Jamkeswatch menolak peraturan tentang KRIS karena akan membuat pelayanan kesehatan bagi masyarakat bukan makin baik, tetapi makin memburuk.
Direktur Eksekutif Jamkeswatch Daryus mengatakan pemerintah harus sadar masih banyak peserta JKN-KIS yang sulit mendapatkan layanan kesehatan. Hal ini lantaran masih banyak carut marut dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kebijakan ini tidak ideal karena pemerintah menerapkan pembatasan kamar rawat inap rumah sakit pemerintah 60 persen dan rumah sakit swasta 40 persen. Padahal, peserta JKN-KIS masih sering kesulitan untuk mendapatkan kamar rawat inap akibat keterbatasan fasilitas.
“Ini mengingat lebih dari 90 persen masyarakat yang berobat menggunakan jaminan Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau yang lebih kita kenal BPJS Kesehatan,” kata Daryus dalam rilis yang diterima Prohealth.id Kamis, (30/5/2024).
Daryus khawatir pembatasan kamar inap untuk pasien BPJS Kesehatan bisa memicu transaksi bisnis dari pihak rumah sakit kepada pasien. Misalnya penawaran dengan mekanisme top up biaya agar mendapatkan fasilitas rawat inap.
“Biasana penawaran top up biaya untuk bisa mendapatkan fasilitas rawat inap. Dengan alasan kamar fasilitas rawat inap untuk peserta BPJS sudah penuh,” papar Daryus.
Selain itu Daryus juga khawatir dengan adanya aturan satu kelas rawat inap standar yang nantinya pemerintah akan menggunakan satu tarif. Sebagai contoh, menggunakan tarif sebesar Rp100.000 per jiwa. Ia menilai, hal ini akan memberatkan peserta BPJS Kesehatan yang selama ini terdaftar sebagai peserta kelas tiga dengan iuran Rp35.000 per jiwa karena mengalami kenaikan.
“Bahkan lebih bahaya lagi apabila pemerintah daerah ikut menghentikan program UHC bagi masyarakat karena ketidakmampuan APBD menanggung biaya kesehatan bagi masyarakatnya jika terjdi kenaikan iuran,” jelasnya.
Sementara Sekretaris Eksekutif Jamkeswatch, Abdul Gofur mengkhawatirkan penerapan satu kelas kamar rawat inap standar akan merugikan kaum pekerja yang selama ini tertib membayar iuran sebesar 5 persen dari upahnya. Namun saat mengalami sakit, pekerja masih kesulitan mendapatkan kamar karena keterbatasan kamar rawat inap di rumah sakit. Hal ini pun memaksa pekerja dan perusahaan bekerjasama dengan pihak asuransi swasta untuk bisa mendapatkan pelayanan selain kelas rawat inap standar BPJS.
Gofur juga menyampaikan bahwa banyak pengusaha rumah sakit yang berkeberatan dengan pengaturan kelas rawat inap standar (KRIS). Hal ini karena akan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merenovasi semua fasilitas kamar rawat inap sesuai dengan kriteria KRIS. Bahkan, pekerja rumah sakit juga khawatir biaya renovasi tersebut akan mengurangi anggaran kesejahteraan pekerja. Adapun yang lebih menakutkan lagi akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tehadap pekerja, karena ketidakmampuan finansial.
“Adil itu bukan sama rata, tetapi proporsional. Sesuai dengan azas pendirian BPJS yaitu “Gotong Royong”. Sesuai kemampuan dan saling menopang. Yang mampu membayar lebih untuk menutupi biaya masyarakat yang tidak mampu dengan iuran yang terjangkau,” lanjut Gofur.
Oleh karenanya, Jamkeswatch sebagai pengawas jaminan kesehatan dengan tegas menolak pemberlakuan KRIS. Bahkan berpotensi ada pengerahan aksi bersama pekerja, masyarakat, dan mahasiswa, jika pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan KRIS.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post