Akhir 2023, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pada akhir 2023, 50 persen sampai 60 persen alat kesehatan harus bisa diproduksi dalam negeri.
Target ini diselenggarakan sebagai wujud implementasi dari tiga pilar transformasi sistem layanan kesehatan di Indonesia. Simbolisasi target ini dilakukan dengan melakukan pembukaan pameran Hari Kesehatan Nasional pada November 2022 lalu.
“Kita ingin memastikan bahwa semua vaksin, obat, dan alkes sekurangnya 50 persen bisa diproduksi di dalam negeri. Tadi kita sudah melihat tanda tangan MoU dari produk bahan baku obat yang tadinya impor, kita sudah dorong agar dapat membeli bahan baku dalam negeri,” kata Budi saat
Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, diperlukan komitmen pemerintah dan kerja sama industri. Oleh karenanya, Budi bahkan menjanjikan insentif bagi industri yang bisa membangun alat kesehatan dalam negeri.
Asal tahu saja, pada 2022 lalu Kementerian Kesehatan menganggarkan belanja alat kesehatan dan obat-obatan sekitar Rp38 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp17 triliun dialokasikan untuk belanja obat, vaksin dan alat kesehatan produksi dalam negeri. Pada tahun mendatang akan dipastikan lebih banyak lagi pembelian dari Kemenkes untuk produk dalam negeri.
Komitmen lain adalah dengan mampunya industri Indonesia memproduksi vaksin dengan teknologi mRNA. Menurut Budi, di masa depan teknologi ini akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kecepatan Indonesia dalam merespons pandemi selanjutnya.
“Sehingga ke depannya, pembuatan vaksin yang tadinya membutuhkan waktu tahunan, kita bisa membangun vaksin dalam 100 hari sudah bisa masuk uji klinis, bisa kita capai dengan kemampuan yang ada di negara kita” ujarnya.
Peran pihak swasta
Dukungan pada produksi alat kesehatan dalam negeri, salah satunya hadir dari PT. Astra Komponen Indonesia (ASKI) yang telah memproduksi alat-alat kesehatan dalam negeri. Misalnya saja; produk USG 2D, Antropometri Set, dan Autoclave (sterilization unit) yang resmi diluncurkan pada Oktober 2022 lalu.
Dikutip dari siaran pers Kementerian Kesehatan, produksi alkes dalam negeri dari ASKI mempunyai beberapa kelebihan, sebagai contoh untuk USG yang bersifat portable serta memiliki fitur telemedisin, sehingga dimungkinkan adanya komunikasi antara operator alat dengan tenaga spesialis, sekaligus juga dapat menyimpan hasil pemeriksaan. Fungsi penyimpanan hasil pemeriksaan juga terdapat pada antropometri set yang didesain dapat terhubung dengan aplikasi Android dan sistem pelaporan Kemenkes.
Dengan kemampuan produksi yang dilakukan oleh PT. Astra Komponen Indonesia (ASKI), Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin berharap diikuti dengan peningkatan kapasitas produksinya, dan pengembangan alkes tidak hanya fokus pada alat-alat kesehatan untuk upaya pelayanan kesehatan kuratif, namun juga layanan promotif dan preventif. Dengan begitu, ke depannya, pihak Astra bisa memproduksi alat kesehatan untuk pemeriksaan dini seperti misalnya; alat tes diabetes, hipertensi, tekanan darah, sehingga tidak perlu ke laboratorium. Bahkan, kalau bisa terintegrasi dengan teknologi digital sehingga diakses pasien secara online (mobile). Budi juga menyarankan agar perusahaan turut menjalin kerjasama dengan UMKM-UMKM di daerah.
“Nanti yang susah-susah bisa diproduksi di Astra, integrasinya di Astra, tapikan komponen-komponennya bisa dibuat di daerah. Itu saya minta agar ekosistemnya bisa terbentuk, bersama-sama industri dalam negeri bisa meningkat terutama dalam 5 tahun kedepan,” terang Budi.
Selain Astra, PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) melalui anak usaha PT Forsta Kalmedic Global (Forsta) mengembangkan teknologi untuk kemandirian alat kesehatan (alkes) lokal. Konsistensi ini sekaligus mendukung pemerintah membangun ketahanan nasional di industri alkes lokal.
Produk pertama Forsta ialah surgical suture atau benang bedah dengan local content lebih dari 40 persen. Sementara industri alat kesehatan hingga saat ini masih didominasi impor sekitar 80-90 persen.
