Jakarta, Prohealth.id – Resistensi masyarakat di Indonesia terhadap pengendalian Covid-19 tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat.
Dalam webinar berjudul “Gerakan Anti-Vaksin dalam Perspektif Kesehatan, Agama, dan Budaya: Studi Komparatif Amerika Serikat dan Indonesia” yang diselenggarakan secara virtual oleh Pusat Kajian Amerika, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, resistensi ini bisa ditemukan di Indonesia dengan mudah. Misalnya, kerumunan manusia dalam jumlah besar tanpa menggunakan masker di tempat umum.
Resistensi ini masih bergulir seiring dengan tingginya penolakan vaksinasi di Indonesia pada 2021 lalu. Ketika penolakan terhadpa vaksinasi di Indonesia mencuat dengan argument kebebasan individu sampai alasan agama, hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat.
Mayoritas dari kelompok resisten ini memasang argument bahwa iman kepada Tuhan akan mampu melindungi dari serangan penyakit apapun. Kelompok-kelompok relijius konservatif di Amerika Serikat juga merupakan kelompok masyarakat yang memiliki resistensi paling tinggi terhadap penggunaan masker dan pemberian vaksin.
Menurut adalah Prof. Dr. dr. Rachmadi Purwana, S.K.M., Guru Besar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, kondisi resistensi ini tidak boleh lepas dari sejarah panjang perkembangan virus di dunia. Dia pun menjelaskan sejarah mutasi virus yang terkait dengan Covid-19, yaitu SARS, MERS, dan virus Covid-19 itu sendiri. Dari fase lintas zaman itu, dia mengakui penolakan terhadap vaksinasi juga telah menjadi bagian dari sejarah manusia, selain sejarah penyebaran virus mematikan itu. Oleh karenanya, dia menekankan pentingnya herd immunity yang mampu menyebabkan matinya virus Covid-19 ketika penyebaran virus turun di bawah critical threshold.
KONTEKS SOSIAL, POLITIK DAN AGAMA
Jika melirik konteks di AS, Presiden Amerika Serikat pada periode sebelumnya, Donald Trump, juga merupakan tokoh yang secara aktif menyuarakan resistensinya terhadap penerapan protokol kesehatan. Dia menyampaikan retorika yang bisa diterima dan dipercaya oleh sebagian pesar pendukungnya. Dalam penolakan-penolakan tersebut, terdapat kelindan aspek agama, budaya, dan politik.
Di Indonesia pun terdapat sejumlah warga yang menolak memakai masker. Ketika vaksin anti-Covid-19 mulai dibagikan, sejumlah warga menolak untuk divaksin dengan sejumlah alasan. Sebagian percaya bahwa vaksin yang diberikan mengandung unsur-unsur yang dianggap tidak halal, sehingga tidak layak untuk dimasukkan ke dalam tubuh manusia.
Lebih lanjut, sebagian menganggap bahwa vaksin yang diberikan adalah bagian dari konspirasi negara-negara dan perusahaan produsen vaksin yang akan memanfaatkan situasi ini demi keuntungan mereka. Sebagian juga menolak vaksin, karena sedari awal rendah kepercayaannya terhadap pemerintah dan strategi penanganan Covid-19 yang telah diterapkan oleh pemerintah. Pada intinya, terdapat berbagai alasan yang dikemukakan oleh warga Indonesia yang menolak vaksin anti-Covid-19, meliputi agama, kesehatan, ideologis, dan budaya.
Adapun menurut Prof. Rachmadhi dalam balutan sosial, budaya, dan politik, saat ini ada tiga hal yang mengancam umat manusia, yaitu perubahan iklim, ketimpangan sistemik (terutama di Indonesia), dan pandemi Covid-19, yang harus kita hadapi secara strategis. Maka dari itu dia menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, perlakuan wajar ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan (tidak digunakan sebagai alat politik), kesatuan sosial, peran serta masyarakat dalam penanganan pandemi Covid-19, serta kepemimpinan nasional.
PENOLAKAN DARI SISI TEOLOGIS
Sementara itu, Peter Suwarno, Ph.D, Associate Professor dari Arizona State University dia memberikan penekanan pada peran ilmu pengetahuan dalam penanganan masalah kesehatan di Amerika Serikat, dan bukan politik atau agama. Dia menyoroti pertentangan antara sains dan agama yang sudah berlangsung lama di AS, yang bermuara pada pertentangan antara kelompok liberal dan kelompok konservatif. Pendukung gerakan anti-vaksin pada umumnya termasuk ke dalam kelompok konservatif. Semakin fundamentalis seseorang, semakin gigih penolakannya terhadap penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi.
Uniknya, tidak ada pembenaran teologis sama sekali dalam hal penolakan vaksin, dan justru di AS orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama justru seringkali menjadi korban dari virus Covid-19. Fakta menarik yang dia ungkapkan adalah bahwa dalam konteks Indonesia, relijiusitas masyarakat ada pada angka 96 persen, namun penolakan terhadap sains justru sangat minim. Hal ini adalah sesuatu yang patut disyukuri dari situasi di Indonesia.
Ketua The Lead Institute, Universitas Paramadina dan Pengurus Lakpesdam PBNU ini juga mengemukakan bahwa dalam sejarah Indonesia, penolakan vaksin sudah berlangsung semenjak era kolonial, era Orde Lama, era Orde Baru, dan berlanjut pada Era Reformasi. Dia pun menyoroti strategi yang telah diterapkan di Indonesia dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai perlunya vaksinasi, yaitu dengan pembeberan fakta-fakta ilmiah, pernyataan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendukung pemberian vaksinasi oleh Pemerintah, serta pemberian vaksinasi terhadap tokoh publik yang dipublikasikan secara luas.
Pria yang tercatat sebagai dosen Program Pendidikan Vokasi, dan alumni Kajian Wilayah Amerika sekaligus Kepala Biro Humas dan KIP ini menekankan bahwa dalam Islam imunisasi dan vaksinasi hukumnya pada dasarnya adalah boleh atau diijinkan (mubah), dan bila ada sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa iman percaya mereka akan mampu menyembuhkan penyakit fisik, ini adalah bagian dari imajinasi spiritual yang tidak memiliki pembenaran.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post