Menghadapi tantrum anak memang sangat menantang bagi orang tua. Hal ini mengingat kondisi tantrum bisa memicu kekerasan pada anak. Terutama ketika orang tua atau pengasuhnya tidak bisa mengerti dan mengenalinya.
Padahal ini merupakan suatu ledakan perilaku akibat anak tidak mampu meregulasi rasa frustasi yang ia alami. Bahkan bisa menunjukkan perilaku yang agresif. Umumnya tantrum yang normal atau tipikal itu terjadi di usia 12 bulan sampai 4 tahun.
Menurut dr. I Gusti Ayu Trisna Windiani dalam seminar media daring “Tantrum: Bagaimana Mencegah dan Mengatasinya?”, tantrum merupakan suatu perkembangan normal sesuai dengan usia anak. Namun bisa menjadi abnormal jika berlanjut sampai anak itu besar atau bahkan remaja.
“Sehingga inilah yang nanti perlu diatasi atau diberikan suatu intervensi,” katanya dalam kegiatan yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada Selasa, 23 April 2024 lalu.
Guna mengatasi tantrum pada anak maka orang tua atau keluarga harus mengerti perkembangan sosial atau emosional anak. Tahap perkembangan ini harus terbentuk dengan baik sesuai dengan usianya.
Ketika lelah, lapar, bosan, atau sakit maka tantrum hadir pada anak yang lebih kecil. Di samping bisa karena menginginkan, menolak sesuatu, maupun sekadar mencari perhatian.
Tantrum juga hadir pada anak yang mengalami autis, ADHD, disabilitas intelektual, atau gangguan bahasa akibat mereka tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Faktor lingkungan maupun pola asuh yang tidak baik juga bisa menimbulkan tantrum.
Ketua Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Departemen KSM Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini juga menyebutkan paparan gadget lebih dari 20 menit membuat sekitar 65, 1 persen anak mengalami temper tantrum.
“Karena penggunaan atau paparan gadget yang terlalu lama akan mengubah perilaku. Perilakunya jadi negatif. Terjadi gangguan dalam konsentrasi,” ungkapnya.
Kenali Tanda dan Gejala
Ungkapan tantrum pada anak itu biasanya berteriak lalu diikuti reaksi lain. Kalau tenaganya habis akhirnya mulai merengek. Pada momen inilah kemudian perlahan-lahan diberikan pengertian atau penjelasan.
Tanda dan gejala tantrum itu 86 persen anak akan menangis, 40 persen berteriak, 13 persen merengek. Juga bisa melempar barang, memukul, mendorong, menendang, maupun menggigit. Berat dan frekuensi serta lama tantrum itu akan berkurang seiring bertambahnya usia anak.
Jika tantrumnya sering maupun lama maka ini menjadi indikator terjadinya gangguan internalisasi, eksternalisasi, dan interpersonal. Oleh karenanya perlu intervensi atau penanganan oleh dokter.
Temper tantrum yang normal itu pada usia 12 bulan sampai empat tahun. Bila terus berlanjut usai empat tahun ini termasuk abnormal. Sekadar menangis, berteriak, menjatuhkan diri ke lantai, mendorong, atau menarik, masih tergolong normal. Namun kalau sudah menyakiti diri maupun orang lain ini termasuk abnormal.
Kejadian tantrum sampai dengan 15 menit masih normal. Namun lebih dari 15 menit merupakan abnormal. Kalau yang normal di sela-sela tantrum itu mood akan membaik kembali. Sedangkan yang abnormal itu mood tetap negatif sehingga cenderung menetap.
Oleh karena itu perlu diagnosis secara lengkap dari tenaga kesehatan dalam analisis riwayat tantrum. Lalu pemeriksaan fisik untuk mengetahui pencetusnya. Mungkin akibat sakit, infeksi, atau ada gangguan dalam tumbuh kembang anak.
Bahkan, pada kasus-kasus tertentu mungkin membutuhkan pemeriksaan laboratorium. Misalnya anak dengan keracunan timbal, hal itu bisa menyebabkan gangguan perilaku yang abnormal.
Jika tantrumnya abnormal maka tenaga kesehatan atau mungkin yang ahli di bidangnya akan bisa melakukan beberapa screening gangguan perilaku,” terangnya.
Beberapa instrumen sudah dimiliki terkait kebutuhan tersebut. Seperti Kuesioner Masalah dan Perilaku Emosional (KMPE), PSC-17, SDQ, MCHAT, ASQ maupun CBCL.
Cara Hadapi Anak Tantrum
Ketika anak tantrum maka orang tua atau pengasuhnya harus tetap tenang. Jangan membentak dan tetap melakukan komunikasi yang baik.
Sebagai contoh saat berkomunikasi, nada suara harus tenang. Kalau ikut bicara keras, maka anak itu akan meningkatkan dua kali kekuatan tantrumnya.
“Jadi itu suatu tanda atau kekhasan yang harus diperhatikan. Tenang dulu. Kasih anak waktu,” katanya.
Dokter spesialis anak ini menambahkan, jika sudah aman, si anak tidak membahayakan dirinya ataupun orang lain, maka abaikan tantrumnya. Mengabaikan tantrum anak tidak dalam artian mengabaikan anak tersebut.
Orang tua atau pengasuh hendaknya menanti tantrum anak hingga berhenti. Tindakan ini memberikan time out sehingga anak mengeluarkan energinya untuk tantrum.
Selain itu jangan goyah pada permintaan anak ketika tantrum terjadi. Kalau sampai goyah maka anak akan mengingat kejadian jika ingin meminta sesuatu maka ia perlu tantrum dulu.
Dr. I Gusti Ayu Trisna Windiani juga mengingatkan orang tua harus menjadi hoster care yang baik. Ketika ada perbedaan pendapat dengan pasangan atau antar suami istri hendaklah jangan berdebat di depan anak. Lalu senantiasa melakukan rutinitas sehari-hari dengan disiplin seperti kapan waktu makan, tidur, maupun rekreasi.
Orang tua senantiasa menjadi pendengar yang baik sehingga anak mempunyai kesempatan untuk berbagi perasaan. Karena itu intervensi atau penanganan tantrum pada anak mempunyai efek yang besar ketika melibatkan orang tua atau multikomponen, jangan hanya menangani anaknya.
Sedangkan untuk pelatihan keterampilan mengatasi anak tantrum maupun multimodal lebih mengurangi perilaku agresi dan melatih kemampuan sosialnya.
“Jangan lupa kalau terjadi tantrum yang abnormal rujuklah ke tenaga profesional,” tutup Anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI ini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post