Kiprahnya sebagai pejuang dan aktivis hak penyandang disabilitas membuat Maulani Agustiah Rotinsulu (61), mantan Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) punya banyak perspektif tentang perjuangan hak dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
Maulani yang dibesarkan di Papua ini sudah hampir 40 tahun berkarya untuk kesetaraan hak penyandang disabilitas. Ia kini menjadi perwakilan Indonesia untuk Asia Tenggara dalam organisasi penyandang disabilitas.
Memasuki tahun politik, Maulani pun membagikan perspektif dan pengalaman sebagai salah satu penyandang disabilitas fisik, utamanya tentang dinamika politik bagi penyandang disabilitas.
Berikut wawancara lengkap Prohealth.id dengan Maulani tentang hak politik disabilitas dalam menjadi calon legislatif maupun dalam memilih pada Juli 2023 lalu.
Bagaimana pandangan Anda terkait fenomena penyandang disabilitas dilamar oleh partai menjadi caleg?
Menurut pandangan saya terkait level disabilitas masuk di dalam dunia politik sebagai role model baru sampai disitu (affirmative action), cara manusia secara umum, apalagi di dunia politik gitu. Dunia politik mencari role model, sesuatu yang lain daripada lain dan menarik perhatian. Jadi kalau misalkan mereka melibatkan penyandang disabilitas dalam kontestasi politik, kalau menurut saya, ya sampai disitu memang.
Apakah ini menandakan stagnansi dalam memperlakukan disabilitas di kancah politik?
Ya, artinya, jualan keistimewaan itu memang masih jauh, masih jauh panggang daripada api Ekspektasi kita sebagai masyarakat disabilitas yang kemudian masuk dalam masyarakat inklusi itu masih jauh.
Saya tidak bilang ini salah, ini benar, karena setiap bidang mereka punya cara sendiri dan strategi sendiri. Yang saya tahu teman-teman penyandang disabilitas yang ikut 5 tahun lalu ada sekitar 42 orang. Nah, itu memang levelnya pada ini ya, pada awareness raising.
Jadi memang masih terpaku kepada awareness raising ya?
Lebih kepada apa namanya, vote getters untuk kepedulian. Ya kan, ya, at least bukannya salah sih, namun, dia ini [disabilitas] mau dijadiin caleg beneran, yang partisipasi penuh terlihat, yang kapasitasnya terkait masalah masyarakat, publik, dan politik, kemudian terukur, kemampuannya. Masih belum sampai disitu, kita lihat partai-partai pun masih seperti itu.
Jadi bisa disimpulkan bahwa partai politik menjemput teman-teman disabilitas dengan politic vote getters dan memenuhi ketentuan keterwakilan kelompok marjinal?
Ya memang masih sebatas itu.
Berdasarkan data yang Anda sebutkan tadi, sewaktu 5 tahun lalu ada 42 caleg disabilitas, mayoritas anggota HWDI saja atau umum?
Secara umum. Jadi kita coba mendata, saya juga salah satu pengurus PPUAD [Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas], dan nanti kita juga akan mendata, seluruh Indonesia, yang ikut dalam Pemilu ada berapa banyak. Kami kumpulkan, kami kerjasama dengan KPUD, Bawaslu. Mereka bantu kita menemukan caleg penyandang disabilitas.
Apa saja latar belakang para caleg tersebut?
Ada kebanyakan, tidak sampai fifity percent, mereka ini aktivis dari nasional, dari daerah. Kebanyakan mereka di daerah yang mencoba mengadu nasib.
Persentase dapil dari sekitar 40-an caleg itu kebanyakan kabupaten, kota dan provinsi ya?
Iya betul. Betul. Kebetulan dapat banyak usulan dicari dari level tingkat 2 dan 3, karena teman-teman banyak yang berani disana. Kalau di tingkat nasional, kebanyakan penggiatnya.
Menurut Anda mengapa itu terjadi?
Misalnya, masih ada rasa tidak percaya pada dunia politik jadi jarang di level nasional. Kecuali, Surya Tjandra misalnya, yang kemudian jadi wakil menteri. Dia memang mainnya melalui LBH [lembaga bantuan hukum], lalu PSI [Partai Solidaritas Indonesia]. Jadi dia sudah masuk lama.
