Kejadian memilukan ini terjadi di Desa Cibunar, Tarogong Kidul. Berdasarkan pantauan Prohealth.id, fenomena ini sempat mengundang komentar negatif dari netizen. Salah satunya adalah menggugat alasan seorang ibu bisa membunuh anaknya.
Sampai dengan Kamis, 21 April 2022, pihak kepolisian yang menangani kasus ini menemukan ada indikasi pelaku yang juga korban mengalami masalah depresi. Selain itu, kepolisian juga menemukan indikasi adanya tekanan batin yang dialami korban karena sang suami diduga berselingkuh.
Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat di Seoul National University, dr. Irina Aulianissa menjelaskan, kasus pembunuhan anak dan bunuh diri seorang ibu sangat mungkin akibat akumulasi depresi pasca melahirkan. Dia menjelaskan, ketika seorang ibu baru pertama kali melahirkan, para ibu kerap mengalami sindrom ‘baby blues’. Sindrom ini tergolong depresi ringan yang identik dengan mood swing ibu yang berlangsung beberapa hari sampai dua minggu pasca melahirkan.
“Ini bisa dibagi berdasarkan durasi. Baby blues itu ada yang beberapa hari sampai dua minggu. Kalau tidak diketahui dan tidak ditangani lebih lanjut akan mungkin bergeser jadi postpartum depression selama 3 bulan, 6 bulan, bahkan bertahun,” tutur dr. Irina yang akrab disapa dr. Icha.
Kondisi postpartum depression jika selama bertahun-tahun tak berhasil diatasi, maka kondisi mental seseorang akan bertambah parah dan menyebabkan psikosis postpartum. Keadaan depresi jenis psikosis postpartum ini biasanya membuat si penderita tidak hanya tertekan secara pribadi, bahkan bisa berhalusinasi, merasa mendengar bisikan gaib, melihat sesuatu yang tak terlihat alias mengalami delusi.
Dia menyebut hampir 70 persen perempuan di Indonesia mengalami baby blues pasca melahirkan. Untuk mengatasi ini, peran suami dan keluarga inti sangat penting. Misalnya; orang tua pasien maupun mertua. Sebaliknya, jumlah penderita postpartum depression di Indonesia relatif lebih sedikit.
“Kalau depresi atau baby blues, tidak ada psikosis, maka dia (penderita) tidak ada gangguan-gangguan yang bersifat parah, masih bisa untuk diobati, dan tidak perlu pakai pengobatan lebih lanjut, hanya dukungan keluarga atau suami saja,” lanjut dr. Irina.
Belajar dari kasus bunuh diri seorang ibu, dr. Irina menegaskan bahwa indikasi depresi baby blues, postpartum depression, dan sindrom psikosis postpartum sangat mungkin terjadi akibat lingkungan keluarga dan orang terdekat yang tidak peduli dan abai. Hal ini kerap terjadi karena rata-rata para support system bahkan menganggap kondisi letih, mood-swing, dan emosi berlebih para ibu baru sebagai hal biasa dan bukan masalah kejiwaan. Bahkan, selama bekerja di Puskesmas, dr. Irina kerap menemukan keluarga pasien yang menilai kondisi kejiwaan ini karena kesurupan, ibu muda diguna-guna atau terkena pelet sehingga solusi adalah lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa. Padahal kondisi gangguan mental ini tidak bisa selesai dengan cara demikian.
“Taraf paling parah akhirnya dari masalah kesehatan mental yang menyebabkan kematian ya suicide ini. Bunuh diri,” terang dr. Irina.
PERNAH MENGALAMI BABY BLUES
Menjadi seorang dokter atau psikolog pun belum tentu bisa bebas dari kerentanan awal menjadi seorang ibu. Adapun dr. Irina mengaku pada saat melahirkan bayi pertama, dia pun mengalami beberapa saat sindrom baby blues.
Dia mengenang, saat pertama kali melahirkan, dia sedang bertugas keluar kota bersama suami yang juga seorang dokter. Ketika harus melahirkan di kota perantauan, tanpa keluarga dekat, dr. Irina pun mengaku kesulitan untuk menjaga kesehatan batin dan mental. Dia harus menangis berkali-kali karena air susu ibu (ASI) tidak keluar. Dia pun kesulitan untuk mencari waktu makan, mandi, bahkan sholat pun sulit karena harus mengurus bayi sendirian ketika waktu bentrok dengan suami yang harus bekerja di klinik.
