“Dari dua tahun berturut-turut, Suara Anak menyampaikan kepada kami agar lindungi kami dari asap rokok. Artinya, anak-anak itu sebenarnya sudah tidak mau menghirup udara kotor,” ujar Agustina Erni, selaku Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam kegiatan Diseminasi Kajian dari Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) yang bertajuk, “Rokok Elektronik: Baju Baru Bisnis Adiktif.”
Dia membeberkan sebagai pejabat publik, dalam kehidupan sehari-hari Agustina masih menemukan banyak orang tua yang bahkan mengonsumsi rokok konvensional ataupun rokok elektronik, dekat dengan anak-anak mereka yang masih balita atau bahkan masih bayi. Kondisi yang sangat memprihatikan ini membuat Agustina terpacu untuk memberi edukasi dan menegur orang tua yang merokok depan atau dekat anak-anak dan balita. Substansinya adalah penekanan pada dampak kesehatan seperti stunting dan kesehatan pernapasan yang mengancam masa depan si anak.
“Dari data tadi menunjukkan ternyata rokok elektronik bukan cara untuk menyetop karena banyak juga pemula yang mulai dari rokok elektronik. Berarti dia berpikir kalau mau belajar dari rokok elektronik aja dulu biar dampaknya nggak gede. Nah, ada missed informasi ini” ucapnya.
Untuk menekan animo terhadap rokok elektronik, Agustina menilai pentingnya kegiatan sosialisasi dan promosi yang masif dengan melibatkan juga influencer untuk mengkampanyekan bahaya perokok aktif maupun perokok pasif. Menurut Agustina, cara ini perlu dioptimalkan mengingat iklan dan promosi rokok memiliki narasi yang kuat, populer, dan keren bagi anak-anak. Dia sepakat dalam temuan dalam kajian yang dilakukan tim IYCTC, bahwa industri rokok yang mempromosikan rokok elektronik mengusung narasi kesetaraan gender, kesehatan, ekonomi, gaya hidup masa kini, menggandeng para influencer dengan mengusung klaim bahwa produk ini lebih sehat dari rokok konvensional.
Dalam konferensi pers publikasi hasil diseminasi ini, Oktavian Denta Eko Antoro atau yang disapa Denta dari Departemen Penelitian dan Pengembangan IYCTC, rokok elektronik tidak lebih aman dari rokok konvensional karena keduanya memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan juga mengancam lingkungan.
“Bahkan rokok elektronik juga menjadi barang yang digunakan untuk melengkapi rokok konvensional sehingga muncul pengguna ganda (dual user)” tambah Denta.
Secara rinci, Denta memaparkan ada beberapa komponen zat dalam rokok elektronik. Pertama, kandungan nikotin di rokok elektronik (rotrik) dalam e-juice atau e-liquid. Seperti yang diketahui sekecil apapun kandungan nikotin, dia tetap memiliki kandungan yang menjadi racun bagi saraf dan membahayakan perkembangan otak. Apalagi, nikotin paling berbahaya bagi ibu hamil dan bayi.
Dalam rotrik juga mengandung Formaldehid (formalin) yang bisa memicu asma dan menyebabkan kerusakan genetik jika masuk ke saluran pernapasan. Sementara Propylene glycol dan perisa tidak direkomendasikan untuk dihirup karena akan merusak kesehatan pernapasan.
Di Indonesia berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (2021) jumlah pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas meningkat dari 0,3 persen atau sekitar 480 ribu pada tahun 2011 menjadi 3,0 persen atau 6,6 juta pada tahun 2021, dan sebanyak 2.8 persen adalah berusia muda dan berprofesi sebagai pelajar. Berkaca dari kondisi ini, tak heran jika Indonesia diduga akan menjadi pasar utama rotrik di Asia Tenggara.
Dalam hasil kajian IYCTC diketahui sudah ada 40 negara melarang rokok elektronik (vape) mulai dari impor, penjualan e-cig (produknya) dan e-liquid, serta penggunaannya. Sebut saja diantaranya adalah dari negara Asia Tenggara yaitu Thailand, Singapura, Laos, dan Timor Leste. Sementara lainnya ada 65 negara membuat peraturan pembatasan rokok elektronik diantaranya Brunei Darussalam dan Filipina. Artinya, tersisa tiga negara di Asia Tenggara salah satunya Indonesia dan juga Malaysia yang hingga saat ini belum memiliki regulasi terkait rokok elektronik.
Meski demikian, Prohealth.id mencatat pada pertengahan Juli 2022, pemerintah Malaysia bahkan telah berani mengambil kebijakan melarang rokok dan vape bagi warga kelahiran diatas tahun 2005. Larangan ini tercantum di RUU Pengendalian Tembakau dan Merokok yang sudah disetujui kabinet pada 13 Juli 2022. Dalam UU tersebut juga tertuang ketentuan melarang penjualan rokok, tembakau, dan produk vape kepada siapapun yang lahir setelah tahun 2005. Tersisalah Indonesia menjadi pasar utama yang dibidik oleh industri rokok dunia.
