Indri, warga RW 06 Kelurahan Rambutan Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur tak pernah menderita penyakit tuberkulosis (TBC) selama ini. Begitu pun dengan keluarganya.
Namun, Indri memutuskan untuk menjadi kader Penggerak Desa Siaga TBC di RW-nya. Tugasnya sehari-hari adalah memberikan informasi dan edukasi kepada warga terkait TBC, terutama kepada yang terinfeksi.
Dia menjelaskan dengan pelan-pelan pentingnya menjalani pengobatan hingga tuntas selama 6 bulan bagi pasien TBC. Lalu, dia juga mengawal dan memastikan pasien tersebut terus mengonsumsi obat.
Membujuk tidak selalu mudah bagi Indri. Dia kerap menemukan penderita TBC yang sulit mengonsumsi obat. Termasuk, penderita TBC resisten obat (TBC-RO).
TBC-RO yakni orang yang terinfeksi strain kompleks Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat-obat TB umum atau sensitif. Ini bisa terjadi karena adanya mutasi spontan pada kromosom.
“Kalau yang belum mau berobat, kita bujuk supaya dia mau berobat,” kata Indri di diskusi Kemencast #124: Lawan TBC Mulai dari Akar Rumput, Minggu (8/6/2025).
Selain harus sabar, Indri menyebut modal menjadi kader Desa Siaga TBC harus tidak gampang merasa jijik. Sebagai kader, Indri tidak hanya memberi edukasi, melainkan juga membantu mendeteksi penyebaran TBC.
Indri kerap membawa kantong plastik berisi dahak untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri TBC atau tidak. Dahak-dahak yang dikumpulkan itu biasanya dari anggota keluarga yang di dalam rumahnya terdapat pasien TBC.
Ia pun membawa dahak-dahak itu untuk diperiksa di laboratorium rumah sakit atau puskesmas.
“Nah, saya disuruh ngumpulin dahak itu, gak semua orang mau. Suka ada yang tanya ‘Apa itu, Bu?’ Saya bilang cendol. Kalau saya bilang dahak nanti mereka pada [bilang] ‘iiih.’,”kata dia.
Program Desa dan Kelurahan Siaga TBC resmi diluncurkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada Mei 2025 lalu. Program ini adalah upaya penanggulangan darurat TBC di Indonesia.
Berdasarkan catatan Kemenkes per Senin (9/6/2025), jumlah orang dengan TBC mencapai 1.090.000 orang, dan TBC-RO mencapai 30.000 orang. Sementara itu, ada 125.000 orang meninggal akibat TBC.
Budi Gunadi Sadikin dalam peluncuran program itu mengatakan TBC adalah penyakit yang bisa sembuh karena obatnya tersedia. Namun, penularannya cepat karena melalui saluran pernapasan, sehingga perlu deteksi dini.
Budi menyebut para kader Desa dan Kelurahan Siaga TBC bisa turut menyukseskan target eliminasi kasus TBC dan memperkuat deteksi dini.
“Tahun ini target kita satu juta kasus TBC bisa ditemukan. Saat ini sudah 800 ribuan. Kader harus bantu temukan sisanya,” kata Budi dalam peluncuran dan siaran pers resmi Kemenkes.
Berantas dari Akar Rumput
Direktur Penyakit Menular Kemenkes Ina Agustina Isturini menjelaskan Desa dan Kelurahan Siaga TBC merupakan desa dan kelurahan yang mempunyai komitmen dan program yang kuat untuk melakukan pencegahan maupun penanganan TBC secara mandiri.
“Jadi mereka memperkuat partisipasi masyarakat dengan memperkuat peran kader, tokoh masyarakat maupun pemangku kepentingan terkait,” jelas Ina.
Ina mengatakan masyarakat mendapatkan peran yang banyak dalam program ini. Sebelumnya, kata Ina, kebanyakan program penanganan TBC dari atas ke bawah (to-down), tetapi sekarang lebih banyak dari bawah ke atas (bottom-up) dengan memperkuat partisipasi masyarakat.
Menurut Ina, misi mengeliminasi kasus TBC tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, semua pihak harus terlibat, termasuk masyarakat. “Dan pendekatan komunitasnya menjadi lebih holistik, partisipatif,” ucapnya.
Dia menyebut pelibatan masyarakat dalam eliminasi TBC ini sesuai dengan amanah Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Pasal 24 Ayat 2 huruf e menjelaskan dalam pelaksanaan penanggulangan TBC, pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan upaya perlindungan sosial dan pemberdayaan kepada pasien TBC dan masyarakat terdampak TBC.
Kemudian Pasal 24 Ayat 3 huruf c tertera bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan mitigasi. Salah satunya dengan cara menyelenggarakan program pemberdayaan untuk meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.
“Indonesia sendiri di global jadi ranking kedua. Dan secara nasional angka kita masih tinggi, di atas sejuta ya, di atas sejuta estimasinya. Ini penanganan TBC tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah,” jelasnya.
Catatan Kemenkes menunjukan cakupan penemuan kasus TBC di Indonesia pada 2025 baru 23 persen. Padahal, penanggulangan TBC dimulai dari deteksi dan pencegahan.
Ina berharap dengan program Desa dan Kelurahan Siaga TBC bisa membantu secara signifikan dalam eliminasi kasus infeksi bakteri tersebut.
Indonesia menargetkan eliminasi TBC dengan penurunan angka kejadian menjadi 65 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian menjadi 6 jiwa per 100.000 penduduk pada 2030.
Saat ini, Indonesia menjadi salah satu lokasi pengengembangan vaksin TBC M72. Vaksin ini dikembangkan oleh Gates Foundation perusahaan biofarmasi GlaxoSmithKline (GSK) dan sudah pada Fase 2b atau pengujian vaksin untuk menilai efikasi profilaksis atau seberapa ampuh bisa mencegah terjadinya TB paru.
Meski sempat menuai pro dan kontra serta kekhawatiran dari banyak pihak, Henry Diatmo, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), menyebut vaksinasi sangat dibutuhkan untuk mengeliminasi kasus TBC, bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Sebab, hingga saat ini belum ada vaksin TBC, padahal penyakit ini merupakan salah satu penyakit tertua di dunia.
Di Indonesia, kata Henry, kasus TBC sangat mengkhawatirkan. Bahkan, angka kematiannya jauh lebih parah jika dibandingkan dengan kematian akibat Covid-19. Pengembangan vaksin untuk Covid-19 lebih cepat, sehingga jumlah kematiannya bisa ditekan secara perlahan. Begitu pun dengan jumlah pasien yang terinfeksi.
“Kita sangat mendukung adanya vaksin TBC,” kata Henry.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post