Jakarta, Prohealth.id – Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany, melalui akun Twitter pribadi, dia menjabarkan kualitas Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia yang akan tetap merugi jika cukai rokok tak dinaikkan.
Dilansir dari akun pribadinya, Hasbullah menuturkan, setiap tahun, pemerintah rugi Rp44 triliun karena rokok. Seperti yang tertuang dalam penelitian dari Lembaga Demografi FEUI yang menyatakan, sebagian dari biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digunakan untuk membayar penyakit akibat rokok. Hal ini mengakibatkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara akan semakin meningkat.
Berdasarkan data Riskerda tahun 2007 proporsi konsumsi tembakau pada peserta jaminan kesehatan untuk yang merokok setiap hari mencapai 25,9 persen dan peserta yang merokok kadang-kadang sebesar 5 persen. Sedangkan, karakteristik perokok berdasarkan kelompok usia dan kepemilikan jaminan kesehatan yakni usia 35-44 tahun sebesar 24,9 persen dan usia 25-34 tahun sebesar 24 persen.
Hasil riset JKN dari BPJS Kesehatan juga menyatakan, ada peluang keijakan cukai dan pajak rokok saat ini untuk Mendanai DJS Kesehatan. Dalam dokumen tahun 2017 tersebut tertera, dana dari cukai hasil tembakau atau rokok sangat dimungkinkan untuk mendanai DJS Kesehatan. Hal ini karena tujuan dari pemungutan cukai adalah untuk mengendalikan konsumsi demi peningkatan kualitas kesehatan. Sehingga penggunaan dana dari cukai rokok semestinya juga difokuskan untuk mengatasi dampak kesehatan yang timbul dari perilaku merokok tersebut.
Ada tiga alternatif yang dapat dimanfaatkan jika menggunakan instrument cukai rokok dan pajak rokok untuk mendanai DJS Kesehatan yaitu sebagai berikut; Reformasi Penyederhanaan Sistem Cukai Rokok, Mekanisme Earmarking Penerimaan Cukai Rokok untuk DJS Kesehatan, Mekanisme Dana Pajak Rokok Daerah untuk Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Dengan mengikuti tiga cara alternatif ini, Indonesia bisa meniru Filipina atau Rumania guna mencegah kerugian akibat defisit biaya kesehatan.
Hasbullah menegaskan sebenarnya dalam masalah ini tingkat kepedulian pemerintah terhadap kesehatan rakyat dapat diukur dari belanja kesehatan publik, BPJS & APBN.
“Tampak Pemerintah Indonesia paling “pelit” soal ini. Belanja kesehatan publik hanya US$43 per orang pada 2015. Belanja BPJS hanya US$30. Bahkan, hibah APBN untuk JKN kurang dari 5 persen,” tuturnya.
Hal lain yang menentukan kesuksesan JKN kata Hasbullah adalah porsi belanja rumah tangga alias out of pocket (OOP). Idealnya, porsi OOP kurang dari 20 persen. Di Indonesia, OOP masih 48 persen. Artinya, separuh biaya kesehatan dibayar rakyat.
“OOP tinggi, JKN bocor karena rokok. Mimpi Jaminan Kesehatan Semesta @jokowi bisa semakin jauh,” demikian isi cuitan Hasbullah kepada akun Twitter Presiden Joko Widodo.
Alhasil, kerugian JKN berusaha ditutupi dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT). Setiap tahun, dana cukai rokok dialokasikan untuk bidang terdampak negatif dari rokok melalui mekanisme Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, akan tetapi alokasi DBHCHT tahun 2021 hanya 25 persen untuk kesehatan. Hasbullah menilai hal ini sangat tidak sebanding dengan kerugian negara.
Dia pun memastikan dari kondisi saat ini, tokok akan terus jadi sumber masalah bagi JKN jika masih murah dan mudah dibeli. Oleh karena itu, rokok perlu dikendalikan dengan kenaikan cukai dan memahalkan harga jualnya di pasaran.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post