Sistem kesehatan yang Tangguh adalah garda terdepan bagi kelangsungan sebuah bangsa. Dikutip dari laporan penelitian ‘Foresight untuk Menata Masa Depan Layanan Kesehatan Primer di Indonesia’ yang dipublikasikan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bekerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), pada awalnya, primary health care (PHC), hanya berbicara mengenai pemerataan akses layanan kesehatan. Namun seiring dengan perkembangan kemajuan dalam kebijakan kesehatan, sektor kesehatan menjadi pusat dari keseluruhan pembangunan melalui PHC yang transformatif yaitu berkualitas namun terjangkau. Target inilah yang menjadi jawaban dari kebutuhan publik untuk layanan kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan, konsep Primary Health Care (PHC) berangkat dari kesadaran bahwa kesehatan adalah keadaan fisik yang utuh, kesejahteraan mental dan sosial, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Selain itu, kesehatan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan bahwa pencapaian tingkat kesehatan yang setinggi mungkin dapat dicapai melalui upaya kolektif, bukan hanya dari sektor kesehatan, tapi juga sosial dan ekonomi.
Di Indonesia, PHC dikenal dengan Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas. Menurut Prof. Akmal Taher, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ada banyak tantangan dalam mengembangkan primary health care (PHC) atau Puskesmas di Indonesia. Dia menjelaskan layanan primer kesehatan ini tidak bisa berhasil tanpa keterlibatan masyarakat yang memiliki kepercayaan pada tenaga kesehatan.
“Ilmu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat ini kan tidak ada di sekolah. Kedekatan dengan masyarakat ini sangat penting untuk menggerakkan masyarakat mau mengubah gaya hidup,” tutur Prof. Akmal dalam diskusi panel ‘Leadership Series on Primary Health Care’ pada 21 April 2022 lalu.
Selain kepercayaan, tantangan lain yang menurut Prof. Akmal perlu ditangani adalah meningkatkan apresiasi terhadap tenaga medis yang bertugas di fasilitas layanan kesehatan primer. Kesadaran untuk memperbaiki sistem kesehatan, Prof. Akmal ingin meningkatkan minat tenaga kesehatan berkarya di layanan dasar kesehatan, caranya, dengan menambah jumlah tenaga kesehatan.
“Cara untuk meningkatkan minat dan apresiasi para dokter ini adalah dengan meningkatkan kompetensi para dokternya,” tutur Prof. Akmal.
Pada awalnya, peningkatan kapasitas pada tenaga kesehatan khususnya dokter di layanan dasar memang cukup kontroversial. Menurut Prof. Akmal, pergolakan ini juga terjadi bahkan dalam ruang lingkup organisasi profesi.
“Rumah sakit banyak yang mengurus, uangnya banyak disana. Swasta ada di rumah sakit. Swasta kan tidak ada yang masuk ke layanan dasar. Pemerintah yang punya tugas dan ruang yang lebih banyak di layanan kesehatan dasar ini,” ujar mantan staf ahli kementerian kesehatan bidang peningkatan pelayanan.
Pendiri CISDI sekaligus Inisiator Pencerah Nusantara, Diah Satyani Saminarsih menjelaskan dia bersama Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, Sp.M(K), mantan Menteri Kesehatan Indonesia pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo membangun Pencerah Nusantara untuk mendukung penguatan layanan kesehatan primer.
SULITNYA AKSES LAYANAN KESEHATAN DASAR DI WILAYAH RURAL
Alumni Pencerah Nusantara, dr. Anak Agung Dwi Wulantari mengatakan setelah lulus dari Universitas Udayana pada tahun 2008, dia tertarik bergabung ke Pencerah Nusantara tahun 2012 padahal sudah menjadi PNS dan pernah berkarya di Puskesmas. “Dari 2008 saya langsung berkecimpung di Puskesmas. Tapi saya ingin mendapatkan pengalaman dan tantangan baru, apalagi, Pencerah Nusantara menyebut ini dari daerah akar rumput, di daerah yang tidak ada akses kesehatan,” tuturnya.
Menurut dr. Dwi Wulantari pun ditugaskan di daerah Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah dia mendapat pengalaman lebih karena harus menjumpai ragam penyakit menular yang tidak umum di wilayah urban. Misalnya saja, ada penyakit yang cukup marak di wilayah Lindu yaitu penyakit cacing atau Schistosomiasis. Sementara masyarakat banyak yang lebih percaya dengan tabib atau dukun lokal. Maklum, perjalanan dari pusat Kabupaten Sigi ke kecamatan Lindu tidak bisa dilalui dengan mobil atau sepeda motor, tapi kendaraan khusus dan masih harus memakan waktu 3,5 jam.
“Disana tidak ada transportasi, tidak ada sinyal telepon, makanya untuk rujukan pasien ke rumah sakit saja, kita masih pakai tandu,” tuturnya.
Berkat pengalaman bersama Pencerah Nusantara, dr. Dwi Wulantari mengakui telah melihat kondisi asli dari layanan kesehatan di daerah rural. Untuk itu, penting bagi dr. Dwi membangun kepercayaan masyarakat. Salah satunya dengan menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk membantu masyarakat bisa mulai mengakses layanan primer kesehatan.
“Saya bertugas disana selama 1,5 tahun. Dulu, saya mau jadi spesialis tetapi sejak melihat fakta-fakta masyarakat, dan saya pun malah tertarik untuk melakukan inovasi di layanan primer,” ujarnya.
Alumnus Pencerah Nusantara lain dari Angkatan 5 tahun 2017, dr. Erick Ary Tjawanta mengatakan dia dilatih di Jakarta dan ditugaskan di Sorong, Papua Barat dan mendapatkan beberapa temuan unik. Misalnya; selama ini kondisi di Papua Barat dan Papua cenderung kurang diperhatikan.
“Saya di distrik sampai ke pusat kota sampai 4 jam. Kalau jalurnya lebih mulus, jalurnya lebih cepat,” tutur dr. Erick.
Dia mengungkapkan bahwa masyarakat belum teredukasi baik tentang Puskesmas, misalnya, layanan kesehatan dasar dianggap seperti apotek dimana masyarakat hanya meminta obat.
“Disana pernah ada waktu Puskesmas cuma buka 1 jam. Masyarakat disana sudah tahu jenis obatnya, dan mereka sudah familiar juga dengan penyakit tertentu. Maka kami edukasi lagi, untuk memperbaiki dari sisi supply, demand, dan faktor lingkungan,” tuturnya.
Secara terpisah, Ketua IDI Wilayah Papua dr. Donald Aronggear, SpB(K), melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id memang mengakui selama ini wilayah Indonesia Timur terutama Papua sangat kekurangan tenaga kesehatan dokter spesialis karena minimnya jaminan perlindungan dari pemerintah setempat dan aparat pada tenaga Kesehatan. Saat ini hanya ada dua dokter spesialis bedah onkologi di wilayah Papua yang harus melayani sekitar 4,3 juta penduduk. Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan terjadi, maka dikuatirkan akan mengganggu pelayanan kesehatan pada masyarakat setempat.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post