Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

Ironi Produk Legal Sedot Ekonomi Nasional

by Ignatius Dwiana
Wednesday, 29 October 2025
A A
Ironi Produk Legal Sedot Ekonomi Nasional

Jakarta – Industri tembakau berdampak bukan hanya pada kesehatan tetapi juga pada sektor lain. Masalah ini dan dampaknya digali baik dari sisi ekonomi, kesehatan, maupun sosial.

Buku “TCNomics” atau Tobacco Control Economics menggambarkan industri rokok tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Tim penulis selama satu tahun penuh menyusunnya dengan pendekatan yang berbasis riset dan data terkini.

BacaJuga

PBHI: Iklan Rokok di Internet Masih Marak, Tuntut Kemenkes Bertindak

32 Organisasi Tuntut Perbaikan Perlindungan Kesehatan, Pernyataan Setahun Pemerintahan Prabowo – Gibran

Mereka sadar bahwa dalam setiap kebijakan, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Tetapi buku “TCNomics” hadir untuk memperkenalkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih tegas demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Wajah Buram Masa Depan

Tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah tingginya prevalensi perokok anak. Data terbaru menunjukkan bahwa 7,4 persen anak-anak sudah merokok. Ini sangat memprihatinkan mengingat masa depan bangsa bergantung pada generasi muda.

Dalam kasus anak jalanan misalnya, menghabiskan 25 persen pendapatannya hanya untuk membeli rokok. Dalam perspektif ini, rokok tidak hanya menghancurkan kesehatan, tetapi juga menambah jurang kemiskinan, memperburuk ketimpangan sosial, dan menciptakan beban ekonomi yang lebih besar bagi negara.

“Penghasilan harian untuk membeli rokok ini akan terus membuat terjebak dalam jurang kemiskinan, kesakitan, dan berdampak buruk bagi Indonesia serta pertumbuhan ekonomi,” kata penulis Risky Kusuma Hartono dalam “Diseminasi Buku TCNomics: Keuntungan Pengendalian Konsumsi Produk Tembakau bagi Ekonomi Nasional” yang diadakan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS – UI) pada Oktober 2025.

Rokok menambah beban pada sektor kesejahteraan sosial. Sejumlah besar belanja rumah tangga dialokasikan untuk membeli rokok yang seharusnya digunakan untuk konsumsi gizi atau kebutuhan dasar lainnya.

Oleh sebab itu pengendalian produk tembakau menjadi urgensi yang tidak bisa ditunda lagi. Jika kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat tidak segera diterapkan maka dampak jangka panjang terhadap ekonomi akan lebih buruk lagi.

Sementara kebijakan pengendalian tembakau terutama dalam bentuk kenaikan cukai dan pengurangan konsumsi rokok sering dicap akan memengaruhi banyak industri kecil dan menengah serta pekerja yang bergantung pada sektor ini.

Namun hal yang penting disoroti meskipun cukai rokok dinaikkan, penurunan prevalensi rokok tidak langsung berbanding lurus dengan kerugian ekonomi. Justru kenaikan cukai yang disertai dengan kebijakan yang tepat dapat membuka peluang bagi peralihan pekerja ke sektor yang lebih produktif, memperbaiki kesejahteraan petani tembakau, dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Tantangan Industri Tembakau

Salah satu dampak yang sering tidak terlihat dari industri tembakau adalah penghancuran ekonomi lokal. Nasib petani terdesak ketika impor tembakau semakin membanjir sehingga banyak yang beralih ke tanaman lain. Bahkan terpaksa meninggalkan sektor pertanian tembakau karena tidak lagi menguntungkan.

Pengendalian cukai tembakau yang efektif dapat menjadi sarana untuk mendorong transformasi pertanian dan memberi pelatihan kepada para petani agar mereka bisa beralih ke tanaman yang lebih menguntungkan dan lebih berkelanjutan.

“Di sini cukai naik atau tidak naik, kondisinya petani tidak Sejahtera. Karena adanya impor tanaman tembakau. Itu intinya,” ucap peneliti dari PKJS – UI ini.

Risky dalam buku ini juga menyajikan grafik dan data yang menunjukkan sektor tembakau beroperasi dalam ekonomi Indonesia. Penjualan bersih dari industri tembakau bahkan masih terus meningkat meskipun cukai sudah dinaikkan. Hal ini menunjukkan cukai yang diterapkan saat ini belum optimal dalam mengendalikan konsumsi rokok apalagi jika cukai tidak dinaikkan di masa depan.

Cukainya juga masih berada pada level yang sangat rendah jika dibandingkan dengan standar internasional. Cukai yang naik rata-rata 10 persen tidak cukup untuk menurunkan prevalensi perokok anak apalagi mengurangi konsumsi rokok secara keseluruhan.

“Itu pun di tahun 2019 tidak naik. Jadi salah kaprah yang menyampaikan cukai di Indonesia tinggi. Karena 10 persen hanya kecil. Pernah tinggi 24 persen dan pernah tidak naik,” terangnya.

Rakyat Sakit, Negara Terancam

Alarm keras bagi kesehatan masyarakat Indonesia ditunjukkan tren yang mencolok yakni prevalensi perokok meningkat dan biaya kesehatan yang melonjak tajam.

Negara bercita-cita ingin meningkatkan kelas menengah dan mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi rakyatnya malah semakin sakit. Ini bukan hanya ironi. Ini bencana kebijakan.

Perokok dewasa seharusnya menjadi tenaga produktif justru rentan penyakit. Anak-anak yang merokok menjadi berisiko tinggi dan beban biaya kesehatan di masa depan.

