Ada yang berbeda di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah sejak tahun 1999. Hamparan kebun kopi dan tanaman hortikultura kini menyesaki lereng Gunung Sindoro perbatasan Temanggung-Wonosobo yang dulunya ditanam tembakau.
Ketua Kelompok Tani Margorahayu Temanggung Yam Yamidi mengamini jika mereka tidak lagi hanya menanam satu jenis komoditas saja. Itu dilakukan sebagai bentuk antisipasi, jika sewaktu-waktu harga tembakau anjlok.
“Kami mulai penganekaragaman tanaman, sehingga dalam 1 lahan tidak hanya ditanami tembakau, tetapi dipadukan dengan tanaman kopi dan tanaman holtikultura lainnya,” kata Yam Yamidi dalam seminar daring bertema Nasib Petani Tembakau pada Jumat (25/6/2021).
Karena itu, jangan heran jika dalam satu hamparan akan ditemukan beberapa jenis tanaman. “Kami mewajibkan minimal 4 komoditas yang bisa dipanen dalam satu tahun,” katanya.
Belakangan model pertanian yang dikerjakan Kelompok Tani Margorahayu banyak ditiru oleh kelompok tani dari wilayah lain. Apa yang mereka kerjakan kemudian menjadi program unggulan Provinsi Jawa Tengah.
“Bahkan ada beberapa daerah lain di Indonesia yang mulai meniru program yang ada di desa kami,” ucap Yam.
Yam mengatakan, ada beberapa alasan mengapa mereka melakukan pola pertanian tumpang sari. Terbatasnya jumlah petani, tenaga kerja, serta fluktuasi harga hasil tembakau menjadi jawabannya. “Apalagi yang namanya tembakau sangat tergantung sekali dengan cuaca, juga berkaitan dengan buka tutupnya pabrikan,” ungkap Yam.
Selama ini, menurut Yam, tembakau yang mereka tanam akan dibeli oleh industri tembakau antara bulan Agustus hingga Oktober. Sehingga dalam jangka waktu itu, para petani diharapkan telah memanen tembakaunya.
“Kalau panen sebelum Agustus, atau panen setelah Oktober, itu jelas tembakaunya sudah tidak laku,” katanya.
Oleh karena itu, Yam bersama kelompok taninya mencari terobosan agar para mereka bisa memiliki penghasilan, selain tembakau. “Sehingga boleh dibilang, tembakau hanya sebagai tabungan,” ujar Yam.
Jika cuaca kurang mendukung, kelompok tani masih memiliki hasil lain, seperti kopi dan sayuran. Sedangkan jika telat panen (setelah Oktober), mereka tidak merugi terlalu banyak.
Kelompok tani juga punya metode unik dalam memperlakukan produksi daun tembakau. Biasanya, 10 persen dari hasil panen akan dirajang halus untuk dijadikan Tingwe. Tingwe adalah aktivitas menggulung kertas papier secara mandiri yang sudah dibubuhi tembakau.
“Sehingga jika harga pabrikan turun, petani masih bisa menjual tembakaunya dengan model rajangan (Tingwe) yang harganya masih menguntungkan,” kata Yam.
Tak hanya itu, mereka juga berinovasi menghasilkan pestisida dari daun tembakau yang tidak laku. “Biasanya daun tembakau yang paling bawah disimpan, kemudian digunakan sebagai pestisida alami,” ujarnya.
Saat melakukan sejumlah terobosan, pendapatan petani Margohayu terus membaik. “Walaupun cuma sedikit, alhamdullilah ada terus. Sehingga jika dibilang sejahtera, mungkin bisa. Buktinya semua petani ke kebun sudah tidak ada yang jalan kaki,” ungkap Yam.
Sementara terkait kenaikan cukai rokok, Yam menilai hal itu tidak berdampak signifikan. “Hal itu justru berpengaruh bagi masyarakat diluar desa kami,” katanya.
Petani diluar Kelompok Tani Margorahayu menganggap aturan kenaikan cukai berpotensi merugikan mereka. “Karena mereka tidak ada hasil lain selain tembakau,” tegas Yam.
KISAH PILU DARI LOMBOK TENGAH
Hal berbeda justru dialami petani tembakau di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Para petani tembakau swadaya mengaku terus merugi sejak awal tahun ini.
Jopi Hendrayani, petani tembakau yang juga Ketua Asosiasi Petani Tembakau Swadaya Lombok (APTSL) mengatakan tembakau Virginia Lombok yang dikenal sebagai salah satu tembakau terbaik di dunia, ternyata tidak memberi dampak terhadap penghasilan mereka.
Alasannya, tembakau jenis Virginia yang masuk ke pabrik kebanyakan berasal dari produksi petani yang menjadi mitra perusahaan. Sementara petani tembakau swadaya, seperti Jopi seringkali tidak punya posisi tawar.
