Jakarta, Prohealth.id – Penyandang disabilitas di seluruh Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk masuk ke dunia kerja formal. Hal itu dibenarkan oleh Program Manager INKLUSI BaKTI, Lusia Pululugan dalam kegiatan Forum Disabilitas.
“Ini terjadi karena banyak disabilitas yang tidak mendapatkan hak pendataan,” ujarnya melalui Zoom pada Senin, 29 Agustus 2023 lalu.
Ia menjelaskan, banyak penyandang disabilitas yang miskin bisa terdata melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Artinya, jika si penyandang disabilitas tidak terdata maka dia tidak masuk kategori miskin.
Kedua, sulitnya penyandang disabilitas mendapatkan akses pekerjaan juga dikarenakan oleh rendahnya kepercayaan diri dari para penyandang disabilitas.
“Belum lagi, ada banyak penyandang disabilitas yang juga tidak bersekolah dan tidak punya ijazah. Maka itu perlu studi kejar paket,” sambungnya.
Masalah lain adalah banyak perusahaan di Indonesia yang belum tahu dan belum menjalankan aturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bahwa setiap perusahaan wajib menyediakan 1 persen kuota untuk penyandang disabilitas.
“Artinya, banyak perusahaan memang belum inklusif dalam merekrut karyawan,” tuturnya.
Lusia juga menyoroti lemahnya prosedur (SOP) untuk merekrut penyandang disabilitas. Ia menilai, penyandang disabilitas juga sangat beragam, sehingga dalam proses perekrutan karyawan penting agar perusahaan memiliki SOP dan menyesuaikan kebutuhan pekerjaan dengan karakteristik si penyandang disabilitas.
Selain itu, proses evakuasi dan mitigasi kecelakaan kerja menjadi penting khususnya bagi karyawan disabilitas. Ia juga menyebutkan kerap kali perusahaan abai untuk menetapkan kondisi darurat perusahaan dan mengevakuasi karyawan disabilitas saat kondisi krisis.
Lemahnya keberpihakan pada penyandang disabilitas
Seruan terkait lemahnya keberpihakan pemerintah dan masyarakat pada kelompok penyandang disabilitas, disuarakan oleh salah satu peserta webinar asal Maumere, Flores, Provinsi NTT. Yoseph Loku, warga asal Flores ini menilai pendataan disabilitas di Kabupaten Sikka sangat lemah, data yang mungkin hanya sekitar 5000-6000 orang, ternyata bisa mencapai lebih dari 7000 orang penyandang disabilitas di pelosok desa.
“Kondisi pemerintah abai akhirnya penyandang disabilitas ini hanya dibantu oleh NGO dari luar negeri, salah satunya misal dari Jerman,” tutur Yoseph mempertanyakan komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah pada warganya yang disabilitas.
Senada dengan Yoseph, warga Kabupaten Sikka lain yang datang dalam forum webinar itu yakni Edu Sareng ikut membenarkan bahwa disabilitas tidak punya pemerintah.
Lemahnya keberpihakan ini juga tercermin dalam pameran ‘Hidden Torture’. Perhimpunan Jiwa Sehat menyatakan, pada saat ini ada belasan ribu penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dikurung di panti-panti sosial dengan kondisi yang lebih buruk daripada penjara. Pasalnya, tidak seperti tahanan dan narapidana, penyandang disabilitas mental dipenjara tanpa melalui proses hukum dan tanpa tahu waktunya mereka bisa bebas.
Pameran tersebut memaparkan bahwa dalam panti-panti tersebut banyak penyandang disabilitas mental yang dirantai, digunduli, mengalami kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual. Untuk itulah, dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, Perhimpunan Jiwa Sehat bersama dengan Human Rights Watch, Transforming Communities for Inclusion Global akan mengadakan Seminar Internasional dengan judul Penyiksaan Yang Tersembunyi: Kondisi Institusionalisasi Penyandang Disabilitas di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Lusia menyebut kekerasan terhadap disabilitas mental memang menjadi hambatan untuk bisa meningkatkan kualitas hidup mereka, apalagi untuk membantu mereka masuk ke dunia kerja.
Lusia mengingatkan, bahwa disabilitas jelas memiliki kerentanan ganda terhadap kekerasan, termasuk kekerasan terselubung yang terjadi di panti-panti sosial.
“Maka itu bagi siapapun yang mengetahui dan menduga ada kekerasan perlu melapor agar ada pemeriksaan. Sebab, rata-rata panti itu juga sangat tertutup, aksesibilitasnya sulit,” kata Lusia.
Guna menjamin hak hidup penyandang disabilitas, Lusia menegaskan pentingnya kerja sama, kepekaan, dan keberpihakan masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap disabilitas.
Discussion about this post