Jakarta, Prohealth.id – Virus HMPV atau Human Metapneumovirus bukanlah virus baru.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kedokteran Praklinis dan Klinis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Telly Purnamasari Agus mengatakan bahwa virus ini pertama kali ada pada tahun 2001. Penemuanya adalah ilmuwan virologi yang menemukan HMPV dari sampel pasien yang menderita penyakit saluran pernapasan.
Telly menjelaskan, HMPV masuk kategori penyakit re-emerging karena sudah ada sebelumnya. Untuk karakteristiknya, HMPV merupakan virus RNA tunggal.
“Bentuk strukturnya adalah struktur helix seperti bola begitu. Di luarnya memiliki membran protein yang ini terkait nanti dengan infeksi,” ungkap Telly melalui keterangan tertulis, Jumat, 24 Januari 2025 lalu.
Virus ini memiliki dua subtipe utama, yaitu subtipe A dan B, masing-masing dengan dua subgrup. Subtipe A lebih berkaitan dengan wabah dan menunjukkan gejala gangguan pernapasan yang lebih berat daripada subtipe B.
“Subtipe B biasanya lebih banyak ditemukan pada musim dingin atau gugur,” tambahnya.
HMPV menjadi perhatian baru-baru ini akibat peningkatan kasus di beberapa negara. Bahkan dalam laporan WHO hal ini telah memicu kewaspadaan global.
“Meskipun fatality rate-nya kecil, kita tidak bisa meremehkan penyakit ini. Waspada dan menerapkan langkah pencegahan seperti menjaga kebersihan dan memperkuat imunitas sangat penting untuk mencegah penyebaran,” tuturnya.
Lebih jauh, Telly juga menambahkan bahwa surveilans epidemiologi perlu ada penguatan di tingkat sekolah dan puskesmas untuk melacak penyebaran HMPV.
“Kita memerlukan surveilans yang berkesinambungan agar dapat memantau data secara real-time. Hal ini penting untuk merancang kebijakan pencegahan berbasis data,” jelasnya.
Penelitian Terkait HMPV
Telly juga menjelaskan bahwa secara global, penelitian tentang HMPV sudah berlangsung lama. Di luar negeri, riset mencakup studi epidemiologi, klinis, dan pengembangan vaksin, meskipun hingga kini vaksin HMPV belum tersedia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa HMPV sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan berat, terutama pada anak-anak dan kelompok rentan lainnya.
Penelitian di negara-negara seperti Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia menunjukkan bahwa HMPV adalah salah satu penyebab utama infeksi saluran napas berat setelah TBC. Sebagian besar anak-anak yang yang mendapat perawatan di rumah sakit dengan infeksi saluran napas ternyata terinfeksi HMPV.
Studi di Jepang mengungkapkan bahwa HMPV sering ada bersamaan dengan virus lain pada pasien. Sampai saat ini, belum ada pengobatan khusus atau vaksin untuk HMPV. Saat ini tersedia terapi bersifat sintomatik, seperti pemberian antipiretik untuk demam atau rehidrasi untuk mengatasi dehidrasi. Penelitian di Australia sedang mengevaluasi efektivitas terapi sintomatik untuk HMPV serta kemungkinan pengembangan terapi spesifik.
Di Indonesia, penelitian mengenai HMPV masih terbatas. Menurut Telly, terdapat peluang besar untuk mengembangkan riset dalam berbagai aspek.
“Kita perlu meneliti faktor risiko, prognosis, hingga pola penyebarannya dengan mempertimbangkan karakter geografi Indonesia. Selain itu, penelitian klinis terkait efektivitas terapi simptomatik atau pengembangan obat dan vaksin sangat diperlukan,” ujarnya.
Terkait vaksin, Telly menyebutkan bahwa saat ini belum ada vaksin khusus HMPV yang dikembangkan di Indonesia. Namun, ia optimistis bahwa BRIN dapat memimpin upaya ini.
Belajar dari pengembangan vaksin COVID-19, cara mempercepat prosesnya adalah dengan dukungan dan kolaborasi yang kuat. Selain vaksin, pengembangan alat diagnostik seperti rapid test juga perlu agar daerah terpencil dengan fasilitas kesehatan terbatas dapat mendeteksi HMPV secara cepat.
Terlebih, dengan adanya BRIN yang saat ini memiliki critical mass yang sangat kuat. Telly menjelaskan bahwa Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis BRIN memiliki tiga kelompok riset utama. Pertama, Kelompok Riset Kedokteran Regeneratif – Berfokus pada pengembangan teknologi stem cell.
Kedua, Teknologi Kesehatan dan SDM Kesehatan yang berfokus mengembangkan teknologi inovatif di bidang kesehatan. Ketiga, Kedokteran Klinis yang berfokus melakukan penelitian kolaboratif dengan rumah sakit untuk memahami dan mengatasi berbagai penyakit klinis.
Oleh karena itu, Telly menyoroti pentingnya penelitian terkait HMPV di Indonesia. Menurutnya, penelitian ini masih sangat minim.
“Kita perlu mengetahui apakah subtipe HMPV yang beredar di Indonesia adalah tipe A, tipe B, atau bahkan ada mutasi baru. Penelitian ini akan membantu kita mengidentifikasi faktor risiko dan merancang langkah pencegahan yang lebih efektif,” ujarnya.
Maka dari itu, Telly juga menjelaskan bahwa penelitian kolaboratif antara fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dengan unit penelitian (CRU), dan peneliti BRIN dapat menjadi langkah strategis untuk memahami lebih jauh tentang HMPV. Ia pun mendorong adanya kolaborasi antara BRIN dan berbagai pihak, baik nasional maupun internasional, untuk mendalami penelitian HMPV.
“Potensi penelitian masih sangat luas, termasuk dampak ekonomi dan psikososialnya. Ini peluang besar bagi peneliti di Indonesia untuk berkontribusi,” tandasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post