Jakarta, Prohealth.id – Nasib petani tembakau masih menjadi topik yang hangat dan kerap mencuat jelang akhir tahun ketika pemerintah sedang memproses pengambilan kebijakan tentang cukai hasil tembakau.
“Dulu, kakek dan nenek saya petani tembakau. Kami, petani lama-lama bosan, punya tembakau tetapi ketika panen tidak ada bayaran,” ungkap Nur Rakhmat Soleh anak petani tembakau di Magelang, Jawa Tengah. Lelaki yang akrab disapa Amin ini memang sudah beralih tanam menjadi petani multikultur sejak tiga tahun lalu. Dia pun tergabung dalam petani multikultur binaan Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang.
“Petani itu seharusnya berdaya, tidak perlu malu jadi petani. Kalau mau beralih harus bisa memberdayakan masyarakat. Harus ada niat mengembangkan potensi yang ada,” tutur Amin.
Amin menyebut, untuk mewujudkan upaya pemberdayaan petani tidak bisa petani berjalan sendiri. Petani butuh dukungan dan bantuan berupa kebijakan dari level pemerintah. Pertanyaan berikutnya, apakah kebijakan itu sudah membuat petani sejahtera?
PETANI TEMBAKAU KORBAN PHP INDUSTRI ROKOK
Salah satu peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Suci Puspita Ratih menjelaskan, pihaknya menemukan petani tembakau di Indonesia terjebak pada lingkaran kemiskinan karena bergantung pada industri. Hal ini dikarenakan konsumen yang membeli tembakau para petani adalah industri. Alhasil, petani tembakau terjebak sebagai price taker bukan price maker dalam industri ini. Implikasinya, petani terjebak dalam sistem tata niaga tembakau yang tidak adil.
“Posisi tawar petani rendah, akumulasi modal juga rendah, ketersediaan teknologi pertanian terbatas, skill rendah, akhirnya petani tembakau tidak sejahtera sejak dulu,” ujar Ratih dalam Instagram Live Komnas Pengendalian Tembakau beberapa waktu yang lalu.
Dia memerinci dalam riset yang diselenggarakan PKJS UI, komoditas tembakau sebenarnya punya volatilitas tinggi. Sehingga risiko kerugiaan pun menjadi tinggi ketika petani memanen dalam kondisi cuaca yang tidak mendukung. Ambil saja contoh, para petani ini kerap dipaksa atas permintaan dan arahan industri untuk menanam pada bulan Mei, saat cuaca masih sering hujan. Panenan pun rusak, dan mau tak mau harus menanam ulang.
Temuan lain, modal yang dikeluarkan oleh para petani tembakau tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Jikalaupun, kata Ratih, ada petani tembakau yang sejatera, tentu karena penghasilan mereka tinggi dengan modal yang cukup. Sayangnya, dalam temuan PKJS UI di Lombok Tengah, Pamekasan, dan Kendal para petani mengakui hal yang sebaliknya.
“Temuan saya di Lombok Tengah, petani menjual Rp1.500 per kuintal tembakau basah, modalnya saja sudah tidak cukup apalagi dengan tenaga tadi itu hasilnya tak sebanding. Mereka akhirnya jual dengan harga berapapun, daripada tidak dijual sama sekali,” tutur Ratih.
Kondisi ini masih diperparah dengan hadirnya tengkulak dalam sistem tata niaga tembakau. Kelompok tengkulak menurut Ratih jauh lebih tidak menghargai dan membayar dengan berapapun nilainya kepada petani.
“Petani dengan modal produksi yang tinggi, harga jual murah, modalnya besar mau tak mau mereka kerap berhutang. Kondisi-kondisi ini memicu kejenuhan sehingga petani perlahan mulai beralih tanam,” sambungnya.
Sayangnya, upaya alih tana mini tak mudah. Ratih mengaku melekatnya tembakau dengan budaya masyarakat setempat kerap mempersulit proses integrasi petani monokultur tembakau menjadi petani multikultur.
