Jakarta, Prohealth.id – Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) yang juga Koordinator Solidaritas Advokasi Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (SAPTA) Tubagus Haryo Karbyanto menyesalkan terbitnya standar bagi produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Menurutnya, ketika sebuah produk HPTL mendapatkan standar nasional, maka akan menimbulkan polemik, bukan saja bagi pemerhati kesehatan namun juga di kalangan aktivis pengendalian tembakau.
“Saya kira di kalangan masyarakat secara umum, ini juga bisa menyebabkan polemik,” katanya.
Saat mengeluarkan lebel SNI, BSN berdalih agar para pelaku usaha memiliki acuan dalam pembuatan produk HPTL yang sesuai dengan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI). Standar juga diperlukan demi memberikan perlindungan terhadap konsumen.
“Rupanya tagline yang dipakai oleh BSN dalam rangka perlindungan konsumen, mirip dengan taglinenya YLKI menjadi dasar untuk menerbitkan SNI,” ucapnya.
Padahal, menurut Tubagus, HPTL merupakan produk olahan tembakau yang seharusnya dikenai cukai. Apalagi, ketika UU cukai mengatakan bahwa konsumsinya perlu dikendalikan, maka distribusinya perlu diawasi.
“Juga perlu pengenaan cukai untuk keadilan, oleh karena itu produk HPTL menjadi produk yang problematik,” terangnya.
Tubagus menilai, alasan pemberian standar pada produk HPTL rada mirip dengan pemberian standar pada helm pada dekade lalu. Saat itu, banyak beredar helm yang tidak memenuhi standar dan berdampak buruk terhadap keselamatan penggunanya.
“Helmnya banyak yang tidak standar sehingga perlu ada standarisasi,” katanya.
Tubagus menambahkan, “Nah, rupanya analogi itu yang digunakan saat membubuhkan SNI pada produk tembakau. Namun alasannya untuk perlindungan konsumen, saya kira tidak tepat.”
Senada dengan itu, Ketua umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengaku terkejut saat mengetahui produk HPTL telah mendapatkan lebel SNI.
Adapun yang lebih mengagetkan, sebelum penetapan SNI, praktisi kesehatan tidak pernah dilibatkan. “Tentu kami sebagai dokter paru Indonesia sangat prihatin dengan hal tersebut. Karena sejak awal, kami selalu konsisten bahwa rokok elektronik atau vaping itu tetap berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya.
Menurut Agus, BSN seharusnya melibatkan praktisi di bidang kesehatan. Alasannya, di luar praktisi kesehatan dipastikan tidak paham soal aspek bahaya yang ditimbulkan oleh produk HPTL dari sisi kesehatan.
“Kita sudah tahu jenis-jenis rokok elektronik, dari model terdahulu sampai model terbaru, seperti not heat burn devices berdampak buruk terhadap kesehatan,” paparnya.
Tidak bisa dipungkiri di dalam rokok elektronik itu ada tiga komponen berbahaya, yakni nikotin, bahan karsinogen dan bahan toksik lain yang bersifat iritatif dan induksi inflamasi atau menginduksi peradagan.
“Ini sudah terbukti kecuali ada yang mengatakan rokok elektronik zero nikotin, maka tetap mengandung bahan karsinogen dan bahan toksik,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan peringatan terbaru soal rokok elektrik dan perangkat sejenisnya. Sekjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut peredaran produk HPTL harus diperketat. Produk HPTL adalah taktik industri tembakau untuk membuat kaum muda kecanduan nikotin.
“Nikotin sangat adiktif. Sistem pengiriman nikotin elektronik (ENDS) berbahaya, dan harus diatur dengan lebih baik,” dalam siaran persnya pada Selasa, (27/7/2021).
Bagi pria asal Ethiopia itu, ENDS seharusnya diatur secara ketat demi melindungi kesehatan masyarakat. Pasalnya pelonggaran tersebut akan membuat penggunaan rokok elektrik di kalangan remaja meningkat.
“Di mana mereka tidak dilarang, pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang tepat untuk melindungi populasi mereka dari bahaya ENDS, dan untuk mencegah penggunaan mereka oleh anak-anak, remaja dan kelompok rentan lainnya,” terangnya.
WHO menyebut baru ada 32 negara yang telah melarang penjualan ENDS. Kemudian, 79 negara lainnya telah mengadopsi tindakan untuk melarang penggunaan produk tersebut di tempat umum, melarang iklan, promosi dan sponsor perusahaan produksi ENDS.
“Ini masih menyisakan 84 negara di mana mereka tidak diatur atau dibatasi dengan cara apa pun,” kata WHO.
WHO juga menguatkan bahwa rokok saat ini telah menjadi penyebab kematian yang cukup signifikan di dunia. Tak hanya bagi kalangan perokok aktif, namun juga perokok pasif.
“Tembakau bertanggung jawab atas kematian delapan juta orang per tahun, termasuk satu juta dari perokok pasif,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal, Badan Standardisasi Nasional (BSN) Wahyu Purbowasito menjelaskan, SNI produk HPTL (produk tembakau yang dipanaskan) sudah dirampungkan bersama Kementerian Perindustrian.
SNI tersebut tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 63/KEP/BSN/3/2021 tentang Penetapan Standar Nasional Indonesia 8946:2021 Produk Tembakau yang dipanaskan.
BSN berdalih, standardisasi bagi produk HPTL dilakukan untuk memastikan bahwa produk yang beredar di Indonesia sesuai dengan spesifikasi SNI. Dengan demikian, konsumen terlindungi dari potensi risiko akibat produk yang tidak memenuhi regulasi, sebagai mana amanat Undang Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post