Kondisi saya sebagai penyandang autoimun lupus menjadikan rumah sakit bagaikan rumah kedua lantaran sering “mampir”. Alhasil saya hafal rambu-rambu yang biasa ada atau terpasang di rumah sakit.
Salah satu yang paling saya ingat adalah rambu-rambu dilarang merokok di kawasan rumah sakit. Artinya secara harfiah selama berada di rumah sakit baik di gedung dan lahan parkir, juga trotoar depan rumah sakit harus steril dari asap rokok. Namun fakta yang saya lihat, tidaklah begitu bahkan jauh dari panggang api.
Yang berobat, yang juga merokok
Sekitar 6 tahun lalu, saat saya masih tinggal di Bandar Lampung, ada satu pemandangan yang tidak saya lupakan. Setelah diperiksa dokter lalu saya ke depan dan mendapati seorang bapak berdiri di trotoar depan RS -tempat saya berobat- dan dengan santainya dia mengisap rokok. Hal yang menjadikan pemandangan ini tak terlupakan karena si bapak tersebut juga pasien dokter yang menangani saya. Tentu menjadi aneh dan antiklimaks karena si bapak berobat, diperiksa dokter, diresepkan obat namun tetap merokok. Istilahnya, untuk apa berobat ke rumah sakit kalau masih merokok yang merusak kesehatan diri sendiri?
Tahun-tahun berlalu, menjadi de javu saat awal tahun 2022, saya melihat lagi pemandangan serupa. Bedanya kali ini terjadi di Jakarta tempat saya sekarang berobat, tepatnya di salah satu RS swasta kawasan Jakarta Pusat. Perokoknya masih sama, seorang bapak. Bedanya si bapak ini merokok saat menunggu nomor antrian pendaftaran berkas berobatnya di RS tersebut. Di trotoar, tepat depan tempat pendaftaran saya lihat si bapak dengan tenang merokok.
Saya perhatikan lekat-lekat, ketika ia mengetahui nomor antriannya sudah hampir dipanggil, secepatnya ia mematikan rokok dan masuk kembali ke ruang pendaftaran. Hal yang mengerikan, saya melihat saat si bapak menyerahkan berkas pendaftaran, tak berapa lama ia menekankan sidik jarinya di alat perekam (fingerprint).
Dalam peraturan BPJS terbaru ada 3 poli rawat jalan yang saat pendaftaran wajib melakukan proses perekaman sidik jari, yaitu poli mata, poli rehabilitasi medik, dan poli jantung. Saya menduga bapak tersebut kemungkinan akan rawat jalan ke poli jantung. Pertimbangan saya karena pada hari si bapak berobat, berterapan dengan jadwal praktek dokter spesialis jantung.
Sebagai evaluasi, pada RS tempat bapak ini berobat, memang tiada dipasang rambu-rambu larangan merokok. Namun sebagai pasien yang berobat seharusnya paham ada larangan untuk tidak merokok di lingkungan atau kawasan RS dan sekitarnya.
Perlu diakui pemberitahuan atau rambu-rambu larangan merokok di rumah sakit dan sekitarnya juga tak menjamin orang-orang mematuhinya. Pekan lalu, saya bahkan melihat seorang bapak dengan santai merokok di depan pintu keluar masuk RS pemerintah di daerah Jakarta Pusat. Padahal tepat di samping si bapak berdiri, ada tiang yang bertuliskan larangan merokok. “Matikan Rokok” demikian tulisan terang benderang di tiang tersebut.
Setelah puas mengisap rokoknya hingga tuntas, si bapak yang usianya sekitar 50 tahunan Kembali memasang masker dan bergegas berjalan masuk ke dalam RS. Saya yang saat itu sedang menunggu taksi online, masih memperhatikan sosok bapak tersebut yang ternyata berjalan agak pincang, bahu sebelah kanannya menyandang tas yang berisi berkas berobat. Tubuh si bapak kurus dan kelihatan tidak segar. Ia berjalan menuju ke pintu masuk Gedung utama RS.
Selain bapak-bapak tadi, ada temuan lain yang lebih ekstrem yakni pedagang rokok di depan RS. Masih di lokasi RS yang sama kawasan Jakarta Pusat. Kita mungkin biasa menyebutnya lapak rokok. Awalnya saya kira kios-kios ini hanya menjual minuman saja. Nyatanya setelah diamati baik-baik, kios-kios ini juga menjual rokok berbagai merek. Kotak-kotak rokok tersusun rapi dalam etalase kaca jualan bersama dengan produk jualan lain.