Nah, dari 40-an caleg disabilitas yang berhasil berapa persen?
Waktu itu keliatannya, dibawah sekali. Karena tidak sampai 1 persen. Iya, tampaknya memang tidak sampai 1 persen. Bahkan Surya Tjandra pun dia kalah.
Menurut pengamatan organisasi, apa saja partai yang terlihat konsistem merekrut disabilitas sebagai caleg?
Salah satunya Gerindra ya. PDIP sebenarnya tidak terlalu. Kalau Gerindra dia punya semacam perhatian khusus dan kemudian menampung teman-teman yang mau direkrut menjadi calon-calon.
Apakah juga karena Gerindra salah satu pengusul untuk UU Disabilitas?
Iya, pada saat pertama kali kita masuk ke DPR melalui Pak Edhy Prabowo ya yang akhirnya terkena kasus korupsi. Waktu itu dia masih sekjen di sekitar tahun 2014, lalu kita masuk ke DPR. Nah, seminar pertama yang dilakukan di DPR tentang UU disabilitas itu mereka yang fasilitasi. Mereka konsisten sampai sekarang, kalau ada pertemuan-pertemuan selalu mengundang kita, siapa yang mau datang. Baik dalam gerakan macam-macam.
Apa saja contoh konsistensinya?
Misalnya sosialisasi, charity. Untuk kegiatan charity biasanya perorangan, anggota-anggota mereka. Secara kelembagaan mereka melakukan apapun selalu undang organisasi masyarakat disabilitas dibandingkan lainnya.
Ada lagikah partai selain Gerindra yang masih komitmen melibatkan penyandang disabilitas?
Dulu itu Partai Demokrat, tapi masih zaman bapaknya berkuasa, masih zaman SBY. Setelah itu, hilang. Kalau Gerindra ini kelihatan masuk dalam SOP mereka untuk pelibatan masyarakat disabilitas, atau memperhitungkan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek ya.
Selama ini HWDI, atau organisasi penyandang disabilitas lainnya ada yang pernah bikin sosialisasi mendorong anggota untuk menjadi caleg?
Iya, kebanyakan itu terjadi di daerah dan didekati partai. Kayak sekarang yang pendekatan itu ada di NTB itu. Ketua HWDI Mataram didekati oleh partai politik dan setahu saya, ada yang laporan dan minta pertimbangan sekitar 3 orang di Jambi, kemudian NTB, dan Palembang, mereka maksudnya didekati oleh parpol dan diajak nyaleg di level DPRD. Cuma saya belum monitor sampai dimana.
Seperti apa dinamikanya?
Kalau di NTB kelihatan sudah ada dukungan-dukungan. Dia banyak tampil di publik, diajak berbagai tokoh publik, ya memang biasa. Tapi ada unsur itu, diajak Polres, lalu diajak Polda. Kita HWDI memang ada MoU dengan Mabes Polri. Tapi menurut saya ya itu, ada kontestasi terkait dengan orang-orang yang melakukan pendekatan.
Seperti apa keterlibatan yang Anda harapkan dari para caleg disabilitas yang berkontestasi ini?
Kalau menurut saya para caleg di tahun politik ke depan, partisipasinya lebih bermakna. Teman-teman disabilitas perlu diperhitungkan bahwasanya mereka punya konstituen. Karena kan, ya paling tidak di 5 tahun terakhir, kita sangat booming kerjaannya dan memperlihatkan konstituen kita dimana-mana. Kalau kita mengukur misalnya berapa banyak anggota HWDI di Facebook, ada banyak orang yang mengakui dirinya anggota HWDI. Tapi kalau saya punya apa ya, teman gitu ya, teman di FB itu 50 persen kemudian adalah HWDI atau orang yang tersentuh dengan program HWDI kemudian mereka menjadi penerima manfaat dari HWDI dan kemudian mereka saying something, ada benefitnya dengan HWDI. Saya pikir itu juga jadi perhitungan tokoh politik dan parpol.
Jadi pertimbangan kedekatan disabilitas dengan konstituen dan masyarakat jadi pertimbangan partai melamar mereka, begitu?
