Jakarta, Prohealth.id – Data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatatkan angka yang mengejutkan.
Pasalnya, sekitar 5,18 juta anak usia 10 – 18 tahun aktif merokok. Bahkan, lebih dari 23 persen pemuda usia 15 – 24 tahun menjadi konsumen rokok. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah masalah besar yang memengaruhi masa depan bangsa.
Forum Rembuk Pembangunan Pemuda 2025 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) bersama Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) muncul di tengah tantangan ini. Tujuannya agar menjadi langkah strategis guna mendorong pengendalian konsumsi rokok sebagai prioritas dalam pembangunan pemuda. Forum ini tak hanya bertukar pandangan, tetapi menjadi panggung bagi pemuda. Utamanya untuk memperjuangkan masa depan anak Indonesia lebih sehat.
Angka Merokok Menjadi Indikator
Deputi Pelayanan Kepemudaan Kemenpora Yohan menegaskan penurunan angka merokok di kalangan pemuda harus jadi salah satu indikator utama dalam Indeks Pembangunan Pemuda (IPP).
“IPP bukan cuma angka statistik tetapi ini soal bagaimana negara memandang pemuda,” ujarnya di Bogor pada 23 Juli 2025.
Jika konsumsi rokok tidak terkontrol, maka IPP Indonesia tidak akan pernah mencerminkan kemajuan yang nyata.
Tidak hanya pemerintah, peran pemuda pun sangat krusial. Ketua IYCTC Manik Marganamahendra menyuarakan bahwa krisis rokok ini bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga ketimpangan kebijakan dan dominasinya industri rokok.
“Indonesia memiliki angka perokok laki-laki dewasa terbesar di dunia. Perubahan hanya akan terjadi jika kebijakan kita lebih cepat dari industri rokok,” tegas Manik
IYCTC melalui Manifesto Orang Muda menyerukan agar pengendalian konsumsi rokok menjadi indikator jelas dalam penilaian IPP. Mereka menuntut pemuda harus terlibat dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sampai pada tahap penegakan aturan KTR di seluruh daerah.
Anak Mudah Mengakses Rokok
Project Lead Tobacco Control CISDI Beladenta Amalia mengungkapkan tujuh dari sepuluh siswa sekolah membeli rokok secara eceran. Baik ketika pertama kali mencoba maupun dalam konsumsi rutin mereka. Bahkan pengeluaran untuk rokok bisa mencapai antara Rp30 ribu hingga Rp 200 ribu per minggu yang melebihi separuh uang saku mereka.
“Ini adalah jumlah yang sangat besar bagi anak-anak yang seharusnya tidak punya penghasilan tetap,” ucap Bela.
Fakta ini menunjukkan betapa mudahnya anak mengakses rokok dan betapa lemahnya perlindungan ekonomi dan kesehatan mereka.
Saatnya Perlindungan Hak Anak
Analisis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Wiyarso Sunarso menekankan pengendalian konsumsi rokok adalah bagian dari pemenuhan hak anak.
Indikator Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan larangan iklan, promosi, serta sponsor (IPS) rokok di bawah kerangka Kota Layak Anak (KLA) mendapatkan skor tertinggi dalam klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan. Sayangnya, banyak daerah yang belum menerapkan perda KTR secara maksimal. Bahkan beberapa daerah menerima bantuan sosial CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan dari industri rokok yang justru memperburuk situasi.
Untuk menurunkan minat merokok, salah satunya bisa dengan mengatur kemasan rokok. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan kebijakan pencantuman peringatan kesehatan bergambar atau Pictorial Health Warning (PHW) di dalam kemasan rokok tembakau. Sebenarnya, aturan PHW ini juga berlaku pada rokok elektrik. Secara rinci aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2013.
Sementara itu di tempat terpisah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menekankan bahwa investasi terbaik menuju Indonesia Emas 2045 adalah memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan menyenangkan. Ia menyampaikan hal ini saat menghadiri Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ke-41 Tingkat Provinsi Jawa Timur di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Selasa (29/7/2025) lalu.
Lebih dari sekadar hiburan, kegiatan ini mencerminkan pendekatan yang mengedepankan partisipasi anak sebagai subjek pembangunan. Anak-anak tidak hanya menjadi peserta, tetapi juga menyerukan aspirasi mereka. Dalam forum Suara Anak Indonesia, mereka menyampaikan berbagai pandangan, harapan, dan rekomendasi kepada pemerintah, mulai dari isu perlindungan dari kekerasan, akses pendidikan yang inklusif, hingga pentingnya ruang bermain yang aman. Suara Anak menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa kebijakan dan program harus disusun dengan melibatkan perspektif anak-anak sebagai pemilik masa depan bangsa.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post