Jakarta, Prohealth.id – Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI, Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) akhirnya mengakui sulit dan penuh liku jalan untuk mendorong harga rokok mahal di Indonesia.
Jika tak percaya, Pengamat publik dari Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan ada banyak perspektif membahas terkait tentang rokok di twitter. Kondisi ini tentu menambah nuansa dan memperpanjang dinamika pengendalian tembakau lewat kenaikan cukai. Dia menjelaskan, pembahasan rokok di Twitter lebih banyak yang kontra dengan rokok secara umum.
Dukungan organik dari netizen juga lebih banyak yang pro terhadap kenaikan harga rokok. “Ada juga buzzer dan bot yang dioperasikan untuk menolak kenaikan cukai rokok yaitu saat ada berita akan adanya kenaikan cukai rokok.”
Pada Selasa (2/11/2021) para organisasi peduli kesehatan masyarakat dan pemangku kebijakan terkait kebijakan cukai rokok duduk bersama dalam layar virtual puncak kampanye #pulihkembali2.0 dengan judul “Tapak Tilas: 1.095 Hari Advokasi Harga Rokok di Indonesia.” Kumpul daring ini bertujuan menyampaikan bunga rampai studi kebijakan cukai serta laporan donasi yang terkumpul selama kampanye #pulihkembali2.0.
Sebelumnya, Komnas PT telah menemukan dari risetnya pada 2020 meski dalam masa pandemi, 49,8 persen masyarakat mengaku tetap mengeluarkan uang belanja untuk merokok seperti sebelum pandemi. Tak hanya itu, ada 13,1 persen masyarakat naik belanja rokoknya. Senada dengan survei ini, Fakultas Kedokteran UI juga menemukan 47,6 persen responden mempertahankan konsumsi rokoknya dan 20,1 persen responden justru meningkatkan konsumsi rokoknya pada saat pandemi.
Temuan lain dari CISDI tahun 2021 juga menunjukkan pola yang sama, bahwa pandemi tidak mengubah perilaku merokok masyarakat, ada sekitar 60 persen responden dari studinya yang tetap mengeluarkan uang belanja untuk rokok. Serta dari perspektif istri dalam rumah tangga, tidak ada perubahan intensitas maupun kuantitas merokok suaminya saat pandemi.
Masih dari riset CISDI, kondisi harga rokok yang sangat beragam dan murah, menjadi peluang bagi perokok tetap merokok meski dalam masa pandemi. Hasil riset dari CISDI juga menemukan bahwa 42 persen perokok persisten saat ini mengaku menurunkan pengeluaran rokok, namun 24 persen nya beralih ke rokok murah.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyatakan, pola merokok kelompok masyarakat berpenghasilan rendah perlu menjadi perhatian karena kelompok rentan ini tetap merokok di masa pandemi meskipun ekonomi sulit dan cenderung beralih ke rokok yang lebih murah. Jumlah konsumsi rokok yang tinggi pada masyarakat ekonomi rendah tentu akan menjadi beban dalam kondisi yang sulit saat ini.
Selain menjadi beban bagi keluarga miskin, tingginya konsumsi rokok dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi. Seperti hasil kajian CISDI pada 2019 bersama Forthcoming bahwa beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), mencapai Rp446.73 triliun atau sama dengan 2,9 persen pendapatan nasional bruto. Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan.
Salah satu faktor penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia adalah tingkat keterjangkauan yang tinggi. Rokok dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja, bahkan oleh anak-anak dan remaja, serta keluarga miskin, karena harga yang sangat murah. Dengan Rp1.000 saja per batang, rokok dapat dibeli secara eceran. Sementara menurut hasil survei yang dilakukan oleh PKJS UI pada 2018, perokok berpikir untuk berhenti merokok jika harga rokok dinaikan hingga Rp70.000 per bungkus. Angka ini tentu masih jauh dari kenyataan.
