Jakarta, Prohealth.id – Secara legal, pelaksanaan aborsi aman dimungkinkan untuk diambil bagi kasus dengan indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan. Sayangnya, dalam pelaksanaan di lapangan, aborsi aman malah rentan dengan kriminalisasi karena belum adanya fasilitas dan tenaga ahli kesehatan yang memiliki mandat resmi untuk prosedur ini.
“Perempuan masih harus dihadapkan pada sistem hukum yang belum mampu menghadirkan layanan yang dibutuhkan oleh korban,” tegas Ana Abdillah dari Women Crisis Center (WCC) Jombang dalam diskusi daring “Pengaturan Aborsi dalam Upaya Pembaruan KUHP”, pada tanggal 22 April 2022 lalu.
Ana merupakan salah satu pendamping kasus perkosaan anak yang terjadi di Jombang, Jawa Timur, tahun 2021 lalu. Ia menceritakan bagaimana korban perkosaan yang tidak siap secara psikologis untuk melanjutkan kehamilan dan melahirkan. Namun, banyak pihak yang berupaya mencegah, salah satunya dari kepolisian, dengan dalih berdosa dan kondisi ibu serta janin baik-baik saja sehingga tidak perlu aborsi.
“Secara regulasi, kepolisian tidak mengeluarkan rekomendasi tetapi saat itu tidak ada ahli kesehatan yang mendukung keinginan korban untuk aborsi,” jelas Ana menambahkan bahwa sudah ada dukungan dari tokoh agama untuk melanjutkan aborsi karena anaknya belum siap secara mental.
Ia menambahkan habisnya waktu untuk koordinasi dan ada pihak yang sengaja mengulur waktu sehingga tidak bisa dilakukan aborsi sesuai keinginan korban dan keluarga.
Ida Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan dan Aliansi Save Our Sisters, yang mendampingi kasus kekerasan seksual di Jambi, mengatakan korban kasus perkosaan akan melakukan aborsi tidak aman, dengan cara meminum obat, dan mengalami pendarahan.
Hambatan lainnya antara lain adanya potensi kriminalisasi karena berdasarkan UU Perlindungan Anak dianggap sebagai membunuh anak, masih ada stigma terhadap korban, indikasi kedaruratan medis hanya mengakomodasi kehamilan yang mengancam nyawa ibu dan janin, padahal ada risiko tekanan psikologis hingga tidak ada akses tentang kesehatan reproduksi.
“Aborsi dikatakan sebagai sederhana, tetapi kalau sudah disematkan dengan moral menjadi sangat kompleks dan menyulitkan,” tegas Ida dalam diskusi yang sama.
Alasan aborsi antara lain sudah memiliki banyak anak, kondisi fisik ibu tidak memungkinkan, kondisi ekonomi, potensi janin cacat, belum mau punya anak, korban perkosaan, takut kehilangan pekerjaan karena aturan perusahaan, belum menikah, hingga kehamilan remaja (teen pregnancy).
PERPANJANGAN WAKTU DAN TAMBAHAN HUKUMAN
Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan revisi UU tindak pidana (RKUHP) terkait pelaksanaan aborsi di Indonesia. Dalam draf revisi yang terbaru, setidaknya ada dua tambahan pasal yaitu terkait perpanjangan waktu pelaksanaan aborsi dari 42 hari menjadi 12 minggu bagi kasus indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan dan tambahan hukuman bagi yang melakukan aborsi di luar kedaruratan medis dan korban perkosaan.
Usulan pemerintah untuk memperpanjang jangka waktu aborsi dari 42 hari menjadi 12 minggu bagi kasus kedaruratan medis dan korban pemerkosaan mendapatkan sambutan positif dari para aktivis perempuan.
“Untuk mengadukan kasus perkosaan butuh waktu bertahun-tahun, ini tidak mudah. Saya merespons positif apabila ada perpanjangan waktu [untuk pelaksanaan aborsi pada kasus perkosaan]”, ujar Ida.
Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan salah satu anggota tim perumus RKUHP, menjelaskan 12 minggu merupakan hasil kompromi dari kedokteran dan organisasi masyarakat sipil.
“Berdasarkan PP 61, waktu aborsi 42 hari dianggap terlalu singkat apalagi dikaitkan dengan proses pidana yang biasanya butuh waktu lama atau bisa saja tidak menyadari hamil saat itu,” tambah Harkristuti.
Ia mengutip Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa aborsi adalah intervensi kesehatan yang umum. Aman apabila sesuai dengan rekomendasi WHO, durasi kehamilan, dan keterampilan tenaga ahli medis. “Jadi, aborsi bukan hal yang unusual karena banyak aborsi yang tidak aman,” jelasnya.
Aborsi tidak aman memiliki komplikasi tidak hanya kesehatan fisik tetapi juga mental bagi perempuan.
Risiko kesehatan antara lain pendarahan, infeksi, perforasi rahim, kerusakan pada saluran genital dan organ dalam karena memasukkan benda berbahaya ke vagina dan anus, serta risiko gangguan kesehatan mental.
Belum lagi beban sosial dan keuangan bagi mereka. Masalahnya adalah kurang akses ke perawatan aborsi yang aman, tepat waktu, dan terjangkau serta terhormat. “Ini merupakan masalah kesehatan dan hak asasi manusia yang kritis,” tambah Harkristuti.
