Pada 22 Juni 2023 lalu, Forum Warga Kota (FAKTA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Penyusunana Naskah Akademik untuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK).
Dalam forum tersebut, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, selaku pengamat kesehatan masyarakat yang aktif dalam Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan, naskah akademik yang disusun oleh FAKTA bersama tim organisasi masyarakat sipil lainnya yakni; Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebenarnya sudah memenuhi kriteria ideal.
“Sayangnya ada tantangan, masyarakat belum memahami bahaya minuman berpemanis,” terang Hasbullah pada forum tersebut.
Ia mengingatkan, sulitnya edukasi kepada masyarakat ini dikarenakan dampak minuman berpemanis persis seperti masalah perubahan iklim. Jangka waktu yang diperlukan untuk membuktikan penyakit tersebut cukup lama sehingga efek kecemasan dan upaya preventif sulit diterapkan.
Prohealth.id mencatat, konsumsi makanan dan minuman manis memang sangat berbahaya bagi kesehatan karena memicu penyakit tidak menular (PTM). Secara rinci, gula secara berlebihan mengakibatkan penyakit seperti gula darah tinggi, obesitas dan diabetes melitus. Kandungan gula secara berlebihan ini sering ditemukan di produk-produk Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) oleh karena kandungan kadar gula yang sangat tinggi. Hal ini berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi PTM di Indonesia.
Menurut Ketua FAKTA, Ari Subagyo Wibowo kondisi ini diperparah dengan kemudahan masyarakat untuk membeli produk ini dan harganya yang relatif terjangkau khususnya oleh anak-anak. Saat ini, rencana ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC) atas MBDK telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam Perpres No. 130 Tahun 2022 pun, pemerintah telah menetapkan target penerimaan cukai MBDK sebesar Rp 3,08 triliun untuk tahun 2023. Angka ini naik sebesar 158,82 persen dari target tahun lalu yaitu Rp 1,19 triliun. Namun, sampai saat ini kebijakan tersebut belum bisa diimplementasikan, salah satunya menimbang kondisi perkembangan ekonomi di Indonesia.
Apalagi salah satu kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pemberian cukai terhadap produk MBDK. Namun, karena ini masih terjadi kekosongan hukum terkait regulasi yang dapat dijadikan acuan sentral dalam kaitannya dengan MBDK. Pengaturan mengenai MBDK sifatnya masih sporadis yang diatur di berbagai peraturan kementerian/lembaga. Maka dari itu, guna mempertegas dasar hukum yang dapat dijadikan acuan bagi peraturan kementerian/lembaga dibawahnya, perlu dibentuk sebuah Peraturan Pemerintah baru.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru ini akan berangkat dari amanat Pasal 2 ayat (1) UU 39/2007 tentang Perubahan atas UU 11/1995 tentang Cukai. MBDK termasuk dalam sebuah barang yang mempunyai sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Pakar Psikologi Universitas Pancasila, Aully Grashinta menyatakan untuk bisa mendorong keterlibatan segenap masyarakat dalam implementasi cukai MBDK, penting untuk mencari tahu dulu alasan utama masyarakat suka minuman berpemanis.
“Manusia bisa berubah kok dengan beberapa cara. Pertama, ada keterpaksaan, ada sanksi, dan itu belum jelas. Kedua, perlu identifikais role model yang berhasil dengan cukai MBDK. Ketiga, perlu ada proses internalisasi,” terang Aully.
Mundurnya realisasi cukai MBDK
Sayangnya, pemerintah pada Juli 2023 justru mengumumkan menunda penerapan cukai MBDK sampai tahun 2024, yang mana bertepatan dengan momentum Pemilu. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam konferensi pers, Senin (24/7/2023) justru mengatakan, penundaan pengenaan cukai minuman berpemanis dikarenakan tiga alasan. Salah satu alasan pemerintah adalah mempertimbangkan kondisi industri makanan dan minuman yang saat ini belum stabil akibat dampak pandemi COVID-19.
Calista Segalita, Project Lead Food Policy CISDI menanggapi dengan kecewa keputusan tersebut. Menurut Calista, menunda pengenaan cukai minuman berpemanis berpotensi memperbesar risiko kesehatan yang dialami masyarakat. Ia menyebut, tim CISDI menilai alasan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih karena pandemi tidak relevan dengan penundaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Sebab, cukai MBDK yang dipungut tidak berasal dari kebutuhan pokok, melainkan minuman berpemanis, seperti teh, susu berpemanis, soda, hingga minuman serbuk dalam kemasan.
“Tahun lalu pemerintah juga menunda dengan dalih yang sama. Padahal, kondisi kesehatan juga erat hubungannya dengan kondisi ekonomi. Tingginya beban biaya kesehatan sebesar Rp 108 triliun (BPJS, 2019) yang diakibatkan penyakit terkait konsumsi gula, justru seharusnya membuat cukai MBDK menjadi kebijakan yang penting untuk segera diterapkan di Indonesia,” ungkap Calista.
Calista mengatakan perbincangan mengenai cukai MBDK sudah dimulai sejak 2016. CISDI selama dua tahun terakhir sudah melakukan berbagai upaya untuk menyampaikan pentingnya cukai minuman berpemanis, antara lain lewat kegiatan riset dan advokasi, diskusi kelompok terarah dengan pemangku kebijakan, kampanye publik, dan petisi yang sudah didukung 16 ribu lebih tanda tangan. Petisi juga sudah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada November 2022.
“Cukai MBDK bahkan sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023. Tapi, lagi-lagi pemerintah menunda pengesahannya tahun ini. Pemerintah seolah abai dengan fakta yang menunjukkan konsumsi minuman berpemanis terus meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir,” katanya.
Calista menambahkan kenaikan konsumsi minuman berpemanis ini sejalan dengan peningkatan signifikan pada prevalensi obesitas dan diabetes serta penyakit tidak menular lain di Indonesia. Dampaknya, beban kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular juga meningkat. Salah satu faktor yang berkontribusi pada peningkatan beban ini adalah konsumsi minuman manis, khususnya MBDK.
“Konsumsi MBDK berlebih terbukti berisiko meningkatkan kejadian obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, beberapa jenis kanker dan gizi kurang. Karena itu, pembatasan konsumsi MBDK, terutama melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik semakin mendesak diberlakukan,” kata Calista.
Implementasi kebijakan cukai di lebih dari 49 negara juga telah terbukti efektif menurunkan tingkat konsumsi MBDK serta mendorong formulasi ulang produk menjadi lebih sehat (lebih rendah gula). Dalam jangka panjang, penerapan cukai minuman berpemanis berperan krusial dalam menurunkan angka obesitas, diabetes, dan risiko kesehatan lain yang berkaitan. Bahkan, menurut estimasi Kementerian Keuangan, cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukan negara sekitar Rp2,7 triliun hingga Rp6,25 triliun per tahun. Potensi tambahan penerimaan negara ini dapat digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat di Indonesia yang alokasi anggarannya selama ini masih sangat minim, khususnya terkait penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas.
Berdasarkan catatan tersebut, CISDI menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, segera memberlakukan pengenaan cukai untuk produk MBDK minimal sebesar 20 persen berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5 persen. Kedua, mengedukasi masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi minuman atau makanan berpemanis dengan kadar tinggi.
Ketiga, mengenakan kebijakan cukai MBDK secara serentak ke semua skala usaha. Keempat, mempertajam peraturan mengenai pelabelan informasi gizi pada produk MBDK agar masyarakat sadar bahaya bila mengkonsumsinya terlalu banyak.
Discussion about this post