Untuk masuk ke industri, tidak mudah. Ada sejumlah prasyarat yang mesti dipenuhi, seperti ketersediaan lahan minimal 1 hektare hingga kelengkapan alat pengering.
“Untuk masuk ke industri, kami kayak ujian anak sekolah, sementara kami di Lombok ini terbatas lahannya. Orang yang lahannya di bawah 1 hektare gak bisa masuk ke industri,” terang Jopi.
Selama ini, kegiatan menanam tembakau dilakukan secara turun temurun. Sejak berprofesi sebagai petani di tahun 1999, Jopi mengeluhkan soal buruknya kesejahteraan mereka. Modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penghasilan.
“Kalau petani mitra mungkin agak sejahtera sedikit. Namun bagi petani swadaya, kata sejahtera itu hanya mimpi,” katanya.
Jopi mengatakan demikian, karena hingga saat ini, tidak ada regulasi yang dibuat untuk melindungi petani tembakau swadaya. Bahkan untuk kebutuhan pupuk dan obat-obatan, mereka terpaksa beli sendiri.
Satu-satunya cara yang tersisa hanyalah melalui kelompok tani. Namun, di kelompok tani, ada pembatasan jumlah pupuk dan obat-obatan yang diberikan. Tidak selalu pupuk dan obat-obatan itu mencukupi kebutuhan mereka.
Selain itu, tidak semua petani swadaya tergabung di dalam kelompok tani. “Banyak yang tidak terdaftar. Sementara di kelompok tani harus punya lahan dulu, sedangkan disini banyak yang sudah jual lahan karena kerugian tembakau itu,” ungkap Jopi.
Jopi juga menyesalkan buruknya penentuan harga dasar tembakau. Semua ditentukan oleh industri tembakau. Akibatnya, petani merelakan jika tembakaunya ditawar murah.
“Saya melihat pemerintah di Lombok, NTB kurang greget untuk menentukan harga tembakau khususnya milik petani swadaya,’ katanya.
Jopi menambahkan, dari sisi pendapatan daerah, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) ternyata cukup tinggi. Hanya saja, dana itu tidak seluruhnya digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan petani tembakau.
Tahun lalu, Provinsi Nusa Tenggara Barat mendapatkan dana Rp295 miliar dari DBHCHT. Namun Lombok Tengah menerima tidak lebih dari 20 persen. Itu pun tak sepenuhnya untuk petani.
“Kami tidak tahu alokasi DBHCHT dimana sampai detik ini. Setelah kita lihat, ternyata ada dana DBHCHT yang digunakan untuk Pokir dewan,” katanya.
DBHCHT yang seharusnya digunakan untuk peningkatan fasilitas layanan kesehatan dan jaminan sosial, juga tidak terlihat. “Kami sebagai petani swadaya di Lombok ini bisa hidup, bisa sehat karena kerja keras kami sendiri,” ungkap Jopi.
Sepengetahuan Jopi, 50 persen DBHCHT diperuntukkan bagi pemberdayaan dan peningkatan skil petani tembakau. Sisanya baru untuk kesehatan, pendidikan, atau pembangunan infrastruktur.
“Sedangkan kami selaku petani swadaya tidak pernah mendapatkan dana DBHCHT,” katanya.
Penggunaan DBHCHT yang terpantau hanyalah pembangunan irigasi. Irigasi dibutuhkan, karena Desa Beleka di Kecamatan Praya Timur, yang merupakan kampungnya Jopi membutuhkan air yang stabil untuk pertumbuhan tembakau.
Namun karena saluran irigasi jumlahnya terbatas, warga meminta dibuatkan sumur bor yang dekat dengan lahan pertanian mereka. “Ini sudah kami minta sejak lama, tapi tidak pernah dikabulkan. Padahal kami perlu agar bisa menanam selain tembakau,” kata Jopi.
Jika petani tembakau di Temanggung mampu melakukan tumpang sari, petani di Lombok Tengah kesulitan melakukan hal itu. Pengalaman yang minim dihantui kerugian membuat mereka enggan beralih ke komoditas lain.
“Dulu pernah kami coba tanam yang lain, tapi karena tidak ada pangsa pasar yang jelas, sehingga petani lebih merugi,” ujar Jopi.
Karena itu, Jopi mengharapkan peran pemerintah pusat dan daerah agar mereka bisa bangkit, termasuk tidak hanya mengantungkan hidup pada pertanian tembakau semata.
“Kami bingung mau mengeluh kemana. Kami ke pemerintah tidak diterima, apalagi mau masuk ke industri. Lantas siapa yang menjadi orangtua kami?” pungkasnya.