Direktur PT Forsta Kalmedic Global, Yvone Astri Della Sijabat menjelaskan, dalam usia tiga tahun, Forsta sudah berhasil mendapatkan sertifikat produksi, sertifikat Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB), sertifikat ISO 13485, halal dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Forsta bertekad memastikan ketersediaan produk alkes yang critical di dalam negeri. Forsta didukung oleh Kemenkes, LPS, dan Kemenko Marves agar bisa pitching project pembangunan fasilitas produk-produk alkes lainnya pada investor asing,” tambah Yvone.
Tak hanya itu, Yvone menyebut pencapaian Forsta yang diundang sebagai salah satu pembicara dalam Bloomberg CEO Forum, side event G20 di Bali pada 11 November 2022. Pada agenda tersebut, Kalbe menyampaikan perannya melalui Forsta dalam membangun global health sector resilience. Beberapa catatan lain adalah tentang kolaborasi dengan berbagai partner global yang sangat penting untuk mewujudkan distribusi fasilitas manufaktur dan pusat riset yang merata di berbagai belahan dunia.
“Forsta juga didukung oleh Kemenkes, Kemenlu melalui KBRI Berlin dan Kemendag cq Atase Perdagangan Berlin dan Hamburg untuk ikut serta dalam pameran alkes terbesar di dunia, yaitu Medica 2022 di Jerman pada 14-17 November,” tutur Yvone.
Pada kesempatan itu, Forsta membawa surgical suture dan mendapatkan respons sangat baik dari para potensial customer. Kualitas produk yang dihasilkan Forsta juga mendapatkan pengakuan dari produsen suture global.
Konsistensi Forsta tak berhenti sampai di situ. Forsta menandatangani MoU dengan dua company teknologi dari Italia yaitu Tecnoideal dan BMI sebagai rekan kerja teknologi dalam membangun kompetensi manufaktur beragam produk alkes dengan konten teknologi di Indonesia.
“Ke depannya, Forsta akan terus mendukung pemerintah dengan membangun kompetensi manufaktur beragam produk alkes lainnya, sehingga Forsta bisa selalu menjadi Manufacturing partner yang bisa melayani berbagai market, baik domestik maupun global,” ungkap Yvone.
Mengacu dari 6 Pilar Transformasi Kesehatan
Besarnya tingkat ketergantungan ini, direspon pemerintah dengan mencanangkan transformasi kesehatan yang fokus pada 6 pilar. Melalui enam pilar inilah, kemandirian alat kesehatan akan diwujudkan sebagai rencana aksi dan program bersama.
Transformasi ini mencakup peningkatan ketahanan sektor kefarmasian dan alat kesehatan, yang didorong oleh potensi pertumbuhan pasar dan peningkatan belanja sektor kesehatan yang besar.
Berikut enam pilar transformasi kesehatan yang diusung Kementerian Kesehatan.
Pilar pertama melalui transformasi layanan primer, akan dilakukan revitalisasi 300.000 posyandu dan 10.000 ribu puskesmas di seluruh indonesia, yang difokuskan pada upaya preventif dan promotif hingga skrining kesehatan.
Kedua, transformasi pilar layanan rujukan. Budi memastikan semua rumah sakit di 514 kabupaten/kota memiliki alat kesehatan yang cukup untuk bisa melayani 4 penyakit utama, yaitu jantung, stroke, kanker, dan ginjal. Sebagai contohnya dengan pemenuhan cathlab yang difungsikan tidak hanya untuk melayani jantung melainkan juga penyakit lain seperti stroke.
Ketiga, transformasi sistem ketahanan kesehatan. Transformasi ini bertujuan memperkuat sistem ketahanan sektor kesehatan di Indonesia yang masih lemah. Kondisi ini disebabkan oleh ketergantungan negara pada impor dan teknologi riset kesehatan dari negara maju.
Keempat, transformasi pada sistem pembiayaan kesehatan melalui transparansi biaya kesehatan hingga memastikan fitur coordination of benefit untuk layanan BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta.
Transformasi kelima melalui transformasi sistem SDM Kesehatan melalui pemenuhan jumlah dan kualitas dokter dan dokter spesialis, serta kemudahan akses pendidikan. Salah satunya adalah peningkatan jumlah beasiswa dokter spesialis dari 300 menjadi 1.500 beasiswa pada tahun ini.
Keenam, transformasi teknologi kesehatan, melalui program satu sehat. Diharapkan pada Desember 2023, sebanyak 80-85 persen seluruh fasilitas kesehatan sudah terkoneksi dengan sistem SatuSehat dari Kementerian Kesehatan.
Budi berharap, semua pihak dapat membantu mewujudkan upaya transformasi kesehatan untuk mewujudkan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
“Harus menjadi satu gerakan dimana setiap komponen bangsa bisa mengeluarkan modal sosial untuk meraih mimpi setiap insan kesehatan yang ada untuk memastikan layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat indonesia bisa di segala usia,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post