Jakarta, Prohealth.id – Kericuhan akibat konflik lahan di Rempang, Kota Batam pada Kamis (7/9/2023) lalu berimbas pada penembakan gas air mata oleh aparat keamanan.
Gas air mata yang ditembakan tidak jauh dari sekolah berdampak pada paparan gas air mata kepada anak-anak sedang melakukan kegiatan belajar. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerukan jangan ada lagi anak yang menjadi korban dalam konflik tersebut.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar mengatakan anak-anak tersebut tidak terlibat secara langsung dalam konflik lahan tersebut, tetapi menerima dampak sehingga perlu mendapatkan perlindungan khusus sebagai anak dalam situasi darurat. Hal itu diatur dalam Pasal 59 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Sangat disayangkan bentrokan tersebut berdampak ke lingkungan sekolah saat anak-anak sedang belajar dan menciptakan situasi mencekam sehingga mereka harus dievakuasi,” kata Nahar melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (12/9/2023).
Nahar mengatakan Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan sengketa bersenjata dan kerusuhan sosial”. Karena itu, aparat maupun Masyarakat seharusnya menjaga keamanan dan keselamatan anak agar tidak berada di lokasi konflik.
KemenPPPA telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Batam dan mengimbau proses belajar mengajar tetap dapat dilaksanakan meskipun sementara dilakukan secara daring hingga situasi kondusif. Unit Pelaksana Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPPA) Provinsi Kepulauan Riau dan UPTD PPA Kota Batam telah mengawal proses penanganan kasus tersebut dan memberikan pendampingan kepada anak yang terdampak.
“Semoga akar permasalahan dapat diselesaikan dengan baik dan anak-anak tetap dapat terpenuhi hak kesehatan dan hak belajarnya sserta berada dalam lingkungan yang aman dari segala bentuk kekerasan,” tuturnya.
Saat kejadian, diketahui anak-anak berlari berhamburan keluar sekolah untuk menyelamatkan diri. Beberapa diantara mereka terlihat menangis. Menurut Nahar, hal itu merupakan respons atas peristiwa buruk yang terjadi serta menunjukan mereka merasa panik dan ketakutan. Terdapat 11 anak yang sempat dilarikan ke RSUD Kota Batam karena mengalami perih pada mata, pusing, lemas, dan sesak nafas karena terkena gas air mata.
“Melihat apa yang terjadi, anak mungkin dapat mengalami trauma atau kecemasan setelah mengalami peristiwa tersebut. Karena itu, perlu ada pendampingan psikologis bagi anak yang terdampak untuk mencegak dampak psikologis yang berkepanjangan. Selain itu, perlu ada penguatan kepada sekolah dan orang tua untuk dapat mendukung pemuliha kondisi anak serta memperkuat pengawasan dan pelindungan kepada anak agar kejadian yang sama tidak terulang,” kata Nahar.
Nahar mendorong Pemerintah Kota Batam dan para pemangku kepentingan lainnya untuk mencegah konflik berulang dengan menemukan akar permasalahan dan memelihara kondisi damai di masyarakat, mengembangkan system penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik serta mengupayakan pemulihan pascakonflik terhadap para korban khususnya anak-anak.
Pemulihan pascakonflik dapat dilakukan dengan pemulihan psikologis korban konflik dan pelindungan kelompok rentan, pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban, perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian, serta penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan tindakan penembakan gas air mata yang menimbulkan korban kepada anak di bawah umur yang bukan pelaku kejahatan, tidak terlibat langsung dalam konflik yang terjadi karena sedang melakukan kegiatan belajar, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
“Karena itu, KPAI merekomendasikan DPRD Kota Batam dan organisasi lembaga masyarakat untuk mendesak proses hukum atas dugaan pelanggaran hukum oleh aparat. KPAI juga merekomendasikan Pemerintah Kota Batam membentuk tim independent untuk pencarian fakta atas dugaan pelanggaran hukum tersebut,” kata Jasra.
Jasra mengatakan terdapat sejumlah ketentuan hukum yang dilanggar.Pertama adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Menurut Pasal 10 huruf c, dalam melaksanakan tugas, setiap petugas/anggota Polri wajib memenuhi ketentuan berperilaku, yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan.
Aturan lain yang dilanggar adalah Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Dalam Pasal 15A disebutkan kekerasan adalah setiap perbuahan terhadap anak yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan//atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Menimbang aparat yang diduga melakukan penembakan gas air mata adalah profesional di bidangnya, yang mungkin beralasan tindakan yang dilakukan tidak ditujukan untuk warga sekolah dengan sengaja, maka tindakannya dapat dikatakan sebagai tindak kelalaian. Hal itu dapat merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Pasal 360 KUHP menegaskan barangsiapa lantaran kesalahan atau kelalaiannya membuat orang lain luka berat, dihukum penjara paling lama lima tahun atau hukuman kurungan paling lama satu tahun,” jelasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post