Dayat mengeluh soal kondisi pertanian dan pangan di Indonesia dalam forum dialog nasional beberapa waktu lalu. Keluhannya itu dia sampaikan di depan Deputi Bidang Tata Usaha dan Distribusi Kementerian Koordinator Pangan, Tatang Yuliono.
Dayat sendiri adalah seorang petani sekaligus pemandu Ramah Lingkungan Pangandaran, Jawa Barat. Dalam forum itu, awalnya dia mengungkapkan, “Investasi terbesar adalah dari petani, ratusan triliun! Tetapi siapa yang menikmatinya?”
Hening menyeruak ketika Dayat bersuara lantang tentang keprihatinan kehidupannya sebagai petani. Tak hanya itu, ia pun menyinggung nasib petani yang kesulitan secara ekonomi. Bahkan, kata dia, ironisnya untuk membeli bumbu dapur saja kewalahan.
Dia mengingatkan dalam pertanian pemerintah tidak bisa hanya berorientasi pada produksi. Ada banyak aspek lain yang harus mendapat perhatian. Beberapa di antaranya seperti; tenaga kerja, benih, pupuk, pestisida, air, dan lain-lain. Tujuannya jelas, agar petani tidak kesulitan.
Menurut Dayat, kondisi petani di Indonesia itu sangat dipengaruhi oleh program yang dari presiden yang sedang menjabat. Presiden RI pertama, Sukarno, ingin Indonesia Berdikari alias berdiri di kaki sendiri.
Presiden kedua, Soeharto menerapkan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. Program ini menerapkan pembangunan terpusat untuk ekonomi makro dan perkebunan.
Kemudian, ada juga program Bimas Intensifikasi. Program ini bertujuan meningkatkan produksi dan usaha pertanian melalui intensifikasi komoditas prioritas.
Lalu, ada pula program agribisnis. Progam ini yang menurut Dayat berbahaya. Pasalnya, banyak petani yang merugi. Sebab, proyek ini menggeser tenaga petani dengan teknologi.
Dari aspek tenaga kerja, dahulu petani mengerjakan lahan dengan gotong royong. Namun dengan dalih menghemat tenaga, mulailah berganti menggunakan traktor.
Sebagai contoh, dengan adanya mesin rumput, hilanglah aktivitas sosial antar petani. Jadi, kebiasaan gotong royong dari generasi ke generasi perlahan menghilang.
“Tadinya yang garap 1 hektare bisa 7 orang. Dengan adanya traktor hilanglah yang sosial, 7 orang jadi penganggur,” tuturnya.
Petani juga kian sulit mendapatkan benih. Dayat bercerita, dulu petani memiliki bermacam-macam benih. Benih itu milik petani. Jika ingin ganti benih, maka cukup dengan tukar menukar.
“Kalau sekarang harus beli yang bersertifikat. Kenapa harus melalui perusahaan dulu? Padahal yang bikin petani. Petani sudah kehilangan benih2 lokal, sekarang sudah ada benih yang bersertifikasi,” ujarnya.
Belum lagi, masalah kualitas benih petani banyak yang buruk. Dayat mengungkapkan hasil dari benih bersertifikat tidak selalu membuahkan hasil yang bagus.
“Setelah diuji banyak bohongnya. Kemurniannya, daya tumbuhnya. Semuanya itu bohong. Kemarin saya praktik, sengaja beli, lebih dari 30 persen mengapung,” ungkap Dayat.
Dayat berpendapat pemerintah seharusnya fokus mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan, dengan memerhatikan kearifan lokal dan iklim.
Pemerintah masih bisa menerapkan berbagai cara konvensional yang sehat. Misalnya, menggunakan kompos ketimbang menggunakan pupuk berbahan kimia berlebih. Ia mempertimbangkan kompos banyak menghidupkan habitat dan menyuburkan tanah.
Misalnya, serangga di tanah, maka akar lebih longgar cari nutrisi. Otomatis, keberadaan ekosistem akan berlanjut, bakteri akan menghidupkan plankton. Lalu plankton akan menghidupkan capung, dan sebagainya. Inilah konsep pertanian berkelanjutan.
“Kalau di Sunda, ini ada benih lokal, tanaman lokal yang hampir punah, jawawut. Kalau di Flores, berasal dari Java Food, harus dilestarikan,” imbuhnya.
Dayat kurang keberatan jika ada yang menyalahkan petani yang pensiun dan menjadi pengangguran. Masalahnya, pekerjaan petani belum bisa membuat semua orang sejahtera.
“Sekarang saya nyari pekerja sangat sulit. Di Pangandaran sekarang upah nyangkul 100.000 per hari,” ucapnya.
Deputi Bidang Tata Usaha dan Distribusi Kementerian Koordinator Pangan, Tatang Yuliono tak menangkal pernyataan Dayat. Ia mengakui memang banyak hal yang masih rumit dalam tata kelola pertanian dan pangan di Indonesia.
Dia sepakat bahwa pertanian keluarga atau kecil peru mendapat dukungan, agar Indonesia bisa swasembada pangan. Saat ini pertanian pangan di Indonesia mayoritas berasal dari produksi petani kecil. Umumnya skala petani kecil hanya memiliki lahan antara 0,2 – 0,5 hektare.
Kurang lebih ada 13 juta petani kecil terklasifikasi sebagai pertanian keluarga. Total investasi dari petani untuk di bidang pangan, khususnya sektor beras, mencapai 750 triliun dalam setiap siklus produksi. Ini belum termasuk sektor coklat, sawit, holtikultura, peternakan.
“Kita harus bisa beri makan rakyat jika ada peperangan atau bencana alam, misalnya. Kita saling bahu membahu untuk mewujudkan visi itu,” kata dia.
Di sisi lain, Tatang tetap tak memungkiri peran teknologi sangat penting dalam pertanian dan produktivitas pangan. “Perkembangan teknologi dan inovasi, panen raya itu sangat tergantung dari teknologi,” ujarnya.
Dia berharap di era presiden Prabowo Subianto ini Indonesia mampu mengembangkan berbagai macam teknologi. Terutama untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post