Ya dulu biasanya caleg dicomot dekat-dekat hari pendaftaran. Maksudnya tiba-tiba diajak, seperti Ibu Ariani, di periodenya Pak SBY juga, tiba-tiba dan kemudian dia dapat. Masih di zamannya Pak SBY, dia pernah diajak oleh Golkar juga sebagai caleg, terus di daerah pemilihannya dia dapat 6000 suara, tetapi tidak dapat apa-apa. Sebenarnya, 6000 suara itu besar untuk level DPC. Waktu 10 tahun lalu masih vote getters karena [partai politik] tahu kami tidak mengerti politik. Sebelumnya, kita ini jarang banget diajak, seperti bagaimana terjun di dunia politik. Sementara kita selalu memperjuangan hak-hak masyarakat.
Artinya Anda melihat ada perubahan paradigma secara bertahap tentang merekrut disabilitas dalam Pemilu ya?
Ya, saya lihat perubahan, 3 orang yang saya sebutkan tadi mereka didekati sejak setahun lalu. Jadi saya berpikir, karena dari 2022 lalu mereka [caleg disabilitas] sudah diskusi sama saya. Mungkin partai-partai ini melihatnya bukan lagi vote getters, jadi ada perubahan paradigma. Didekati sudah dari jauh hari bahwa kita ini potensinya tinggi untuk mendapatkan suara. Karena selalu disebutkan ada 23 juta penyandang disabilitas, ini kalau tidak terbangun, apa tidak rugi pemerintah? Kan begitu.
Apakah perubahan paradigma ini juga disebabkan oleh UU Disabilitas yang disahkan 2016 lalu?
Nah, itu barangkali memang termakan oleh partai politik. Ukuran saya sih itu, bahwasanya 3 orang ini mereka itu tidak sekadar dilamar. Tidak kemudian mau kampanye baru direkrut, terburu-buru. Fenomena seperti ini sih saya melihat lumayan sudah 2 tahun sebelumnya diajak. Kemudian dibawa dalam pertemuan partai, dikenalkan, dan kebetulan aja, yang diajak sudah fasih bicara tentang disabilitas. Misalnya, mereka di partai banyak tidak tahu soal disabilitas, mereka tidak mengerti. Nah, jadi istilahnya misi-misi dan UU Nomor 8 membuat mereka berpikir. Makanya saya bilang, bahwa menurut saya saat ini ada perubahan paradigma.
Dalam sistem politik kita saat ini adalah soal biaya. Nah, dalam pengalaman 5-10 tahun terakhir, saat penyandang disabilitas jadi caleg, ada curhatankah soal beban kontestasi biaya politik?
Iya, salah satunya memang begitu. Walaupun partai memang mendukung, namun tidak memenuhi konsekuensi biaya, tidak memenuhi target kebutuhan mereka di lapangan. Misalnya caleg A, mengeluarkan dana istilahnya secukupnya untuk kampanye. Rata-rata mereka bilang tidak dapat dana dukungan dari partai sehingga memang mereka butuh mencari biaya, kan hal-hal itu tidak kecil.
Caleg-caleg disabilitas banyak dilamar parpol, untuk raising awareness, gain voters, apakah ada temuan, laporan terkait biaya politik yang mahal akibat mahar?
Sejauh pengetahuan saya, biasanya yang jadi caleg memang diajak. Setahu saya tidak pernah kami yang melakukan pendekatan. Itu dari kelompok penggerak disabilitas. Saya tidak tahu kalau di luar organisasi, tetapi punya kapasitas. Seperti misalnya kami mau bicara penyandang disabilitas contohnya Pak Bambang Soesatyo, beliau amputasi kaki kanan, kemudian dia memang tokoh politik dari zaman dulu dia mengalami kecelakaan dan disabilitas. Namun kami tak bisa samakan dengan yang seperti itu, dia mainstream di dunia politik atau yang uji coba. Jadi, apakah dunia politik itu akomodatif terhadap kelompok masyarakat disabilitas? Kembali lagi, kalau saya ditanya, setahu saya ya tidak ada. Kan sudah kadung diajak, kemudian tidak dikasih apa-apa. Dukungan dikit sekali. Tidak cukup performance dia sehingga kemudian harus keluar dari kantong sendiri.
Apakah bisa kita berhipotesis caleg disabilitas terkena efek mahar dalam partai?