“Padahal saya sebelum melahirkan sudah berkali-kali membantu ibu hamil, mengajar mereka menyusui, begitu saya sendiri merasakan, ternyata begini rasanya jadi ibu yaa. Ini adalah pelajaran utama dari Tuhan, rasanya kayak begini,” ungkapnya.
Tak sendirian, Psikolog Klinis Naomi Ernawati Lestari juga mengakui hal serupa. Ketika baru pertama kali menjadi seorang ibu, Naomi mengalami baby blues berupa mood swing yang membuat dia lebih emosional dari biasanya. Untung saja, suami dan orang tua menyadari kondisi tersebut sehingga sangat membantu Naomi untuk lekas pulih dari persalinan dan perasaan kaget atau baru memiliki anak.
“Saya pun mengalami baby blues. Sehingga begitu saya sangat lelah, saya dikasih tidur oleh keluarga. Lalu bergantian suami yang bangun malam hari untuk berjaga. Sayangnya apa yang saya alami ini tidak banyak keluarga bisa dan mengerti kondisi ini. Belum lagi ada keluarga yang sulit memahami kebutuhan ibu. Jadi kalau dia (ibu) sendiri, dan dia tidak punya orang untuk berbagi saya menganjutkan tetangga dan teman-teman untuk rutin menanyakan jikalau dia butuh bantuan,” terang Naomi.
PENTINGNYA PERAN AYAH
Berangkat dari pengalaman dan studi empiris dunia kesehatan tentang depresi pasca melahirkan, Naomi menegaskan pentingnya peran ayah untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak.
“Peran suami, keluarga sangat penting menghadapi ibu yang sedang mengalami pergolakan pasca melahirkan. Misal, ibu mulai marah, lelah. Ibu harus tidur, bapak yang gantikan popok anak. Jadi harus dibiasakan pembagian waktu kerja bapak, waktu me time untuk ibu,” tutur alumnus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Pembagian waktu ini sangat penting mengingat kebijakan di Indonesia belum mengakomodasi cuti ayah untuk bisa mendampingi ibu lebih lama. Misalnya, cuti melahirkan untuk ibu totalnya 6 bulan, sementara untuk ayah, rata-rata masih 3 hari saja.
Kondisi ini kata Naomi masih diperparah dengan tingginya stigma patriarkis di kalangan masyarakat. Sebut saja misalnya; para ayah bertugas mencari nafkah sementara ibu mengurus rumah tangga dan anak. Dengan begitu, ayah seolah mendapat hak khusus bebas dari pengasuhan anak.
“Jadinya ibu seolah tidak boleh marah, tidak boleh merasa capek mengurus anak. Sementara ayah pergi ke kantor, balik bekerja bisa istirahat begitu terus. Ibu tidak bisa juga marah karena mengurus anak. Akibatnya, perempuan rentan dengan guilty feelings,” ungkap Naomi.
Adapun perasaan guilty feeling ini terjadi ketika para ibu saling membandingkan diri mereka. Contohnya, jika ibu itu bisa, aku harus bisa. Kondisi ini juga membuat para ibu berlomba untuk menjadi ibu sempurna. Jika ibu tersebut tidak berhasil, maka kondisi akan semakin parah karena menimbuhkan masalah berupa luka pada self-esteemnya.
Naomi menambahkan, kondisi ini juga berlaku terkait kasus ibu membunuh anaknya. Di Indonesia pun support system buat ibu pasca masih kurang mendapatkan perhatian.
“Alhasil ketika ada kasus seorang ibu menyakiti anaknya, masyarakat hanya bisa bertanya, kok tega? atau mana ada ibu berpikiran begitu? Masyarakat tidak terbiasa melihat mengapa, kok seorang ibu bisa sampai tega menyakiti anaknya? Ini adalah dampak dari tuntutan yang tidak rasional diberikan kepada para ibu di Indonesia,” tutur Naomi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post