Hasil studi dari SEATCA (Southeast Tobacco Control Alliance) terbaru yang berjudul: “Rupiah yang Hilang: Studi tentang Kerugian dari Penundaan Kebijakan Cukai yang Optimal di Indonesia” memproyeksikan setidaknya Rp108,4 triliun yang hilang akibat kebijakan cukai yang tidak optimal hingga 457.700 masyarakat Indonesia yang meninggal akibat masalah rokok.
Studi ini menemukan ada jumlah dana besar yang akhirnya hilang dari penerimaan negara karena penundaan berulang kali terhadap kebijakan cukai yang optimal.
Dr. Anton Javier, FCTC Program Officer SEATCA menyatakan apabila layer cukai tembakau ini disimplifikasi secara progresif, penerimaan negara dan dampak kepada kondisi kesehatan masyarakat tentu akan membaik seiring waktu. “Penyederhanaan layer cukai hingga menaikan level cukai hingga 25 persen dari baseline adalah rekomendasi kebijakan kami yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia,” jelasnya.
Ada lebih dari 65 juta perokok di Indonesia termasuk anak-anak. Sekitar 300 miliar batang rokok kretek diproduksi dan dijual setiap tahun menjadikan Indonesia pasar yang menguntungkan bagi industri tembakau. Belum lagi, regulasi pengendalian tembakau juga masih lemah dan industri tembakau dipandang memiliki pengaruh terhadap penetapan kebijakan.
Sistem cukai hasil tembakau merupakan kebijakan pengendalian yang efektif karena bisa mengurangi tekanan pada sistem kesehatan, mengurangi beban penyakit terkait tembakau, meningkatkan penerimaan negara.
Namun, sistem cukai berjenjang yang kompleks, seperti di Indonesia, akan menguntungkan industri tembakau karena memberi peluang bagi perokok untuk beralih ke produk yang lebih murah ketika harga rokok naik. Ditambah lagi, membuat pemerintah kehilangan pendapatan yang sangat dibutuhkan.
Sistem tarif cukai multilayer di Indonesia adalah unik karena tidak ada alasan untuk pembenaran banyaknya layer selain dibuat untuk menguntungkan industri tembakau.
Struktur tarif cukai tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh industri tembakau untuk secara legal menghindari pembayaran cukai dengan tarif tertinggi dan membuka kesempatan untuk penghindaran cukai.
Kelemahan dari kebijakan cukai di Indonesia adalah tidak dilakukannya peninjauan secara berkala terhadap harga banderol dan cukai spesifik.
Dr. Ulysses Dorotheo selaku Executive Director SEATCA berharap melalui studi SEATCA ini dapat meyakinkan pembuat kebijakan dan lembaga legislatif untuk segera menaikkan cukai tembakau dan menyederhanakan layer cukai tembakau menjadi satu lapis atau yang paling sedikit mungkin.
“Kami juga fokus pada kesehatan masyarakat, untuk meraih revenue yang tinggi kita juga harus mengarahkannya pada pembangunan kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kebijakan cukai adalah win-win solution untuk fiskal dan kesehatan,” katanya.
Sementara itu, Iyan Rubianto, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa RPJMN 2020-2040 berfokus kepada menurunkan prevalensi perokok hingga reformasi kebijakan cuka, serta GERMAS untuk kesehatan masyarakat.
Guna menurunkan prevalensi perokok, RPJMN menargetkan untuk menguatkan kebijakan cukai serta simplifikasi tarif cukai. Indonesia sudah menerapkan beberapa perbaikan untuk kebijakan cukai, mulai dari mengganti bentuk cukai ad valorem hingga mengupayakan simplifikasi layers. “Kami juga mendukung kebijakan non fiskal sebagai roadmap yang komprehensif, seperti pelarangan iklan, pictorial health warning, dan lain-lain, agar kebijakan multisektor dapat lebih berpengaruh pada dampak kesehatan masyarakatnya,” jelasnya dalam acara daring Cukai Rokok di Indonesia: Menghitung Rupiah yang Hilang, Rabu, 3 Agustus 2022.