JANJI TINGGAL JANJI
Abdillah Ahsan selaku Direktur SDM Universitas Indonesia memaparkan, sejak 2009 lalu kesejahteraan petani terancam bukan karena menurunnya konsumsi perokok. Sebaliknya, impor daun tembakau sudah melebihi angka ekspornya. Dalam hening suara petani kondisi ini terus berlanjut dan terbukti, pada 2017 ekspor daun tembakau dari Indonesia berjumlah 29 ribu ton, sementara ekspor daun tembakau mencapai 119 ribu ton. Artinya, dari sisi konsumsi produk tembakau tidak ada penurunan sama sekali.
Menurut Abdillah kondisi ini menandakan janji-janji memajukan kesejahteraan petani hanya sebatas janji palsu. Harapan-harapan palsu ini hanya bisa dibatalkan jika pemerintah dengan serius mendorong rangkaian kebijakan menekan impor daun tembakau.
“Pertama, perlu melakukan kajian tentang perluasan lahan tembakau sesuai agro klimat dan kondisi masyarakat. Sehingga lahan perluasan ini digunakan untuk meningkatkan produksi jenis tembakau substitusi impor,” ujar Abdillah.
Dengan perluasan lahan, Abdillah menilai akan terjadi peningkatan produksi dan menurunkan harga tembakau substitusi impor. Dengand emikian, maka produk tembakau dari petani lokal akan lebih kompetitif dibandingkan tembakau impor.
Kedua, penting juga pemerintah melakukan kajian tentang kandungan klor dalam daun tembakau agar tembakau domestik memiliki spesifikasi yang sama dengan tembakau impor.
Ketiga, senada dengan Amin, Abdillah juga menyebut pentingnya melakukan komunikais intensif dengan industri rokok agar pemerintah bisa membantu nasib petani. Dengan demikian, peningkatan kebutuhan akan daun tembakau dipenuhi dengan produksi tembakau domestik.
Keempat, melakukan pilot project mengenai perluasan lahan, perbaikan kandungan klor dan komunikasi tripartit antara industri rokok, petani tembakau dan pemerintah dengan tujuan mengganti tembakau dengan tembakau domestik.
SOLUSI: NAIKKAN TARIF BEA MASUK IMPOR
“Untuk membatasi impor daun tembakau perlu ada peningkatan tarif bea masuk impor,” ungkap Abdillah.
Dia memerinci, setelah kenaikan tarif disahkan, Kementerian Pertanian perlu menyiapkan laporan mengenai kondisi pertanian tembakau dan dampak dari impor tembakau terhadap kesejahteraan petani tembakau.
Selain itu, Kementan juga menyusun usulan kepada Kementerian Keuangan agar tarif bea masuk impor daun tembakau ditingkatkan. Kementan juga harus mengusulkan agar tembakau diekslusi dari perdagangan internasional.
“Selanjutnya, Kementerian Keuangan menindaklanjuti usulan peningkatan tarif bea masuk impor tembakau itu,” kata Abdillah.
Secara terpisah, Angga, mewakili Serikat Petani Indonesia (SPI) mengamini ujaran Abdillah. Sejak 2018, dia menyebut ada peningkatan jumlah petani gurem karena ada 60 persen dari petani ini memiliki lahan di bawah 0,5 hektare. Kendala lahan yang sempit ini juga dialami hampir di 22 provinsi yang menanam tembakau, terutama di wilayah Sleman dan Bantul. Oleh karena itu, Anggi menegaskan kini SPI mendorong para anggotanya untuk mulai beralih jadi multikultur bukan lagi petani monokultur.
“Ada masalah utang tadi, sehingga selain harga harus ada kejelasan dari kebijakan pemerintah bagi petani tembakau. Petani selalu menjadi sebatas mitra, ada juga petani swadaya mereka pun termiskinkan karena yang ambil lebih banyak keuntungan selalu adalah korporasi,” tegas Angga.
Dia menegaskan pentingnya memperkuat petani Indonesia pada level global. Oleh karenanya, harus ada dukungan, sarana dan prasarana bagi petani tembakau dalam mengembangkan usaha.
“Jadi jangan lupa juga ketika nanti produksi tembakau nasional turun saat alih fungsi tanaman tembakau itu perlu kita kontrol jangan sampai impornya meningkat. Jangan sampai jadi dalil korporasi ketika tembakau asli berkurang jadi jalan masuk tembakau sintesis,” tambahnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post