Jakarta, Prohealth.id – Indonesia hanya mendapatkan skor rata-rata di level global dalam Tobacconomics karena rendahnya kebijakan pemerintah melakukan simplifikasi cukai rokok.
Profesor Ekonomi Kesehatan, University of Illinois (UIC), Chicago Jeffrey Drope menjelaskan, sebenarnya kinerja kebijakan cukai rokok di Indonesia tidak terlalu buruk berdasarkan Cigarette Tax Scorecard. Secara umum, skor Indonesia berada di tengah-tengah yaitu skor 2.38 dari 5.
“Ini agak tinggi sedikit dari rata-rata global,” ujar Jeffry dalam acara yang diselenggarakan CISDI, Kamis (21/10/2021).
Dia memerinci, indikator pertama penilaian adalah harga rokok di negara tersebut dan kaitannya dengan cukai. Dia menjelaskan skor Indonesia cukup rendah untuk harga rokok karena temuan bahwa harga rokok di Indonesia masih sangat murah di level Asia Tenggara dan di level dunia.
“Dari sisi harga, harga rokok di Indonesia terhitung masih lebih murah dibanding negara-negara di regional Asia Tenggara,” tuturnya.
Dia melanjutkan untuk indikator keterjangkauan, berkat konsistensi kenaikan cukai, harga rokok di Indonesia mulai beranjak menjadi lebih tidak terjangkau. Terbukti, Indonesia menempati skor 3.0 yang mana sedikit lebih baik menandakan efektivitas kebijakan pengendalian konsumsi melalui harga. “Ini sebuah trend yang sangat baik, dan patut dipertahankan,” tuturnya.
Hanya saja, dari indikator cukai dan pajak, Jeffrey menyebut, Indonesia hanya mencatat skor 2,5 yang mana agak lebih baik dari negara-negara berkembang, namun termasuk yang cukup rendah jika dibandingkan negara-negara yang sudah ketat dalam pajak dan cukai untuk produk tembakau.
“Dari sisi tarif cukai dan pajak, masih banyak ruang untuk meningkatkan kinerja Indonesia.”
Indikator terakhir adalah tentang sistem cukai, yang mana Indonesia mencatatkan skor paling rendah yaitu 1.0. Hal ini karena Indonesia masih menggunakan sistem tier alias sistem cukai tembakau yang berlapis dalam cukai, padahal sistem itu tidak optimal untuk mengendalikan konsumsi.
“Dari sisi struktur cukai, kinerja Indonesia sangat buruk. Sistem tarif cukai rokok berlapis sangat rumit untuk diimplementasikan.”
Jeffrey menyebut Indonesia bisa mencontoh Filipina yang mana sudah mulai beralih dengan simplifikasi cukai rokok. Hasilnya, secara bertahap dapat dilihat Filipina akan mendapatkan untung secara ekonomi dan kesehatan masyarakat dengan mengubah sistem tersebut.
“Kesimpulannya, masih ada ruang untuk terus meningkatkan kinerja kebijakan cukai rokok di Indonesia dari semua sisi,” ujar Jeffrey.
Sebelumnya Prohealth.id mencatat, Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan tarif cukai rokok per golongan di Indonesia sangat rumit yang mengakibatkan upaya pengendalian konsumsi rokok tidak kunjung terjadi.
Dia menjelaskan, kondisi ini kerap membuat konsumen atau para perokok selalu punya pilihan beralih dengan merek lain, atau, industri rokok juga bisa mengupayakan penjualan rokok dengan harga eceran per batang yang jauh lebih murah dan sangat gampang diakses oleh anak dan remaja.
“Akibat dari golongan yang banyak, misal, merek X dan merek Y sama-sama kena cukai rokok, namun mereka awalnya punya harga jual yang berbeda, akhirnya tetap akan bisa dijangkau masyarakat karena ada pilihan yang tetap murah,” ungkap Faisal.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post