Cukai bukan satu-satunya, tetapi paling efektif
Hasbullah Thabrany, Ketua Komisi Pengendalian Tembakau, menyatakan bahwa untuk melakukan stronger control, cukai bukan satu-satunya alat untuk mengendalikan. Tetapi, fakta-fakta di dunia memperlihatkan cukai rokok merupakan paling efektif.
“Price is most effective to control consumption,” jelasnya. Sayangnya, hal ini belum cukup kuat di Indonesia.
Ia menyatakan bahwa kita lupa penjualan rokok dikuasai oleh perusahaan-perusahan besar. “Indutsri-industri kecil itu mati atau berhenti berproduksi bukan karena cukai. Kita lihat korelasi sangat kuat dengan market sales dari industri rokok besar yang iklan luar biasa. Bukannya karena cukai rokoknya tetapi tidak mampu bersaing. Industri besar juga kan pakai mesin-mesin yang luar biasa,” tandasnya.
Solusi-solusi yang bisa dilakukan antara lain, menggunakan dana cukai sebagian untuk memperkuat petani agar bisa hidup lebih baik, memperkuat pekerja rokok agar bisa hidup lebih baik, itu bisa dilakukan tetapi belum benar.
“Ini menunjukkan komitmen pemerintah masih setengah-setengah, karena kekhawatiran akan uang cukup besar (dari cukai). Uang sebesar 13 persen itu bukan uang kontribusi dari rokok, itu adalah uang denda bagi perokok, bagi orang-orang yang tidak hidup sehat. Jadi salah lihat, ini uangnya besar. Tidak dilihat masa depan efeknya seperti apa. Ini bagian luar biasa ancaman masa depan,” jelasnya.
Ia menambahkan kita harus sensitif terhadap masyarakat bawah yang menjadi korban dan kecanduan rokok, sementara industri masih tetap raup untung.
“Sumbangan dari industri adalah pajak penghasilan yang tidak banyak. Itulah hasil yang real dari industri rokok bukan cukai. Itu yang betul-betul dilihat, supaya jangan sampai salah lihat kebijakan,” jelasnya. “Ini yang menjadi tantangan kita. Penyederhanaan cukai tier itu juga politiknya panjang, tapi solusi bisa kita carikan.”
Sementara itu, Faisal Basri, Ekonom Senior Universitas Indonesia menegaskan kembali pentingnya kebijakan cukai dengan perhitungan yang optimal sebagai kendali konsumsi.
“Selama pandemi, kita terdampak learning loss pada generasi muda yang akan menjadi bonus demografi Indonesia. Sangat disayangkan apabila pendapatan negara yang meningkat justru dialihkan pada kebutuhan yang bukan pembangunan manusia lewat pendidikan dan kesehatan padahal rokok sudah merusak generasi emas kita,” tambahnya.
Tahun 2019, lanjutnya, ada 52,8 persen masyarakat Indonesia dalam kondisi insecure, apabila konsumsi rokok dibiarkan meningkat hal ini dapat mengkhawatirkan kondisi masyarakat dalam garis kemiskinan.
Sebagai bagian dari pemangku kepentingan yang menyusun kebijakan cukai setiap tahunnya, Febri Pangestu selaku Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menanggapi bahwa Kemenkeu tetap mendorong simplifikasi hingga saat ini, namun mesti dilihat unifikasi di Indonesia dengan 630 industri, 538 di antaranya adalah UMKM.
“Kami juga mendorong bahwa keseluruhan policy pengendalian tembakau harus bersama-sama dimajukan, kami sepakat bahwa kebijakan cukai hasil tembakau yang juga harus diiringi dengan kebijakan lain, seperti revisi PP 109. Upaya untuk pengendalian tembakau memang harus dilakukan secara lintas sektoral, tidak hanya fiskal tapi juga non fiskal.”
Lebih lanjut, Hasbullah menyatakan bahwa pemerintah bisa melakukan kampanye besar untuk hidup sehat, counter iklan-iklan rokok yang kreatif, iklan yang mencegah anak-anak beli rokok, menyembuhkan mereka yang sudah kecanduan. “Intinya, kita harus berpihak kepada orang banyak, bukan uang banyak.”
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post