“Sedikit sekali orang yang berani speak-up, hey jangan merokok dong,” begitu ujar Rico, salah satu narasumber dalam film dokumenter ‘Perokok Pasif dalam Diam Menyimpan Bencana’ yang dibuat oleh tim Yayasan Lentera Anak.
Sikap diam dan abai perokok pasif menegur para perokok aktif membuat secara perlahan lahan banyak orang khususnya anak-anak yang mengalami penyakit pernapasan. Sebut saja; asma sampai tuberkulosis. Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) pada tahun 2018 saja menyebutkan ada 40 juta balita menjadi korban perokok pasif.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari membenarkan bahwa berbagai upaya advokasi perlindungan masyarakat dari bahaya rokok terus dilakukan, namun belum terlihat dampak perubahan signifikan.
Terbukti dalam hasil jajak pendapat Lentera Anak & U-Report UNICEF (2022) menemukan sebanyak 97 persen responden terpapar asap rokok alias menjadi perokok pasif. Sayangnya, meskipun sadar menjadi perokok pasif, mayoritas responden atau 84,7 persen tidak menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka.
Mereka hanya menyikapi dengan menutup hidung, menjauh dari asap rokok dan perokok, dan bahkan diam saja, meskipun mengetahui asap rokok berbahaya. Ini menunjukkan betapa perokok pasif tidak berdaya dan tidak bersuara untuk melindungi dirinya dari paparan asap rokok.
Kondisi makin diperkuat dari data survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa alias Global Adults Tobacco Survey (GATS) yang dilaksanakan pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden. Hasil GATS menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang.
Artinya, jika perokok pasif lebih asertif dan berani menjadi penggerak budaya baru dengan menyuarakan hak asasi mereka atas udara bersih, maka bisa jadi perilaku merokok, yang tadinya dianggap sebagai perilaku normal, akan ditasbihkan sebagai perilaku asosial. Dalam situasi belum hadirnya Negara melindungi masyarakat dalam bentuk regulasi yang kuat, dibutuhkan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya.
“Kita membutuhkan upaya-upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya,” tegas Lisda.
Dalam kegiataan nonton bareng dan diskusi bersama yang diselenggarakan dengan BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, pada Kamis, 16 Maret 2023 lalu, Lisda mengingatkan temuan-temuan bahaya penyakit pada anak menandakan dalam 10 tahun terakhir prevalensi perokok anak di Indonesia terus meningkat.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan perokok anak meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta anak, dan Bappenas mempredikasi pada 2030 perokok anak bisa mencapai 15,9 juta.
“Ini masalah serius mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor resiko penyakit tidak menular, selain juga akan menjadi beban ekonomi dan mengancam kualitas SDM,” tegas Lisda.
Dikutip dalam film dokumenter tersebut, Dokter Spesialis Anak, dr. Kurniawan Satria Denta, M.sc, Sp.A, menjelaskan bayi dan anak-anak memiliki daya tahan tubuh yang belum sempurna seperti orang dewasa. Jadi jika organ pernapasan anak yang masih dalam proses perkembangan sistem imun terkena gangguan akibat rokok, maka sistem pertahanan tubuh anak terganggu. Sebut saja misalnya infeksi dan alergi.
“Di rumah atau keluarga yang ada perokok, anak atau bayi yang terkena pneumonia risikonya lebih tinggi daripada anak-anak yang di rumahnya tidak ada perokok,” ungkap dr. Denta.
Berkaca dari kondisi ini, Lisda Sundari juga menegaskan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi masyarakat untuk lebih berdaya. Apalagi dengan belum hadirnya negara melindungi kesehatan masyarakat dalam bentuk regulasi yang kuat, maka masyarakatlah yang seharusnya lebih keras bersuara.
“Kita percaya dorongan yang kuat dari masyarakat itu secara perlahan tapi pasti akan dapat mengubah perilaku, norma dan budaya kita menjadi lebih sehat dan berpihak kepada rakyat,” pungkasnya.
Ubah Paradigma Sosial Jadi Asosial
Ketua Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI), Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH, menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap perilaku merokok sebagai perilaku sosial yang normal. Ketidakberanian perokok pasif menegur perokok aktif karena terbiasa dengan kultur atau budaya kehidupan bersama yang harmonis, tenang, dan selaras. Padahal, dalam kehidupan bersama ini, perokok pasif itu dirugikan namun tak bersuara karena norma sosial masih seolah-olah melanggengkan perilaku merokok.
“Bahkan meskipun masyarakat sudah menjadi korban dari para perokok karena menjadi perokok pasif, namun karena adanya budaya eweuh pakeweuh, membuat kita seringkali sungkan menegur perokok,” jelas Rita.
Rita mengingatkan perokok pasif untuk lebih asertif dan berani bersuara dalam memperjuangkan hak atas udara bersih. Sebab tanpa sikap berdaya maka perokok pasif akan terus menjadi korban selamanya.
“Perokok pasif harus lebih berani bersuara dan menjadi penggerak budaya baru. Sudah waktunya untuk mengubah perilaku merokok dari yang tadinya dianggap sebagai perilaku sosial menjadi perilaku asosial,” tegas Rita.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, memaparkan penerapan regulasi di Indonesia masih sangat longgar, dan ini membuktikan lemahnya peran negara.
Julius menambahkan, di saat negara sudah lalai melindungi masyarakat, disinilah justru dibutuhkan masyarakat yang resisten yang harus melawan pihak-pihak yang merugikannya.
“Dalam kondisi resisten warga seharusnya menyerang balik, karena kita mendapatkan jaminan hak atas udara bersih yang diatur dalam Undang-undang,” tegasnya.
Adapun hak warga negara atas udara bersih dijamin dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juncto pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya jaminan hak warga atas udara bersih ini, Julius menegaskan warga yang merasa dirugikan seharusnya bisa melawan. Ia mencontohkan kasus kemenangan gugatan oleh 32 warga kepada negara karena hak mereka atas udara bersih tidak terpenuhi.
Meskipun pemerintah pusat dan tiga pemerintah daerah; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sebagai tergugat masih mengajukan upaya banding, namun putusan tersebut telah membuktikan bahwa masyarakat bisa memperjuangkan haknya atas udara bersih.
Hanya masalahnya, kata Julius, saat ini para perokok merasa nyaman karena mereka menganggap Indonesia adalah kawasan lokalisasi merokok. Karena itu Julius menilai pentingnya menaikkan standar agar Indonesia tidak lagi dianggap sebagai kawasan lokalisasi merokok, salah satunya dengan memperkuat aturan dan penerapan sanksi yang tegas.
Margianta SJD, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia, menyatakan kaum muda saat ini sangat frustasi menghadapi kebijakan Pemerintah yang tidak pro pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu ia mengajak masyarakat untuk bersuara, serta berinisiatif secara bersama-sama membangun lingkungan tanpa rokok.
“Kita bisa memulai dari lingkungan terkecil seperti di rumah sendiri atau lingkungan RT/RW tanpa rokok,” ujar Margianta. Diharapkan, dari keresahan dan permasalahan yang disuarakan oleh masyarakat ini juga dapat didengar oleh pemerintah.
Menjelang Pemilihan Umum pada 2024, Margianta juga mengharapkan masyarakat dapat memilih pemimpin yang dapat memberikan solusi konkret atas permasalahan rokok di Tanah Air dan betul-betul berkomitmen melindungi kesehatan masyarakat.
“Jangan memilih figur yang tidak peduli dan semakin membuat kita frustasi,” tandasnya.
Discussion about this post