Lebih lanjut, ia mengatakan akan ada tambahan hukuman bagi tenaga ahli yang melakukan tindak pidana aborsi baik dengan atau tanpa persetujuan, pengecualian bagi indikasi kedaruratan medis dan kasus perkosaan.
Dalam draf terbaru, perempuan yang melakukan aborsi dengan persetujuan terancam paling lama 5 tahun penjara, sementara tanpa persetujuan terancam paling lama 12 tahun penjara. Sementara itu bagi yang melakukan tindak pidana akan dapat tambahan sepertiga hukuman dan pencabutan hak untuk menjalankan profesi. Kecuali kedaruratan medis dan kasus perkosaan, maka tidak akan dipidana.
Terkait kedaruratan medis, Harkristuti mencontohkan apabila korban pemerkosaan merasa tidak mau melanjutkan kelahiran dan ada indikasi kuat ingin bunuh diri maka bisa saja dianggap sebagai kedaruratan medis. Namun, ia mengingatkan bahwa harus ada pemeriksaan yang menyeluruh dan kesaksian dari tenaga ahli kesehatan, baik untuk fisik maupun psikologis.
BELUM ADA KLINIK ABORSI AMAN DAN RESMI
Yayasan Kesehatan Perempuan mendefinisikan aborsi sebagai pengeluaran hasil konsepsi (pembuahan) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, di mana berat janin kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu.
Berdasarkan hukum Islam, Mazhab Syafii menyatakan kehidupan dimulai saat pertemuan terjadi antara ovum dan sperma. Sementara, Hambali dan Maliki menyatakan kehidupan baru terjadi 100-120 hari setelah ovum dan sperma bertemu.
“Artinya, sebelum batas itu, kehamilan bisa dihentikan karena belum ada kehidupan,” jelas Harkristuti.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), 73 juta aborsi yang diinduksi per tahun di seluruh dunia, 121 juta atau setengah dari kehamilan tidak direncanakan.
Enam dari 10 kehamilan yang tidak diinginkan berakhir dengan aborsi yang diinduksi. Dari angka ini, 45 persen tidak aman dan 97 persen berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini menjadi penyebab utama kematian dan morbiditas ibu padahal bisa dicegah.
Aborsi yang diinduksi adalah perawatan kesehatan yang sederhana dan umum. Sayangnya, belum ada penerapan klinik aborsi yang aman sehingga banyak yang ilegal.
Wira Hartiti, yang mewakili Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lansia, Kementerian Kesehatan, menyatakan bukan kesalahan sistem karena memang belum ada penetapan klinik aborsi aman yang resmi dari Kementerian Kesehatan.
“Untuk aborsi, memang belum ada penetapan faskes dan masih berproses untuk pelatihan dan pembuatan modul,” jelas Wira.
Namun, sudah ada pedoman untuk menjalankan pelatihan tersebut yang dilengkapi dengan naskah akademik. Selain itu, sudah ada anggaran untuk bisa melakukan pelatihan bagi tenaga ahli untuk pelaksanaan aborsi yang akan dilaksanakan secara bertahap.
“Targetnya tahun ini bisa menyelesaikan pelatihan dan menetapkan fasilitas kesehatan rujukan untuk aborsi,” lanjutnya.
Syarat pelayanan aborsi untuk kedaruratan medis dan kasus perkosaan antara lain dilakukan di fasilitas kesehatan yang berwenang, dokter yang sudah melakukan pelatihan dan bersertifikat, ada tim kelayakan aborsi (minimal 2 orang), serta konselor yang terlatih untuk melakukan konseling sebelum dan sesudah prosedur.
Wira menambahkan setidaknya ada 2758 puskesmas dan 466 rumah sakit yang sudah menyediakan layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sebagai pendamping, Ana mengkritisi buruknya mekanisme koordinasi antar berbagai pihak menjadi faktor pemicu peraturan menjadi sulit diimplementasikan. Selain itu, jangkauan puskesmas masih terbatas, masih sebatas berurusan dengan darah rendah dan keluhan fisik lainnya, belum siap untuk menampung kasus kekerasan seksual.
“Harapannya, pengaturan aborsi dalam RKUHP harus mampu menjawab persoalan pendampingan kasus kekerasan seksual dan berorientasi kepada pemenuhan hak-hak korban,” tandasnya.
“Bagaimana korban bisa berdaya dan dapatkan layanan komprehensif. Salah satunya adalah layanan kehamilan tidak diinginkan yaitu legal safe abortion. Ketika tidak siap secara psikologis dan sistem tidak boleh memaksa korban untuk melanjutkan kehamilan.”
Ida pun menyoroti aspek lain, di luar dari indikasi medis, misalnya psikologis dan ekonomi, yang juga bisa diatur dalam RKUHP.
“Tidak hanya fisik, berharap ada aspek psikologi jadi pertimbangan. Misalnya, bentuk kekerasan seksual lain mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan secara ekonomi tidak siap, bisa dilakukan aborsi, semestinya bisa diatur,” tuturnya.
Dia menambahkan untuk bisa mempercepat proses penyelenggaraan layanan aborsi aman di daerah. “Hingga saat ini, belum ada rujukan fasilitas kesehatan yang legal, bersertifikat, dan paham prosedur untuk lakukan aborsi yang aman, apalagi di daerah,” jelasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post