Masih ingat dengan video TikTok Jerome Polin bersama dua orang koas dokter beberapa waktu lalu? Video yang viral bukan karena informasi mendidiknya. Namun viral karena kalimat “maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin” yang tercantum di dalamnya menimbulkan multipersepsi. Kondisi ini diperparah karena sang influencer yakni Jerome Polin yang notabene bukan seorang dokter tetapi memakai sneli (jas putih seragam dokter) dan stetoskop selama video tersebut direkam.
Respon pro dan kontra terhadap video ini cukup banyak hingga membuat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Ari Fachrial Syam dan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia angkat suara.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Prohealth.id, dua pemangku kebijakan ini mengingatkan pentingnya etika bermedia sosial pada setiap mahasiswa kedokteran dan tenaga kesehatan. Etika ini penting karena berkaitan dengan peran dan tugas tenaga medis menyelamatkan pasien. Apalagi, konten-konten media sosial yang tidak empati pada pasien jelas sangat tidak bijaksana dan membuyarkan tujuan awal pembuatan konten yang ideal dan sesuai kode etik tenaga medis.
Kejadian tersebut tentu menunjukkan realitas media sosial dan content creator atau biasa disebut influencer memiliki pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat dan persepsi publik saat ini. Influencer sendiri dapat seperti selebgram, Youtuber atau Tiktoker, semua identifikasi itu tergantung kepada jenis platform tempat individu tersebut memproduksi konten.
Selama masa pandemi Covid-19 sejak dua tahun lalu yakni 2020, peran para influencer memang tidak dapat dikesampingkan, khususnya influencer bidang kesehatan. Rata-rata dari mereka berperan aktif mengedukasi publik mengenai pandemi Covid-19. Mereka juga menghasilkan informais tentang serba serbi pandemic, serta membantu menangkal hoaks seputar Covid-19.
Salah satu dari para influencer tersebut adalah dr. RA Adaninggar Primadia Nariswari, SpPD. Ia mengakui pandemi Covid-19 merupakan momentum bagi dia mulai menjejak di dunia kreator khususnya isu kesehatan, sesuai bidang keilmuannya.
Saat menjadi salah satu narasumber dalam webinar “Pelajaran dari Pandemi; Kesehatan Rumit Gara-gara Infodemik” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama UNICEF melalui zoom, dokter Ning, nama panggilannya, membeberkan awal mula ia menceburkan diri di arena media sosial. Padahal awalnya dr. Ning tidak aktif berinteraksi di media sosial, dan baru aktif bermedia sosial (medsos) sejak pandemi menghantam.
“Sebetulnya saya terpicu gitu ya, kayak terpanggil gitu untuk aktif di media sosial dalam membantu meluruskan beberapa informasi yang ada,” katanya, Selasa (7/3/2023).
Menurut dr. Ning, selama dua tahun masa pandemi, informasi yang tersebar terlalu ramai sekali dan sangat cepat. Namun di sisi lain masyarakat Indonesia memiliki literasi digital yang masih rendah.
Oleh karenanya saat awal membuat video atau mulai aktif di medsos, ia hanya membuat video pendek berisi penjelasan-penjelasan singkat untuk masyarakat.
“Saya pertama kali aktif jadi bikinnya hanya penjelasan-penjelasan singkat seperti itu tapi memang banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat sih. Jadi mencari menyediakan jawaban gitu untuk mereka,” kenangnya.
Ia menduga mungkin karena konsistensi membuat konten maka hasil video-video yang ia buat cenderung viral dalam waktu singkat. “Tapi karena memang waktu itu informasi(nya) sangat dicari jadi viralnya cepat,” imbuhnya.
Faktor lain, dr. Ning sengaja menggunakan bahasa seperti perumpamaan atau analogi yang akrab dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. “Jadi sama sekali nggak pakai bahasa kedokteran. Kalau pakai bahasa kedokteran, pasti udah orang nggak mau dengerin duluan gitu,” jelasnya lagi.
Sedangkan terkait bentuk video, karena keterbatasan kemampuan maka saat itu dr. Ning hanya membuat video seadanya dengan sederhana dari perangkat gadget. “Awal dulu saya belum tahu harus bikin itu (video) pakai aplikasi apa jadi asal bikin saja video-video amatir gitu,” terangnya.
Meskipun hanya sebatas melalui video-video amatir, ia bersyukur hal yang dia kerjakan sanggup mengimbangi misinformasi dan hoaks yang beredar cepat setiap hari. Berdasarkan pengamatan pribadi dr. Ning, penyebaran misinformasi dan hoaks seputar kesehatan khususnya Covid-19, paling cepat melalui grup WA.
Oleh karena itu ia menekankan pentingnya membaca momentum dalam menciptakan konten. Dengan kata lain, seorang kreator harus pintar memanfaatkan momentum yang ada di media sosial per hari. Apalagi, dia juga melihat rumitnya birokrasi dalam penyebaran informasi menangkal hoaks mempersulit penanganan pandemi.
“Jadi kadang-kadang kita kalahnya dari para penyebar hoaks itu adalah momentum. Jadi kan kalau misalnya ini misalnya nih ya, mungkin ada yang dari Kemenkes, Kominfo, itu kan kadang-kadang masih bertahap. Ya untuk itu ada birokrasi bertahap baru nanti dirilis. Nah itu udah lewat momentum. Nah, makanya kami-kami ini mungkin yang aktif di media sosial lebih cepat untuk menjawab itu,” kata dr. Ning.
