Jakarta, Prohealth.id — Perusahaan rokok transnasional ditengarai sebagai salah satu penghasil polusi terbesar di dunia, meskipun mereka justru memamerkan praktik-praktik pro lingkungan, melalui penghargaan dari komunitas bisnis dan hasil audit rantai pasok atau bidang-bidang yang dianggap patuh terhadap aturan.
Hal itu diungkapkan STOP, lembaga pengawas industri tembakau global dalam laporan terbarunya yang berjudul Our World is Being Burned By Tobacco.
Laporan tersebut mengungkapkan praktik buruk industri rokok melalui kedok kegiatan bakti sosial (CSR). Perusahaan rokok transnasional berusaha memberi kesan bahwa mereka bekerja sama dengan komunitas bisnis untuk mendukung upaya tertentu, sehingga mengaburkan perhatian publik atas fakta, bahwa produksi tembakau tidak sama dengan bisnis pada umumnya.
“Industri tembakau dianggap tidak memberikan manfaat kesehatan atau sosial apapun, membunuh 8 juta orang setiap tahunnya dan menimbulkan beban ekonomi sebesar 1,4 triliun dolar AS setiap tahun,” tulis laporan tersebut, dikutip Prohealth.id.
Khusus publisitas terhadap kegiatan CSR, selain melanggar larangan sponsor rokok di seluruh dunia, juga menimbulkan kesan palsu bahwa industri rokok dapat dipercaya untuk melaksanakan praktik-praktik taat asas di sepanjang rantai pasokannya secara sukarela.
Padahal World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) mensyaratkan bahwa industri rokok harus diatur secara ketat oleh pemerintah dan tidak dapat dipercaya untuk melakukan pengaturan sendiri dalam bentuk apapun.
Hal itu merupakan rekomendasi para ahli, panduan WHO FCTC dan riset independen yang didanai dan dilindungi dari campur tangan industri tembakau. Atas dasar itu ditemukan tujuh praktik CSR yang acap kali dilakukan sebagai strategi oleh industri rokok.
Pertama, inisiatif CSR perusahaan rokok mengalihkan perhatian dari perusakan terhadap lingkungan. Program CSR perusahaan rokok dalam bidang lingkungan seperti penanaman pohon, pembersihan pantai, telah terekspos sebagai kedok pengalihan perhatian dari masalah sebenarnya.
“Padahal industri rokok terus memproduksi produk berbahaya, gagal bertanggung-jawab terhadap produk mereka selama siklus produk, mempertahankan harga rendah rokok, menolak memberikan daya tawar kepada pekerja dan mendorong perluasan ke lahan yang lebih subur dan penggunaan agrokimia beracun,” tulisnya.
Di sisi lain, audit terhadap perusahaan rokok hanyalah ilusi, dan justru secara efektif mengekalkan masalah-masalah tersebut. Audit justru mengaburkan betapa luasnya dampak kerusakan lingkungan dan tanggung-jawab industri rokok serta merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5.3 WHO FCTC.
“Perusahaan sudah mengakui bahwa puntung rokok adalah benda yang paling banyak dibuang, mencapai 4-5 triliun batang setiap tahun, dan perlu waktu sampai 15 tahun untuk terurai,” demikian isi laporan tersebut.
Sebagai respons, pembersihan laut sesekali didanai oleh perusahaan rokok sambil mengingatkan bahwa konsumenlah yang bersalah karena membuang sampah, tanpa mengakui tanggungjawab bahwa toksin yang terus dilepaskan ke lingkungan selama penguraian berasal dari produk mereka yang tidak dirancang dengan baik.
“Perlu dicatat bahwa puntung rokok yang diklaim “bio-degradable” (dapat terurai secara alami) tetap merusak biota air,” tulisnya.
Sambil mengklaim bahwa mereka telah mematuhi regulasi lingkungan di negara maju, perusahaan rokok malah memindahkan sebagian besar manufakturnya ke negara berpendapatan rendah dan menengah, di mana sebagian besar tanaman tembakau dibudidayakan. Ini dilakukan untuk menghindari pertanggung-jawaban dan regulasi lingkungan yang ketat.