Saya takut begitu. Karena kalau dia berpotensi, ya barangkali. Karena ada juga dari penyandang disabilitas yang ingin nyaleg misalnya. Yaudah dikasih, tapi bayar mahar, dapat nomor urut. Jadi iya politik dagang nomor urut. Kalau setahu saya yang kita kemarin, 5 tahu lalu ada 42 orang caleg tidak ada yang begitu, karena tidak ada yang mampu juga.
Apakah mahar berlaku di partai besar dan penguasa? Misalnya Golkar, PDIP. Karena merasa punya kekuatan untuk mendapatkan nilai tambah?
Ya, Gusdur saja diturunkan dengan tidak terhormat. Saat itu, PDIP dan partai lain berani karena Gus Dur itu disabilitas. Meski dia dihormati berjuta umat, tapi you just person with disabilities. Ada nggak presiden yang diperlakukan begitu? Dia doang, tidak full lagi. Pak Soeharto ya memang tingkat kebencian masyarakat kala itu tinggi. Gus Dur satu periode saja tidak full memimpin.
Menurut Anda penting ya punya refleksi sejarah tidak hanya raising awareness tentang disabilitas??
Iya.
Kembali ke soal partai, adakah partai lain yang paradigmanya belum berubah dalam melibatkan penyandang disabilitas?
Beberapa partai memang masih melihat kita charity based, PDIP misalnya. Kelihatannya masih charity based, PDIP itu ketika kita memperjuangkan UU Nomor 8 dia sangat individual, jadi yang memberikan perhatian penuh hanya Mbak Rieke Diah Pitaloka sebagai individu, secara kepartaian susah banget tembus. Secara fraksi susah. Kita kan coba kemudian, sekarang sedang mencoba melakukan GR, karena kita sebenarnya tidak setuju, ketidaksempurnaan diserahkan di Kemensos. Dari zaman ke zaman kita tak bisa lihat pembangunan berbasis hak asasi, karena dia di Kemensos. Jadi charity, ya karena tupoksinya berputar-putar hanya disitu, bagaimana dia bisa mengoordinir kementerian lain yang sifatnya pembangunan, di saat dia [Kemensos] sifatnya penanggulangan. Jadi kuratif lagi sedangkan kita ingin upaya pembangunan, kan susah.
Apakah kondisi ini membuat makin sulit mewujudkan pembangunan inklusif?
Iya karena dia [Kemensos] mau mengontrol kita. Sementara, dia saja tidak punya punya kapasitas, dan dia tidak memberikan kita ruang untuk berbicara kebutuhan kita, malah mereka sendiri yang ngomong, dirjennya ngomong. Akibatnya ke ranah jatah politik, rakusnya minta ampun. Mereka berebut jadi koordinator karena disitu sumber pendanaan, aduh. Justru kalau kita melihat dirjen-dirjen lama yang mendalami banget isu disabilitas, mereka tahu disabilitas bukan ranahnya disini [Kemensos] ke CRPD diratifikasi, pembangunan 80 persen, perlindungan sosial 10 persen. Atau, pembangunan 90 persen, perlindungan sosial 10 persen. Jadi ranah Kemensos seharusnya semaki kecil dalam UU Nomor 8. Namun ketika bicara aturan, UU, menteri baru, dan kemudian direkturnya dari bukan orang di rehabilitasi sosial penyandang disabilitas, sehingga kemudian semangatnya kalau masalah peraturan adalah semangat anggaran sehingga saling rebut. Itu yang kita tidak bisa berkembang karena kemudian kementerian juga yang tidak punya perspektif disabilitas.
Kalau untuk perencanaan pembangunan inklusif sendiri, bagaimana menurut Anda?
Di Bappenas ya, itu aman. Bappenas itu mengikuti banget karena dia memang cuma merencanakan tetapi setidaknya kami didukung dengan perspektif dan sedikit mempengaruhi prosesnya.
Tampaknya untuk meloloskan UU Disabilitas kemarin sulit sekali jika resistensi di fraksi sampai kementerian masih besar ya?