Lantas bagaimana dengan pemilihan kontennya? Prosesnya seperti apa?
Ternyata, dr. Ning memberikan jawaban menarik yaitu dia memilih konten yang “berbahaya”.
“Ya kalau saya lihat ini, kalau prioritas paling berbahaya dalam tanda kutip. Itu berbahaya artinya bisa sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dan merugikan orang banyak, itu yang selalu saya prioritaskan,” tegasnya.
Ia pun mencontohkan masalah informasi tentang masker saat pandemi. Jelas dalam sains dan kesehatan, jika tidak mau memakai masker maka akan membahayakan orang lain. Alhasil, dia pun langsung memilih isu ini karena ada urgensi memberikan edukasi tersebut kepada masyarakat. Setelah masker, ia lanjut mengedukasi tentang vaksinasi, lalu ke pemeriksaan antigen yang menurutnya banyak misinformasi.
“Jadi kalau waktu pandemi kemarin memang saya pilih yang itu tadi, yang kira-kira memang bisa berdampak luas dan merugikan masyarakat,” jelas dr Ning.
Faktor Ketokohan dan Target Audiens
Hal lain yang menjadi prioritas adalah statement atau pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh yang biasanya dipercaya oleh masyarakat. Bahkan untuk ini, dirinya menggolongkan ke kategori sangat prioritas.
Berdasarkan pengalamannya, masyarakat di Indonesia masih lebih mempercayai tokoh tanpa melihat latar belakang keahlian yang sesuai atau linier. Kendati demikian, ia tak patah arang dan tetap berniat konsisten mempelajari karakteristik masyarakat Indonesia di media sosial.
“Mereka [masyarakat] nggak peduli. Pokoknya ada tokoh yang mereka bilang tokoh berjasa. Ini tokoh baik mau ngomong apa aja, itu akan dipercaya sama mereka meskipun beliau keahliannya bukan di situ,” jelas dr. Ning yang akun instagramnya telah memiliki 171 ribu followers.
Menghadapi kasus seperti ini maka dengan tuntas dr. Ning ikut memberikan penjelasan guna meluruskan informasi dari tokoh tersebut dengan cara memaparkan bukti-bukti ilmiah yang lengkap beserta penjelasan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Ia juga menyinggung mengenai ketokohan yang memiliki andil besar dalam masyarakat selama pandemi. Ia mewanti-wanti lantaran masyarakat Indonesia masih sangat percaya dengan tokoh tanpa kepakaran yang jelas.
“Ya jadi harus hati-hati banget kalau misal ada chat dari pejabat atau tokoh dan itu menyebar dan itu ternyata misinformasi. Nah, itu yang harus diprioritaskan untuk dijelaskan atau diklarifikasikan. Masyarakat (pasti) langsung percaya, mereka nggak akan cek dan ricek gitu,” bebernya.
Penerima PPKM Awards 2023 untuk kategori influencer Instagram ini, secara umum menilai bahwa karakteristik masyarakat Indonesia memang menarik. Belajar dari pengalaman aktif berkonten di Instagram, dr. Ning dapat menggolongkan masyarakat dalam kelompok berdasarkan penerimaan ketika menghadapi pandemi Covid-19. Setidaknya ada tiga kelompok yakni kiri, kanan dan tengah atau penengah. Dia menjelaskan bahwa kelompok kiri adalah golongan yang sudah tidak bisa diubah kenyakinannya terkait Covid-19.
“Bukan target kita karena kalau kita menargetkan itu, itu sama seperti memaksa orang pindah keyakinan. Gitu kan jadi itu kayak udah gitu ya,” katanya.
Sedangkan kelompok kanan adalah yang mendukung. “Ya pasti dia akan mendukung terus gitu kan,” katanya lagi.
Sementara golongan tengah, adalah kelompok yang bingung karena tidak mau menjadi target yang kiri ataupun kanan. Ada pula kelompok masyarakat yang kritis dan menurut dr. Ning kelompok ini cenderung peragu. Ambil saja contoh kasus vaksinasi. Rerata kelompok kritis dan kelompok tengah belum tentu menolak vaksin Covid-19, tetapi juga tidak berani langsung eksekusi vaksin karena masih mengumpulkan informasi dan bukti.
“Itu sebetulnya bukan menolak tapi mereka butuh informasi vaksin itu aman atau tidak, lalu sepenting apa?” jelasnya.
“Nah, yang seperti ini harus diprioritaskan untuk diedukasi,” ungkap dr. Ning membeberkan target audiensnya.
Karakteristik lain dari masyarakat Indonesia menurut dr. Ning adalah tidak bisa menerima penjelasan ilmiah. Padahal dalam sains pemahaman tidak bisa sesederhana memahami hitam dan putih. Dalam kesehatan ada zona abu-abu yang membutuhkan pemahaman khusus, sedangkan di masyarakat masih terpaku dengan gaya berpikir hanya hitam dan putih.
“Jadi menjelaskan itu tidak bisa langsung teks. Yang saya pelajari selama ini jadi gaya komunikasi saya juga berubah sesuai dengan apa yang saya lihat di masyarakat,” paparnya.
Discussion about this post