Akibatnya, sebanyak 2 juta ton limbah padat tercipta setiap tahunnya, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan di negara berpendapatan rendah dan menengah. Ini diperparah dengan buruknya pengolahan limbah, sistem pengairan yang terpolusi dan penggundulan hutan.
Kedua, strategi humas industri rokok terkait lingkungan mengaburkan solusi kesepakatan internasional untuk mengatasi dampak lingkungan dari produksi rokok. Kontribusi industri rokok untuk lingkungan, seperti promosi “penanaman pohon”, mengaburkan solusi sebenarnya untuk melindungi lingkungan dan memulihkan ekosistem, yang di saat bersamaan memberi publikasi terhadap “praktik berkelanjutan” versi mereka.
“Upaya-upaya tersebut tidak mendukung opsi publik yang sudah menjadi kesepakatan komunitas internasional dalam rangka mengatasi dampak lingkungan produksi rokok,” tulisnya.
Ketiga, perusahaan rokok mengalihkan kesalahan kerusakan lingkungan kepada konsumen. Strategi CSR industri tembakau dalam mengatasi kerusakan lingkungan difokuskan pada upaya yang terang-terangan memamerkan “proyek tanam pohon” dan “proses manufaktur bersih”, sekaligus meningkatkan kesadaran tentang sampah puntung rokok dengan menyediakan asbak dan bak sampah di area publik.
Pesan yang disampaikan industri rokok sangat jelas: “Halaman rumah kami bersih dan masalahnya adalah perokok yang membuang sampahnya sembarangan, namun kami juga membantu mengatasinya.”
Pesan itu membuat kabur fakta bahwa membuang puntung rokok pada dasarnya disebabkan oleh filter rokok itu sendiri, yang dirancang oleh perusahaan rokok, dan mereka yang harus bertanggung-jawab terhadap desain buruk dari produk yang mereka jual.
Produk rokok sangat adiktif dan lebih dari 70 persen perokok ingin berhenti. Namun konsumen dirayu dengan produk yang mematikan dan dibebani adiksi. Mereka kemudian disalahkan oleh perusahaan rokok karena membuang sampah dari sisa produk mereka.
“Alih-alih menyalahkan konsumen, tanggung-jawab produk di seluruh siklusnya harus dipikul oleh produsen rokok. Hal ini disebut juga Tanggung-jawab Produsen Secara Luas Extended Producer Responsibility (EPR),” terangnya.
Keempat, riset yang didanai industri rokok dilakukan untuk kepentingan mereka sendiri. Niatnya untuk melindungi diri dari kewajiban, bukan untuk keperluan pertanggung-jawaban. Laporan industri rokok dengan sengaja menutup-nutupi dampak buruk rokok terhadap lingkungan.
Sebagai contoh, perkiraan konsumsi bahan bakar kayu oleh perusahaan tembakau multinasional sangat rendah, dengan indeks SFC (Specific Fuel Consumption) hanya sebesar 7,8kg kayu/kg daun tembakau dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yaitu antara 100 kg – 230 kg kayu/kg daun tembakau.
Dampak penggundulan hutan global tahunan juga diperkirakan hanya 5 persen, namun angka sesungguhnya mencapai 30 persen di beberapa negara, dan hanya diungkap melalui riset independen.
Perlu dicatat bahwa riset industri rokok mengenai sampah yang mengklaim tingkat penyelundupan yang amat tinggi, dimanfaatkan oleh perusahaan rokok untuk mengimbangi kenaikan pajak.
“Dapat dikatakan sebagai teknik menyelamatkan diri, karena tidak mengakui kepemilikan sejumlah besar puntung rokok dengan mengklaim bahwa puntung tersebut berasal dari produk bajakan. Juga mengurangi kewajiban potensial perusahaan rokok terhadap kerusakan terkait pembersihan dan racun lingkungan yang dilepaskan ke laut,” papar penelitian tersebut.
Kelima, praktik industri rokok yang memberi insentif terhadap perkebunan tembakau dan menghambat strategi diversifikasi membuat petani kecanduan budidaya tembakau.
Sebagai bagian dari bisnis inti dan rantai pasokan, perusahaan rokok memberi kesan palsu bahwa mereka mendukung budidaya tembakau. Kemudian dengan kedok inisiatif CSR memungkinkan mereka memberi bantuan teknis dan finansial untuk budidaya tembakau.