Itu perjalanan kita memperjuangkan UU No. 8 Anda bayangkan, kami mesti mengubah cara berpikir semua kementerian. Kalau ketemu, selalu ya sudah, memang seharusnya Kemensos yang mengawal karena dianggap sudah kenal urusan penyandang disabilitas. Padahal Kemensos tidak tahu urusan pendidikannya, urusan pemberdayaan seperti apa, upaya pembangunan di tempat lain, Kemensos tidak tahu. Mereka cuma tahu bagaimana menyelamatkan orang yang tidak punya makanan. Jadi lapar dikasih makanan, orang yang tidak punya rumah dimasukkan ke panti. Jadi Anda bayangkan saja, uang bermiliar-miliar untuk orang penyandang disabilitas, programnya penyediaan makanan. Sampai sekarang, kalau melihat perencanaan hanya itu karena fasilitasnya adalah panti, jadi hanya biaya makan di panti. Apakah ada program pembangunan manusia penyandang disabilitas? Nah, itu tidak ada.
Sekarang rancangan 2024 adalah Indonesia Emas, bagaimana Anda melihat rencana besar terhadap pemberdayaan teman-teman disabilitas? Hal ini mengingat disabilitas juga bisa disebabkan oleh bencana alam?
Kalau dari organisasi, tidak hanya HWDI, kami punya banyak upaya. Cuma, begini, kalau upaya tidak didukung kebijakan pemerintah, negara kita kan besar, apakah kemudian funding agency cukup? Tidak. Maka UU kami dorong sebagai kewajiban negara, karena kami memang tidak punya kekuatan. Organisasi cuma bisa berteriak pemenuhan bisa dilaksanakan, kalau buat sesuatu hanya contoh soal-contoh soal saja. Itu situasi internal, tapi kebijakan global, dukungan global itu besar. Nah, yang kemudian tidak bisa kita lakukan, tidak bisa kita optimalkan adalah kemalasan birokrat terkait masalah ini [bencana alam]. Misalkan, sekarang bicara climate change dan inklusi, itu yang namanya disabilitas di perencanaan climate change itu digadang-gadang. Namun, seberapa banyak partisipasi organisasi penyandang disabilitas dalam hal itu, masih question mark.
Apakah masih tidak ada kejelasan pelibatan disabilitas dalam pencegahan masalah perubahan iklim?
Semua di dalam UU sudah ditulis, partisipasi penuh penyandang disabilitas, konvensi apalagi, persyaratan-persyaratan funding agency jelas tentang partisipasi disabilitas, sampai disini, saya juga tidak mengerti. Desain-desain itu semuanya masih dalam progressive realization untuk memahami isu disabilitas, semua masih dalam progres. Namun upaya-upaya afirmasi, untuk duduk diskusi dengan penyandang disabilitas juga nyatanya masih kurang. Mereka sangat percaya pada inklusif, kita juga percaya, tapi dalam konsultasi-konsultasi tidak bisa digabung. Kemudian, kalian tidak akan bisa eksplor spesifikasi kebutuhan penyandang disabilitas, kemudian respon penyandang disabilitas, terhadap isu-isu climate change. Kemudian, isu greenwash, agriculture, bagaimana penyandang disabilitas hidup dengan bertani, atau survive saat banjir. Ini mereka tidak akan bisa eksplor itu kalau mereka tidak konsultasi khusus dengan penyandang disabilitas.
Jadi memang sulit sekali memberikan kesempatan disabilitas untuk mengajukan perspektifnya dalam hal-hal ini?
Misalkan, mereka bicara climate change semua diundang berbagai pihak, tidak akan kebagian waktu untuk kami mewakili disabilitas. Kemudian kami akan tertindas, tertinggal. Ini kami belajar SDGs, kami ada pengalaman pahit istilahnya, kalau misalnya ikutin proses SDGs, kami duduk bersama-sama dengan berbagai macam pergerakan. Sementara sedikit perwakilan kami, kemudian orang-orangnya yang mau dan maju mampu juga sangat terbatas. Terus kami melawan giant power dari gerakan lain yang sudah mengakar, tidak bisa. Bagaimana kalian bisa memahami kami, upaya kami sampaikan aspirasi kami saja tertutup sama yang lain. Jadi menurut saya, iya, kami percaya inklusif, tetapi consultation you have to talk to us specifically.
Jadi, metode partisipasi bermakna itu justru kontroversial karena semua perwakilan digabung begitu ya?