KONDISI RIIL PETANI TEMBAKAU
Beberapa waktu lalu, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian mengatakan bahwa revisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tidak mendesak dilaksanakan terutama di masa pandemi Covid-19 saat ini.
Alasannya, banyak keluarga yang bergantung pada industri hasil tembakau (IHT). Di tahun 2020, kinerja IHT dinilai turun hingga 9,7 persen akibat kenaikan cukai dan dampak pandemi Covid-19.
Peneliti dari Lembaga Demografi FEB UI Nurhadi membantah alasan yang menyebut revisi PP 109 akan merugikan petani. Pasalnya, sejak tahun 1990 – 2019 luas lahan tanaman tembakau selalu berfluktuasi. Lahan terluas terjadi di tahun 2000 dan setelahnya terjadi penurunan secara gradual.
Saat ini, meskipun hanya ada tiga provinsi yang secara dominan memiliki luas lahan tembakau, yakni; Jawa Timur, Jawa Tengah dan NTB, namun tren produksi tembakau juga berfluktuasi.
“Ada kenaikan dari tahun 1985 sampai 2012, tapi setelah itu kecenderungannya menurun. Tahun 2019 sekitar 182.146 ton produksi tembakau kita,” kata Nurhadi.
Dari sisi jumlah petani, Nurhadi menilai angkanya terus naik sejak 1996 hingga 2019. Konsisten jumlahnya sekitar 500 – 600 ribu petani.
“Jika dibandingkan dengan penelitian dari industri rokok yang mengklaim jumlahnya 1.7 juta pekerja, ternyata data resmi Kementerian Pertanian hanya 500-600 ribu orang,” tegas Nurhadi.
Kaitannya dengan harga tembakau kering, sebagaimana data Kementan, Nurhadi mencatat ada kenaikan dari Rp45 ribu per kilogram, menjadi Rp54 ribu per kilogram. Harga tembakau tergantung pada jenis dan kualitas daun tembakau yang ditentukan oleh pabrik rokok melalui grader.
“Seperti kasus petani tembakau di Lombok, posisi tawarnya rendah karena tidak bisa bernegoisasi dengan grader. Mereka menerima saja harga yang ditentukan grader,” ujar Nurhadi.
Ini membuktikan bahwa sebelum usulan revisi PP 109 menguat, kehidupan petani tembakau berada pada kondisi terburuk, sementara industri rokok mampu bertahan dengan sejumlah invovasi, termasuk melakukan impor tembakau.
Nurhadi menyebut, Indonesia masih mengimpor tembakau dalam jumlah besar. Pada tahun 1990 – 1917, impor tembakau yang jika dihitung dengan dolar jumlahnya pada 2017 hampir US$500 juta. “Ini cukup besar,” katanya.
Tembakau yang diimpor adalah jenis Virginia, Oriental dan Burley. Ini jenis tembakau yang belum banyak dibudidayakan oleh petani. “Bisa karena faktor tanah, teknologi atau bibit yang belum bisa diproduksi petani,” terang Nurhadi.
Jenis yang banyak ditanam di Indonesia hanyalah tembakau lokal, seperti: Asepan, Rajangan, Garangan, Virginia, Vorstenland, Vike, Besuki dan Lumajang yang ternyata belum mencukupi kebutuhan industri tembakau.
Baik petani di Lombok maupun Temanggung, menurut Nurhadi selalu mengikuti pola penjualan yang sama. Pertama-tama, petani menjual ke pedagang perantara, kemudian dari perantara ke tengkulak baru masuk ke gudang.
Di gudang akan diseleksi oleh grader. “Sistem ini menyulitkan petani untuk langsung ke pabrik rokok. Diceritakan, kalau pun langsung ke gudang, harganya pasti lebih murah,” katanya.
Senada dengan Nurhadi, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemnaker Yuli Adiratna mengakui, andil dari total tenaga kerja pertanian dan industri tembakau terhadap total penduduk yang bekerja tahun 2017 sebesar 1,17 persen dan mengalami penurunan menjadi 1,06 persen pada tahun 2018.
“Walaupun secara total andilnya mengalami penurunan, namun tenaga kerja di industri tembakau mengalami kenaikan hampir 12 ribu orang berdasarkan data BPS,” katanya.
Untuk mengetahui tentang petani, buruh tani dan industri tembakau, Yuli menegaskan perlunya pemahaman dasar. Pertama tentang tenaga kerja pertanian tembakau. Mereka adalah tenaga kerja yang bekerja pada perkebunan tembakau antara lain; petani tembakau dan pekerja/buruh perkebunan tembakau.
Kedua, tenaga kerja industri tembakau yakni pengusaha dan pekerja/buruh di industri pengolahan tembakau.
Terakhir tenaga kerja pada rantai penjualan hasil tembakau. “Mereka adalah pengusaha dan pekerja/buruh di rantai penjualan hasil tembakau (iklan, penjualan),” kata Yuli.