Oleh karena itu, Denta menegaskan ada sejumlah faktor yang berpotensi memicu lonjakan pengguna rokok elektronik di masa depan. Antara lain adalah gencarnya iklan rokok elektronik khususnya di media sosial dan kemudahan membeli rokok elektronik, baik di kedai rokok elektronik, mall, minimarket, hingga penjualan secara daring. Selain itu, narasi yang dibuat produsen bahwa rokok elektronik membantu berhenti merokok dan jauh lebih sehat dibandingkan rokok konvensional, menggoda orang, termasuk remaja, untuk mencoba mengonsumsi rokok elektronik.
Jordan Vegard Ahar, tim studi kasus Youth Led Activity IYCTC juga menambahkan berdasarkan hasil studi kasus dilapangan menunjukkan bahwa responden yang berusia dibawah 18 tahun sebagian besar dilarang dan tidak mendapat izin dari orang tuanya untuk mengkonsumsi rokok elektronik sehingga mereka membeli dan mengonsumsinya secara sembunyi-sembunyi dan atau diluar rumah. Nyatanya, anak-anak bisa membeli produk rokok elektronik secara bebas di media online. Hal tersebut lantaran saat ini iklan dan promosi rokok elektronik sangat masif di berbagai platform media sosial dan tak jarang dilakukan oleh influencer hingga menjadi daya tarik masyarakat membeli dan menjadikan produk ini normal.
Menanggapi hal itu, Rinaldi Nur Ibrahim selaku influencer anak muda dan Founder Youth Ranger Indonesia mengambil punya sikap tegas menolak menjadi influencer untuk produk industri tembakau. Maklum saja, Rinaldi mengambil studi pada bidang kesehatan, sehingga dia memahami tingginya dampak rokok konvensional ataupun elektronik pada tubuh manusia. Oleh karena itu, dia sepakat bahwa memang perlu adanya peraturan dari pemerintah untuk membatasi masyarakat dan anak-anak muda agar mereka tidak merasa bahwa rokok elektronik adalah sesuatu yang normal.
“Saya melihat sendiri itu dari datanya, Indonesia memang belum terlalu masif untuk mengatur Iklan, Promosi dan Sponsor rokok elektronik sehingga bisa berpotensi untuk meningkatkan penggunaan rokok elektronik oleh anak muda” ujar Rinaldi.
Respon dan Langkah Pemerintah
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan drg. Agus Suprapto, M.Kes, mengatakan bahwa Kemenko PMK bersama Kemenkes, Kemen PPPA, BKKBN, Kominfo berupaya keras mendorong proses penyelesaian revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung zat adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Dimana substansi Revisi PP 109/2012 ini mengatur perbesaran Peringatan Kesehatan Bergambar atau Picture Health Warning (PHW), pengaturan rokok elektronik, penjualan rokok batangan, pelarangan iklan, dan penguatan pengawasan” ucapnya.
Sementara itu, Sarno, SST., M.Sc. M. Buss, Ak. CA Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI mengatakan bahwa “Dari sisi kami lebih cenderung bagaimana dengan adanya pengaturan sehingga kita bisa mengendalikan konsumsi rokok agar mencapai derajat kesehatan generasi muda” ucapnya.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan, Masyarakat Kementerian Kesehatan Sakri Sabatmaja menambahkan rokok elektronik sudah diatur dalam revisi PP 109/2012. “Saat ini Kemenkes dan beberapa lembaga terkait sedang akan melakukan roadshow ke kementerian antar lembaga sebagai salah satu syarat izin prakarsa. Setelah itu kami akan melakukan uji publik” tuturnya.
Erlinda selaku Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah mengarahkan seluruh kementerian lembaga untuk mengawal dan menjaga SDM unggul. Salah satunya melalui kesehatan yang indikatornya adalah menjaga agar anak bangsa tidak terpapar dengan zat adiktif dari rokok konvensional dan rokok elektronik. “Kita sangat komitmen dan mendorong untuk adanya regulasi tentang rokok elektronik melalui revisi PP 109/2012” ucapnya.
Berkaca dari kondisi ini Rama Tantra selaku Sekretaris Jenderal IYCTC menambahkan bahwa Indonesia kembali lagi tertinggal dalam upaya pencegahan korban zat adiktif. Belum lagi masalah rokok konvensional tertangani, sekarang menjamur pesat rokok elektronik.
“Sebetulnya di 2015, Mendag Gobel sudah akan melarang peredaran rokok elektronik, tetapi tiba-tiba di 2016 rokok elektronik dikenakan cukai, yang berarti sudah dilegalkan dan tidak dapat dilarang penjualannya. Ini suatu kemunduran yang fatal.”
Akibatnya saat ini rokok elektronik sangat bebas diperjual-belikan, dipromosikan dan dikonsumsi oleh kaum muda, tidak ada peraturan untuk mengendalikan. “Sungguh keadaan yang memprihatinkan,” ucapnya.
Oleh karena itu, harus ada regulasi yang tegas untuk mengatur rokok elektronik mulai dari peredaran, penjualan, dan larangan promosi sangat penting sebagai upaya mencegah peningkatan korban konsumsi ganda produk zat adiktif tembakau di Indonesia.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post