Jakarta, Prohealth.id — Presiden Joko Widodo akhirnya membatalkan vaksin berbayar atau Vaksin Gotong Royong yang semula akan disalurkan melalui Kimia Farma, untuk selanjutnya digratiskan untuk semua. Keputusan itu diambil setelah mendapatkan masukan dan respons dari masyarakat.
Koalisi Warga Akses Kesehatan menilai hal itu belum bisa dijadikan rujukan selama Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 tidak dicabut. Sebelumnya, pemerintah berencana membuka jalur vaksin berbayar mandiri atau Vaksinasi Gotong Royong melalui PMK yang sama.
“Kami khawatir PMK itu akan diberlakukan lagi di masa mendatang, jika tidak dicabut. Sangat mungkin diberlakukan ketika kita lengah,” kata Asfinawati yang merupakan perwakilan koalisi, dalam konferensi pers yang disiarkan daring, Minggu (18/7/2021).
Oleh karena itu, Asfinawati menegaskan bahwa koalisi akan tetap menggugat PMK No.19/2021 sehubungan dengan kebijakan vaksin Covid-19 berbayar. Hal itu dinilai sebagai biang masalah, ditambah lagi aturannya juga belum resmi dibatalkan.
“Kami telah bersiap-siap untuk menggugat, karena ini sangat penting dilakukan,” kata Asfinawati.
Selanjutnya koalisi akan mengawal agar pembatalan dan pencabutan PMK No.19/2021 segera dilaksanakan karena dianggap tidak konsisten untuk melindungi masyarakat, seiring aturan yang juga berubah-ubah.
Sebelumnya, Permenkes No.84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vasinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 telah menjamin bahwa penerima vaksin Covid-19 tidak dipungut biaya.
Kemudian aturan tersebut diubah melalui Permenkes No.10 Tahun 2021, di mana badan hukum atau badan usaha dapat melaksanakan vaksinasi Covid-19 berbayar melalui program vaksin gotong royong untuk individu.
Tak berhenti sampai di situ, perubahan aturan kembali terjadi melalui Permenkes No.19 tahun 2021, yang salah satu pasalnya menyebutkan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kepada individu yang pendanaannya dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) itu menyoroti pengadaan vaksin Covid-19 yang berbayar jauh dari rasa keadilan dan mencederai kemanusiaan.
“Kalau kita lihat PMK ini revisi dari sebelumnya dimana kegiatan vaksinasi tetap berbayar. Karena itu, semua PMK harus dicabut untuk menegaskan bahwa vaksin adalah hak setiap warga negara dan diberikan gratis,” tegasnya.
Staf Penanganan Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Dominggus Christian mengatakan koalisi akan tetap mengawal instruksi Presiden Jokowi soal vaksin Covid-19 gratis. Termasuk juga soal bagaimana kebijakan itu diterjemahkan dengan baik oleh jajaran dibawahnya.
“Apa yang dikatakan di level atas perlu dikawal, karena seringkali pelaksanaannya di lapangan berbeda,” kata Dominggus.
Ketika publik mengetahui bahwa kebijakan elite kerap tidak sinkron dengan yang terjadi di lapangan, maka pilihan yang tersisa hanyalah menyiapkan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung.
“Kami akan menggugat Permenkes dan juga membuka pintu partisipasi luas masyarakat dalam permohonan uji materi tersebut,” katanya.
Menurut Dominggus, setiap orang dapat memanfaatkan haknya sebagai warga negara, agar pemerintah mengahasilkan kebijakan terbaik dalam mengatasi pandemi Covid-19. Oleh karena itu, publik berhak untuk mempertanyakan kebijakan vaksin berbayar.
“Vaksin berbayar cukup aneh, karena pandemi belum selesai. Sementara itu, banyak masyarakat yang belum dapat vaksin,” ungkap Dominggus.
Sementara terkait syarat yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan vaksin, menurut Dominggus hal itu berpotensi melanggar HAM. “Ini menjadi potensi pelanggaran HAM sendiri ketika harus daftar, padahal itu adalah hak setiap warga negara”, ujarnya.
Senada dengan hal itu, Manajer Program Lokataru Foundation Mirza Fahm menilai urgensi untuk mencabut Permenkes tentang vaksin berbayar sangat tepat. Pasalnya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering berubah-ubah dan tidak konsisten.