Yuli menambahkan, jika dikaitkan kondisi tenaga kerja pada pertanian dan industri tembakau menurut jenis kelamin dan klasifikasi wilayah pada tahun 2017 – 2018, ditemukan proporsi tenaga kerja laki laki pada pertanian tembakau lebih tinggi dibandingkan perempuan sekitar 14 persen, namun lebih rendah dibanding perempuan sekitar 31 persen pada industri tembakau.
Sesuai dengan karakter wilayahnya, jumlah tenaga kerja pertanian tembakau Lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan. “Sedangkan jumlah tenaga kerja industri tembakau lebih tinggi di perkotaan,” katanya.
KEMITRAAN YANG BURUK
Penelitian yang dilakukan Lembaga Demografi FEB UI di sejumlah daerah, seperti Lombok Timur, Malang, Lumajang dan Bojonegoro, menunjukkan penurunan produktivitas tembakau karena sejumlah hal, mulai dari faktor cuaca, varietas hingga cara bercocok tanam.
Di sisi lain, pabrik rokok tidak memberikan informasi terkait stok tembakau di gudangnya secara akurat dan transparan. “Ini jadi kendala, karena petani tidak tahu, apakah tahun depan pabrik rokok akan membeli lagi produk tembakau mereka atau tidak,” kata Nurhadi.
Selain itu, kemitraan dengan pabrik rokok tidak selalu menguntungkan. Kemitraan dianggap menguntungkan petani, hanya karena mereka mendapatkan pupuk, bibit. bimbingan dan sebagainya.
“Tapi ada juga kasus dimana petani tidak menikmati keuntungan karena mereka harus mengembalikan modal yang telah diberikan oleh pabrik rokok,” ungkap Nurhadi
Juga ada kasus di mana petani yang mendapatkan input seperti pupuk, obat dari industri rokok dipaksa menjual tembakaunya ke industri. “Bahkan saat harga rokok di luar lebih tinggi, petani tetap harus menjual ke pabrik,” katanya.
Nurhadi menambahkan, kemitraan yang menguntungkan hanya terjadi ketika harga tembakau telah disepakati bersama. Diluar itu dipastikan akan merugikan petani.
Petani tembakau juga kerap terjebak pada pola 3M yaitu: Mekah, Malaysia dan Mati. Jebakan yang merupakan fakta sekaligus catatan kelam para petani tembakau. Iming-iming berangkat Umrah atau Haji, menjadi TKI ke Malaysia hingga mati bunuh diri karena tidak mampu membayar utang adalah realitas yang dihadapi oleh banyak petani tembakau.
“Lagi-lagi karena petani rentan terhadap kekuatan pasar, dimana harga dikendalikan pabrik rokok,” kata Nurhadi.
Pada situasi sulit seperti itu, Nurhadi mengusulkan agar daerah-daerah yang tidak menguntungkan ditanam tembakau, karena faktor cuaca, modal dan lain-lain, segera beralih ke tanaman yang lebih menguntungkan.
“Mudah mudahan para petani tembakau mampu beralih ke sektor pertanian lainnya yang lebih menguntungkan seperti petani tembakau di Temanggung,” katanya.
DBHCHT UNTUK PETANI
Yuli Adiratna menegaskan, economic growth and efficiency yang merupakan salah satu kriteria dimana kebijakan pajak harus mampu berkontribusi dalam menyokong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan produktivitas perekonomian suatu negara.
Selama ini, peningkatan produktivitas SDM atau penyerapan tenaga kerja merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, cukai hasil tembakau diharapkan menjadi instrumen bagi perlindungan sektor tenaga kerja yang diserap oleh industri hasil tembakau.
Karena itu, Yuli menekankan tentang pentingnya mitigasi dampak kenaikan cukai, antara lain melakukan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk mendukung sektor pertanian tembakau, pelatihan tenaga kerja, hingga kewirusahaan.
“Memanfaatkan DBHCHT juga bisa untuk melakukan upaya pengembangan alternatif tanaman lain selain tembakau seperti sayuran,” kata Yuli.
Tak hanya itu, DBHCHT bisa digunakan untuk intensifikasi tanaman tembakau, subtitusi impor jenis Virginia di daerah potensial hingga melakukan diversifikasi produk cengkeh sebagai minyak esensial, pengawet dan lainnya
Namun yang terpenting menurut Yuli, BDHCHT harus diarahkan pada kegiatan-kegiatan produktif, seperti pelatihan keterampilan, pendidikan vokasi, diversifikasi usaha dan pemberdayaan masyarakat.
“Selain penggunaan BDHCHT, edukasi secara masif dampak merokok terhadap kesehatan dan masa depan harus terus diprioritaskan,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca
Discussion about this post