Lokasi lapak rokok ini berada di ujung salah satu pintu keluar masuk rumah sakit. Seringkali saya melihat, laki-laki umumnya seorang bapak, atau anak muda sedang duduk mengerumuni lapak rokok sembari menyeruput kopi dan mengisap asap rokok. Lapak itu sendiri dikelola oleh seorang bapak-bapak, beroperasional mulai jam 05.30 WIB sampai dengan sore menjelang maghrib.
Temuan-temuan ini tentu menjadi anomali atas berbagai ulasan hidup sehat selalu menganjurkan orang untuk tidak merokok. Artinya baik usulan bahkan larangan merokok kerap diabaikan pasien karena adiksi yang terlanjur ditimbulkan oleh rokok.
“Di rumah sakit itu tidak boleh merokok,” ujar Dr. Dra. Rita Damayanti, MSPH dari Komnas Pengendalian Tembakau dalam webinar ‘Keren Tanpa Rokok, Jaga Bumi Kita dengan Berhenti Merokok’ pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022.
Dalam webinar tersebut, dia menegaskan ragam penyakit tidak menular banyak yang disebabkan oleh merokok. Sebut saja diantaranya; diabetes melitus, stroke, penyakit jantung, dan hipertensi. Bahkan, rokok juga menjadi salah satu penyebab stunting.
Untuk mengatasi prevalensi penyakit tidak menular (PTM), pemerintah wajib untuk melakukan edukasi yang didukung dengan regulasi. Sayangnya, regulasi pengendalian zat adiktif di Indonesia tidaklah mudah seiring dengan rendahnya kesadaran masyarakat bahwa rokok adalah barang haram. Artinya, masih banyak masyarakat yang menilai rokok sebagai barang konsumsi normal selayaknya beras dan susu.
Miskin dan sakit akibat rokok
Tak heran jika melansir dari temuan Badan Pusat Statistik (BPS), rokok kretek masih menjadi komoditas kedua yang paling berkontribusi pada kemiskinan di tahun 2019. Belum lagi, pengeluaran terbesar keluarga termiskin selama satu dekade (2003-2018), konsisten digunakan untuk belanja rokok. Tak heran jika saya menemukan rokok ketengan sangat mudah dibeli bahkan di area sekitar rumah sakit tadi.
“Jebakan kemiskinan karena pengeluaran untuk rokok sampai tiga kali pengeluaran beli daging, dua kali pengeluaran beli susu dan telur, serta 1,5 kali dari belanja ikan,” ungkap Rita.
Kondisi ini bahkan masih diperparah dengan beban biaya kesehatan akibat konsumsi rokok yang mencapai Rp27,6 triliun menurut temuan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2021.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Kemenkes) pada 2015 juga menemukan beban ekonomi makro dari rokok mencapai Rp596,61 triliun, dimana termasuk di dalamnya total kehilangan tahun produktif dan biaya belanja rokok.
Dari sisi lingkungan hidup, dalam webinar itu Rita juga mengingatkan perkebunan tembakau setiap tahun menghabiskan 3,7 liter air untuk memproduksi 1 batang air di saat dunia diintai oleh krisis air. Untuk memproduksi rokok juga menghabiskan 84 juta ton karbon dioksida, yang artinya produksi rokok ikut menyumbang emisi yang besar pada lingkungan. Dampak ini belum ditambah dengan sampah puntung rokok di laut yang dimakan oleh ikan.
“Siapa yang tanggung jawab? Perusahaan, atau industri itu juga harus bertanggung jawab,” kata Rita.
Oleh karenanya Rita menegaskan pentingnya sikap pengendalian tembakau yang tegas dan konsisten bagi seluruh stakeholder kesehatan termasuk pengelola rumah sakit dan fasilitas kesehatan.
“Kita jangan diam saja. Kalau ada yang merokok di Kawasan publik, kita harus berani bersikap dan menegur para perokok. Sehingga sedikit demi sedikit mengubah norma bahwa rokok ini tidak sehat dan tidak normal,” tuturnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post