“Pemerintah sering bilang a, b, c trus memberikan kebijakan yang juga berbeda. Pada akhirnya kita sebagai masyarakat menjadi bingung”, katanya.
Mirza juga menyinggung soal respons permintaan maaf pemerintah kepada seluruh masyarakat terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang dinilai belum optimal. Menurutnya, upaya pemerintah menekan penularan Covid-19 layak diapresiasi, namun upaya permintaan maaf seharusnya dilakukan sejak tahun lalu.
“Gestur yang langka, pemerintah minta maaf soal pandemi seharusnya sejak Maret tahun lalu, bukan sekarang,” kata Mirza.
Sementara terkait dengan kebijakan vaksin berbayar, Mirza menilai hal itu sebagai bentuk pengabaikan negara atas hak kesehatan warganya. Uniknya, kebijakan yang dikeluarkan juga kerap berubah seiring waktu, namun esensinya tetap sama.
“Saya melihat yang terjadi kemudian, hanya perpanjangan dari kebijakan awal yang tetap mangakomodir vaksin berbayar,” terang Mirza.
Selanjutnya Mirza menilai, permerintah tidak kompeten dalam menangani pandemi Covid-19. Tidak hanya itu, pemerintah juga terkesan oportunistis dalam menjalankan pemerintahan.
“Buktinya, saat masyarakat kewalahan menyelamatkan diri, ternyata ada agenda susupan seperti Omnibus Law. Setlah itu ada bansos dikorupsi, lalu vaksin berbayar. Akhirnya semua semakin runyam,” kata Mirza.
Perwakilan Indonesia Global Justice (IGJ) Agung Prakoso juga mengeluhkan hal serupa. Agung menilai upaya pemerintah menggenjot pengadaan vaksin tidak berbanding lurus dengan faktanya yang terjadi di lapangan.
“Kegiatan vaksinasi masih sangat terbatas di sejumlah daerah. Ada ketimpangan di Jawa dan di daerah lain. Ini membuktikan bahwa vaksin masih sangat diperlukan,” katanya.
Di sisi lain, Indonesia belum mampu memproduksi alat-alat fasilitas kesehatan yang dibutuhkan dalam penanganan dan pencegahan Covid-19. Indonesia masih terrgantung dari sejumlah perusahaan besar di luar negeri.
“Sejak pandemi, penanganan Covid-19 masih dimonopoli oleh sejumlah perusahaan besar, mulai dari obat, ventilator, oksigen, hingga tes kit. Akibatnya kita sangat tergantung dari pihak luar”, kata Agung.
Ketika pemerintah menggencarkan kegiatan vaksinasi, Agung menganggap hal itu sebagai kewajiban negara dan vaksinasi seharusnya gratis. “Vaksin menjadi barang publik, sehingga harus bebas, gratis,” katanya.
Belakangan pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang vaksin berbayar dengan beberapa pertimbangan. Agung menilai hal itu melanggar praktik berkeadilan dan membuat negara ini sulit keluar dari pandemi jika ditambah lagi dengan kebijakan vaksin berbayar.
“Landasan vaksin yang berubah-ubah dengan hadirnya Permenkes yang tidak konsisten, membuat masyarakat bingung,” kata Agung.
Menurut Agung, pernyataan saja tidak cukup untuk menyatakan vaksin bisa diakses publik secara gratis. Itu sebabnya, pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab, termasuk saat mengutarakan opsi berbayar ke masing-masing individu.
“Pemerintah harus berani menanggalkan kepentingan bisnis, karena jika tidak, maka pemerintah tidak konsisten dan tidak mendapat kerpercayaan publik,” terang Agung.
Agung kemudian mengusulkan agar pemerintah mulai menyiapkan industri nasional terkait vaksin. Sudah saatnya Indonesia tidak lagi tergantung dari nagara-negara lain. Namun untuk jangka pendek, kebutuhan akan obat-obatan, ventilator, tabung oksigen hingga tes kit massal tetap perlu diutamakan.
“Ini penting agar kita tidak terjebak dan tidak tergangung pada produsen pemegang merk karena kesehatan merupakan hak publik dan harusnya masyarakat tidak terbebani oleh hal itu,” pungkas Agung.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post