Iya. Makanya, pemerintah mengeluarkan twin track approach, di global juga pakai itu. Kami diupayakan mainstream di program pemerintah, tetapi ada track lain yaitu affirmative action karena kami perlu mengejar ketertinggalan, kami tidak sama dengan gerakan lain. Beda. Bukannya setara, bahwa kami sama-sama mainstream oke, kalau ini kan tidak. Ini butuh affirmative action dan tidak ada yang berpikir.
Sejak pengesahan UU Disabilitas, bagaimana Anda melihat perubahan perencanaan pembangunan, proses, hingga hasil pembangunan itu?
Aksesibilitas itu universal design, seperti kebutunan ramp. Sayangnya, ada tidak yang mengerti bahwasanya masyarakat pada umumnya aman pakai ramp. Disabilitas wajib pakai ramp. Lalu, akomodasi yang aman bagaimana? Kalau gedung-gedung itu tidak bisa diubah, kita kemudian pakai portable. Membedakan itu saja, mereka tidak bisa bahwasanya ini di-attach ketika ada yang perlu menggunakan tapi tidak selalu setiap saat. Ini misalnya gedung lama, jarang pengguna kursi roda datang, barangkali bisa mengganggu kalau lahan terbatas kalau ramp panjang malah mengganggu. Maka kami bilang, you provide reasonable transportation. Anda siapkan saja, kalau ada yang datang Anda bisa buka ramp itu. Nah, dapat darimana arahan itu kalau tidak diskusi langsung sama si penyandang disabilitas itu sendiri?
Makanya, sewaktu penyusunan SDGs dari akhir MDGs kami tidak kebagian berbicara. Begitu banyak aktivis, pergerakan, perempuan, untuk pembangunan. Di Jakarta dan di Bali waktu zaman Pak SBY, terkesan kalau perlu kami seolah dikalahkan karena berebut. Sama saja seperti di DPR berebut anggaran, tidak bisa begitu. Jadi, think globally act locally. Bagaimana Anda kasih kesempatan ke orang lokal di tingkat global. Maka Anda harus berbicara dulu sama yang lokal, kalau sudah clear baru ngomong sama yang di global dan angkat isu yang lebih tinggi. Konsep masyarakat termarjinalkan harus udah lengkap.
Cita-cita Indonesia Emas 2045 itu menurut Anda seperti apa? Apakah keterlibatan caleg disabilitas berpeluang mensukseskan program tersebut?
Perlu tetap skeptis pada rancangan Indonesia Emas, karena misalnya di daerah rentan bencana alam itu banyak disabilitas. Sebagai contoh orang disabilitas tinggal di lereng gunung, apa mau dibiarkan begitu saja? Jadi, hanya menambahkan sedikit dalam desain pembangunan, menambah fasilitas, itu saja kok, kalau terkesan jadi susah karena mindset, stigma, ‘memang sudah nasibnya gitu.’
Berarti pembiaran, membuat perspektif charity dan rehabilitasi tetap mengakar ya?
Yes, Think about yourself.
Bagaimana Anda dan teman-teman mensosialisasikan bahwa semua orang berpotensi menjadi disable? Ini bukan semata nasib?
Ketika kami sedang melawan stigma, saya pribadi, saya jarang berbicara gitu. Kalau pejabat negara mungkin sering, karena mereka tidak hidup dalam stigma itu. Kalau kami yang berbicara, mereka tidak suka, kesannya curse, kayak kesannya kami penyandang disabilitas menyumpahi mereka.. Kalau mereka non disabilitas yang ngomong, sering juga di DPR, Kemensos, ngomong demikian, its ok. Kalau kami yang ngomong, siapapun bisa jadi penyandang disabilitas itu air mukanya pasti jadi beda. Sensenya kayak kita curse, atau menyumpai dia.
Bagaimana cara yang ideal untuk menuntaskan stigma itu?
Kalau saya lihat, saya amati, ada teman-teman berbicara bahwa, ‘bapak ibu bisa saja kemudian seperti saya menggunakan kursi roda.’ Walau kita bicara penyakit umum, responnya tetap berbeda. Kami sebagai orang yang sedang mencoba memberikan penyadaran, kami tidak mau mereka menjadi antipati sama kelompok disabilitas. Kalau saya tidak pernah dengan pendekatan itu. Kami memang sedang melakukan advokasi, memperjuangkan sesuatu, tapi jangan sampai menyakiti hati mereka.