“Prevalensi perokok semakin meningkat walaupun kelihatannya menurun. Jika dibandingkan dengan populasi penduduk yang semakin meningkat maka tidak ada perubahan. Bahkan prevalensi perokok dewasa malah meningkat. Begitu juga prevalensi perokok anak,” ungkap Astri Hanna Grace Waruwu dari PKJS – UI.

Ironisnya, banyak buruh terserap di industri rokok. Tetapi kurang perlindungan sehingga bisa menjadi korban mekanisasi, outsourcing, dan deindustrialisasi. Sebaliknya, ini menjadi bukti bahwa ekonomi perlu ditransformasi ke sektor yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Kalau Indonesia serius ingin mencapai target 2029 maka pengendalian tembakau bukan pilihan tetapi keharusan.

Karena itu PKJS UI merekomendasikan kenaikan tarif cukai tembakau minimal 25 persen per tahun termasuk rokok elektronik dan produk baru tembakau lainnya, simplifikasi struktur tarif jadi hanya 3 layer dan mengakhiri celah harga murah, mengoptimalkan penggunaan dana cukai untuk program berhenti merokok, edukasi anak-anak, dan penegakan kawasan tanpa rokok. lalu memperketat pengawasan rokok ilegal serta produk emerging seperti kantung nikotin dan rokok elektrik yang kini merajalela di kalangan anak muda.

Biaya Ekonomi Tersembunyi

Ekonom Faisal Rahmanto Moeis berpandangan buku “TCNomics” yang disusun memberikan gambaran menarik,“Tidak ada korelasi antara pertumbuhan cukai rokok dengan jumlah pekerja atau petani tembakau.”

Artinya, anggapan kenaikan cukai langsung berdampak pada sektor tembakau itu pemahaman yang keliru. Masalah yang lebih mendalam terletak pada dinamika internal industri tembakau sendiri dan impor rokok yang semakin meningkat.

Jika cukai rokok benar-benar perlu ditingkatkan maka alangkah baiknya sebagian besar pendapatannya tidak hanya digunakan untuk menambah kekayaan negara tetapi dipakai untuk mempersiapkan petani beralih ke sektor lain.

Lebih jauh, Faisal menyoroti hal yang sering terabaikan seperti biaya ekonomi yang harus ditanggung akibat kebiasaan merokok. “Biaya ekonomi akibat merokok di Indonesia pada 2019 diperkirakan mencapai Rp 184 triliun hingga Rp 410 triliun yang setara dengan 1,16 persen hingga 2,6 persen dari GDP Indonesia.”

Biaya ekonomi tersebut mencakup biaya langsung seperti perawatan medis terkait penyakit akibat merokok. Untuk biaya tidak langsung seringkali lebih sulit dihitung seperti berkurangnya produktivitas kerja akibat sakit hingga usia harapan hidup yang lebih pendek bagi perokok.

Sedangkan prevalensi merokok masih tinggi berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi.

“Dengan kondisi sekarang itu bisa saja skalanya lebih besar lagi. Karena data SKI 2023 menyebutkan prevalensi yang pernah merokok, bukan saja yang aktif, itu sekitar 32,7 persen,” kata analis ini.

Fakta mencengangkan yang terungkap ketika rokok turut menjadi salah satu pengeluaran terbesar dalam konsumsi rumah tangga Indonesia. Bahkan lebih besar daripada beras. Konsumsi rokok mencapai 11,99 persen dari total konsumsi makanan menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2024.

Dia melanjutkan,“Jadi rokok di Susenas ini digolongkan dalam tanda kutip sebagai makanan dan konsumsi rokok itu 11,99 persen sementara beras hanya di kisaran 9 persen.”

Konsumsi rokok dua kali lipat lebih besar dari pengeluaran untuk konsumsi daging, susu, dan telur yang seharusnya lebih bergizi. Bahkan melebihi konsumsi beras secara proporsi.

Jika masyarakat bisa mengalihkan sebagian pengeluaran konsumsi rokok untuk hal yang lebih produktif seperti pendidikan atau kesehatan maka dampaknya bisa sangat besar.

Faisal juga menghitung setiap keluarga bisa menghemat hingga Rp 360 ribu per bulan hanya dengan mengurangi pengeluaran untuk rokok. Itu hampir dua kali lipat dari bantuan sosial yang diberikan kepada keluarga miskin melalui program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Anak-anak dari keluarga yang merokok memiliki risiko lebih besar mengalami kemiskinan dan stunting. Seorang ayah yang merokok dengan tingkat konsumsi moderat hingga tinggi maka risiko anak untuk mengalami stunting bisa meningkat hingga 3,4 persen dan terkena tengkes sebesar 2,9 persen.

Karena itu mengurangi prevalensi merokok dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya akan menjadi penopang perekonomian negara.

Strategi yang lebih holistik bisa diterapkan. Di samping mengatur harga rokok lebih ketat harus pula memberantas rokok ilegal untuk menurunkan prevalensi rokok. Dia pun mengutip penelitian bahwa harga rokok Rp 70 ribu atau 5 dolar per bungkus itu mampu mengurangi konsumsi hingga 74 persen.

“Ketika sumber daya manusianya tadi sudah dijaga maka mereka akan semakin produktif. Dengan disokong beberapa program pendidikan dan lainnya maka kita dapat mencapai Indonesia Emas,” pungkasnya.

 

Editor : Fidelis Satriastanti

ShareTweetSend

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.