di dalamnya kelompok anak-anak.
Data ini tidak jauh berbeda dengan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Ketua Tim Kerja TBC Kemenkes, Tiffany Tiara Pakasi menyebut hampir 1.000.100 orang Indonesia sakit tuberkulosis. Dari jumlah itu,125.000 di antaranya meninggal dunia.
Tiffany menyampaikan tingginya kasus TBC itu akibat lambatnya pendeteksian dini. Hal ini menimbulkan efek domino pada keterlambatan penanganan bahkan hingga kematian. Ini pula yang membuat Kemenkes juga membuat peta jalan untuk mengeliminasi kasus TBC hingga 2030.
Pada 2025, Kemenkes menargetkan penurunan kasus hingga 50 persen dan penurunan kematian akibat TBC turun 75 persen. Untuk menuju itu, Kemenkes mengupayakan cakupan pelayanan pengobatan (treatment coverage) TBC mencapai 90 persen dan penerapan Terapi Pencegahan TBC (TPT) kontak serumah sampai 70 persen.
Kemudian pada 2030, Kemenkes menargetkan penurunan kasus hingga 80 persen dan kematian turun 90 persen. Treatment coverage harus lebih dari 90 persen, dan TPT lebih dari 80 persen cakupannya.
“Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan TB. Dan tentunya harus didukung oleh multipihak,” kata Tiffany dalam webinar hari Kamis (17/1/2025) lalu.
Tiffany mengungkapkan TPT harus semakin gencar, termasuk untuk balita dan anak. Pasalnya, banyak penemuan kasus TBC pada anak usia 0-18 tahun.
Sebanyak 59.655 anak berusia 0-4 tahun terdeteksi mengidap TBC. Kemudian, anak usia 5-9 tahun berjumlah 30.161, usia 10-14 mencapai 18.037 dan usia 15-18 tahun mencapai 41.925 anak. “Jadi memang ada kasusnya untuk anak,” kata dia.
Umumnya anak-anak tidak menjadi sumber penularan TBC. Sumber penularan biasanya dari orang dewasa di sekitarnya.
Meski demikian, anak-anak harus tetap menjalani prosedur deteksi kasus dini. Secara keseluruhan, capaian penemuan kasus TBC baru 76 persen. Masih jauh dari target 90 persen. Pada 2024 saja, target pendeteksian 50 persen, tetapi baru terlaksana 14,5 persen.
“Kalau kita bicara balita dan anak usia prasekolah tentunya mereka menjadi utamanya kelompok yang harus mendapatkan TPT. Karena anak-anak sudah enggak kontak sama TB saja sudah rentan. Apalagi berkontak,” ujarnya.
Oleh karena itu, anak-anak memang menjadi sasaran untuk mendapatkan terapi pencegahan tuberkulosis.
Pencegahan Hingga Alur Skrining
Tiffany menilai pengendalian kasus TBC pada anak ini harus mulai dari pencegahan. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi Bacille Calmette-Guérin (BCG). Ini adalah vaksin untuk bayi guna mencegah penyakit TBC. Kemudian vaksin selanjutnya adalah TPT.
Perlu juga kegiatan pengamatan dan analisis sistematis untuk mendeteksi TBC (surveilans). Salah satunya dengan investigasi kontak (contact tracing).
Lalu, penanganan kasus. Dalam hal ini, perlu peningkatan dari segi penyediaan sarana atau jejaring diagnosis TBC di semua layanan rujukan. Harus ada perbaikan tatalaksana efek samping obat, dukungan biaya transport pasien TBC resisten obat, peningkatan kapasitas nakes dalam pencegahan, pengobatan dan perawatan kasus di layanan.
Ada 6 alur skrining terhadap anak untuk mendeteksi TBC. Pertama, skrining pertumbuhan. Perawat/bidan harus menimbang berat badan, mengukur panjang badan, mengukur lingkar kepala, plotting grafik pertumbuhan anak di buku KIA dan mencatat hasil pemeriksaan
Kedua, skrining riwayat. Dokter/Perawat/bidan harus mengkaji hasil pengisian mandiri kuesioner tuberkulosis dan mencatat hasil pemeriksaan.
Ketiga, skrining perkembangan. Dokter/Perawat/bidan harus memilih kuesioner pra skrining perkembangan (KPSP) sesuai dengan usia anak dan mengisinya. Keempat, skrining telinga dan mata. Kelima, skrining gigi dan terakhir, skrining tuberkulosis.
Dari sejumlah kategori skoring yang perlu perhatian khusus. Beberapa di antaranya adalah riwayat kontak dengan penderita TBC, uji kulit tuberkulin (mantoux), berat badan dan status gizi, demam yang tidak diketahui penyebabnya, batuk kronik, pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal, pembekakan tulang/sendi panggul, lutut dan rontgen toraks yang gambarannya sugestif (mendukung) TBC.
“Kalau ada yang kurang gizi, berat badan turun, maka dia perlu diperiksa tuberkulosisnya,” ucap Tiffanny.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post