Para penyeleggara dari kegiatan Tapak Tilas mencoba untuk mengarsipkan riset-riset yang berhubungan dengan kebijakan cukai rokok agar dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam merumuskan kenaikan cukai tahun ini dan tahun-tahun mendatang melalui perencanaan kebijakan berkesinambungan. Kegiatan Tapak Tilas juga mencoba memvisualisasikan data riset dengan video-video kreatif sebagai kumpulan aksi dan advokasi yang telah dilakukan oleh masyarakat sipil selama kurang lebih tiga tahun ke belakang.
Krisna Puji Rachmayanti, peneliti dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia menyatakan dari tiga studi yang telah dilakukan oleh Komnas PT, CISDI, dan PKJS UI menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan pandemi Covid-19.
“Maka dari itu, masa-masa pandemi ini justru adalah masa krusial dan sangat tepat untuk segera menaikan cukai rokok sekaligus harganya di pasaran. Hal ini untuk melindungi masyarakat kelompok rentan yang sensitif dengan kondisi ekonomi agar bisa segera berhenti dari adiksi merokok,” jelasnya.
Akbar Harfianto, dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan menilai bahwa ada kenaikan yang sebenarnya cukup signifikan dan produksinya yang juga menurun beberapa waktu ini. Ada 4 pilar yang dipegang oleh Kementerian Keuangan dalam pembentukan kebijakan: pengendalian konsumsi, industri, rokok ilegal, dan penerimaan negara.
Kementerian Kesehatan yang diwakili drg. Kartini Rustandi, M.Kes, menyatakan harga rokok masih sangat murah juga masih bisa dibeli secara batangan. Kondisi ini memang harus menjadi pertimbangan bagi berbagai aspek dalam membuat kebijakannya. Oleh karenanya, tugas Kemenkes adalah mempersiapkan generasi masa depan Indonesia, dengan melindungi mereka dari dampak buruk produk rokok.
“PR dari Pak Presiden dan amanah UU adalah kami harus mempersiapkan generasi yang sehat. Pengendalian rokok memang harus komprehensif, tidak bisa hanya orang kesehatan saja yang teriak sendiri, tapi juga seluruh aspek,” pungkasnya.
Asdep V Pengembangan Industri, Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menyampaikan ada 4 pilar dalam kebijakan kenaikan cukai rokok, yaitu; [enerimaan negara, kesehatan, industri dan rokok ilegal. Oleh karena itu pemerintah harus menemukan titik temu mengikuti kurva laffer agar kebijakan ini berada dalam titik keseimbangan.
IRONI PRESIDENSI G20 TAPI BELUM MASUK FCTC
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan, kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah masih mandul. Sekalipun ada kebijakan yang dilakukan tapi hal itu masih kurang dan belum termasuk dalam kebijakan yang luar biasa.
“Jangan mengatakan harga sudah terlalu mahal, justru jauh lebih murah, karena seharusnya sudah tidak ada rokok yang sebungkusnya berharga sepuluh ribu rupiah.”
Faisal Basri juga sangat menyayangkan tindakan pemerintah yang sarat dengan janji semata dalam upaya menaikkan cukai rokok. Padahal narasi Presiden Jokowi pada periode ke-2 pemerintahannya adalah SDM. Artinya paradigma membangun manusia harus diubah, pengarusutamaan kebijakan harus mementingkan kesehatan masyarakat.
Menurut Faisal realita ini diperparah dengan kondisi terpilih sebagai Presidensi G20, sementara Indonesia masih menjadi satu-satunya anggota dari negara-negara di dunia yang belum meratifikasi FCTC. “Ini malu-maluin. Jangan sampai harus seorang Presiden yang menentukan harga rokoknya seperti saat kasus PCR yang dikuasai oligarki,” sambung Faisal.
Berkaca dari dinamika itu, Pungkas Bahjuri Ali selaku Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas menambahkan bahwa ide dari cukai adalah pengendalian konsumsi, karena itu apabila harga rokok dari instrumen cukai belum sesuai, maka kebijakan saat ini masih belum ideal.
“Meski demikian, kami juga meyakini bahwa setiap kebijakan pasti punya dampaknya, yang harus kita siapkan sekarang ini adalah melakukan mitigasi dari kebijakan apa yang akan kita pilih,” tegas Pungkas.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post