“Namun pemberian insentif kepada budidaya tembakau merupakan upaya menentang diversifikasi, yang merupakan solusi utama untuk mengatasi bahaya rokok terhadap kesehatan dan lingkungan,” tegasnya.
Struktur perjanjian keuangan yang dibuat oleh industri rokok diciptakan untuk membuat petani tetap candu terhadap budidaya tembakau. Sebagian insentif yang diberikan perusahaan rokok, misalnya, dimaksudkan untuk memikat petani tembakau dan para pekerja untuk dan menimbulkan ketergantungan. Pada akhirnya, terus menerus berhutang.
Keenam, front pembela perusahaan rokok dan kedok CSRnya membungkam suara petani dan pekerja yang terdampak akibat kerusakan lingkungan. Kesepakatan global dan perjanjian kebijakan mensyaratkan perusahaan rokok untuk tidak ikut dalam pembuatan kebijakan, khususnya diversifikasi pertanian yang seharusnya dipimpin oleh pekerja/petani.
Akibatnya, suara petani tembakau dan pekerja yang terdampak akibat kerusakan lingkungan tidak terwakili, ketika industri rokok membentuk front-front pembela seperti International Tobacco Growers’ Association (ITGA), Asosiasi Pembudidaya Tembakau Internasional yang melakukan lobi atas nama mereka.
“Tujuannya untuk memberikan argumen palsu tentang kondisi sosial-ekonomi petani sebagai dasar untuk menentang upaya pengendalian rokok seperti kenaikan pajak”.
Industri rokok justru mengambil alih suara pemangku kepentingan dalam diskusi mengenai diversifikasi melalui Agriculture Transformation Initiative (ATI), inisiatif transformasi agrikultur bentukan Foundation for a Smoke-Free World yang didanai Philip Morris, meskipun Pasal 5.3 WHO FCTC mensyaratkan untuk melindungi kebijakan agrikultur dan lingkungan dari kepentingan komersial industri rokok.
Ketujuh, perusahaan rokok menolak untuk membayar biaya kerusakan lingkungan meskipun sudah didukung oleh bukti legal dan rasional. Budidaya tanaman tembakau mengakibatkan kerusakan ekosistem dan menyumbang 5-30 persen penggundulan hutan, menyebabkan emisi gas rumah kaca.
Melaksanakan litigasi dan intervensi ekonomi untuk mengganti biaya pelanggaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan industri rokok merupakan solusi utama yang direkomendasikan para ahli untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat rokok.
Ini kosisten dengan Pasal 19 WHO FCTC terkait kewajiban industri rokok melaksanakan kompensasi. Namun hingga saat ini, industri rokok masih menghindari tanggung-jawabnya terhadap kerusakan lingkungan dengan memindahkan operasionalnya ke wilayah yurisdiksi dengan regulasi yang tidak terlalu ketat atau bahkan longgar.
Contohnya, menanggapi keluhan terkait polusi udara dan seruan terhadap regulasi rokok yang lebih ketat di Uganda, British American Tobacco memindahkan fasilitasnya ke Kenya.
Meskipun penilaian mengindikasikan tingkat kerusakan lingkungan yang sangat luas, tidak ada proses pengadilan yang menuntut tanggung jawab perusahaan rokok. Padahal pasal 6 WHO FCTC (upaya harga dan pajak untuk mengurangi permintaan tembakau) sudah menjelaskan tentang perlunya menuntut industri rokok untuk membayar dampak eksternal negatif industri melalui kenaikan pajak rokok.
Sejalan dengan ketentuan itu, beberapa negara sudah mengenakan bea dan biaya tambahan yang sesuai dengan prinsip “polluter pays” (penghasil polusi diharuskan untuk membayar).
Perusahaan rokok telah menentang kenaikan pajak rokok dalam bentuk apapun, termasuk kebijakan yang mengharuskan produsen untuk menyisihkan keuntungan bagi mengganti kerugian akibat rokok.
Perusahaan rokok juga menentang kebijakan yang mengharuskan industri rokok membayar biaya pembersihan, termasuk kebijakan-kebijakan yang sedang dipertimbangkan di Uni Eropa, Perancis, Irlandia, Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post