Adakah daerah yang paling susah untuk raising awareness dan pemberdayaan penyandang disabilitas?
Rata sih. Rata, tetapi tergantung isunya, makanya penting perubahan perilaku. Dulu wawancara di Metro TV saya disuruh pilih, identifikasi masalah penyandang disabilitas adalah sistem, lingkungan fisik, dan yang tidak mendukung dan perilaku, serta stigma masyarakat. Itu eksternal. Lalu ditanya, yang mana yang prioritas. Saya bilang, perilaku. Fasilitas aksesibel akan rusak kalau orang tidak mengerti, tidak sadar terkait ini fasilitas apa?
Apakah perda-perda disabilitas di daerah sudah memenuhi standar UU Disabilitas?
Banyak perda-perda yang ada sekarang tidak sesuai dengan UU Nomor 8. Jadi, kami kemudian memang koalisinya ini Pokja Organisasi Penyandang Disabilitas, kami sedang review Perda Disabilitas. Karena kan cepat sekali, tetapi tergantung tokoh di daerah yang kemudian mendukung setelah UU Nomor 8, ada yang cepat, ada yang salah. Jogja saja salah, makanya mereka review lagi. Itu tidak compliment. Kami akan buat template bagaimana sebenarnya UU Nomor 8 itu didomestikasi, dan implementasi dalam Perda.
Adakah contoh perda yang ideal sejauh ini mengakomodasi disabilitas?
Salah satu Perda yang kami anggap detail menerjemahkan UU Nomor 8 adalah Perda Disabilitas DKI. Baru banget. Itu yang cukup ideal. Nah, kemudian, kami buat template, kemudian kami akan melakukan pendekatan ke daerah menggunakan template ini mengupayakan pendampingan kepada teman-teman di daerah. Jadi, bagus sekali caleg kalau maju dari tingkat provinsi bisa mengusung upaya ini.
Selain perda yang belum tepat, apa saja contoh permasalahan kesadaran masyarakat tentang fasilitas untuk disabilitas?
Dulu tahun 2000 di Gambir, Stasiun Gambir ada balutan huruf braille, itu dikopek orang, rusak. Aneh kan? Karena itu, perilaku. Jadi, perilaku tidak bisa kita harapkan dia lihat, tidak bisa harus ada mekanisme untuk mengubah perilaku. Misalnya ini training, ngomong berjam-jam. Keluar dari sini ketemu suatu fasilitas dan tahu bahwa ini fasilitas disabilitas. Jadi harus melihat lebih kritis. Mau sebagus apapun fasilitas, kalau penyandang disabilitas tidak mengerti, kemudian layanan publik tidak mengerti bagaimana memelihara, balik lagi, hancur juga. Jadi memang harus sama-sama jalannya perubahan mindset, perilaku di masyarakat melihat inklusif, kelompok rentan adalah kelompok yang harus dipahami. Masyarakat biasa melakukan sesuatu itu keberhasilan dia, pendidikan dari orang tuanya bagus, sesuai cita-cita dia. Kalau penyandang disabilitas, penghargaan dan keistimewaan itu jadi over.
Apakah ini sejenis dengan fenomena Putri Ariani yang beberapa waktu lalu dipuji oleh juri America Got Talent?
Iya, karenamemang kami, termasuk Putri Ariani dilihat sebagai orang yang tidak mampu, kok dia bisa keren sih? Jadi dari awal kami tidak dilihat setara atau sama. Ketika keren, jadi waw.
Kalau untuk si Putri Ariani, menurut sayajurinya si Simon itu bisa saja melihat kondisi fisik Putri ini biasa aja. Apa dia pernah kasih apresiasi serupa ke penyandang disabilitas lainnya? Kan tidak. Kalau saya melihatnya, Simon mengakui Putri ini keren, dia lihat Putri Ariani hanya dari sisi bakat dan suaranya. Kalau pejabat di Indonesia jadi ribut, semua undang Putri. Ya, ini tahun politik, semua curiganya disitu, dan ini biasa disebut namanya disability porn.
Pewawancara: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post