Isu kesehatan mental dan perubahan iklim mungkin baru-baru ini saja diulas oleh Badan Kesehatan Dunia. Tetapi, ini kali pertama ada pembahasan soal dampak perubahan iklim ini terhadap mereka yang melakukan pemberitaan.
Ada beberapa poin utama yang disampaikan oleh Prof Anthony dalam pertemuan tersebut. Yang pertama adalah langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental.
“Hal-hal yang kecil ini, apabila dimasukkan ke dalam hidup kalian, akan bisa membuat perubahan,” jelasnya.
Langkah kecil pertama adalah harus bisa menjaga tidur. Wajar sekali untuk terbawa siklus harus berita 24 jam, intens, sehingga mengganggu pola tidur. Kalau datang setelah 17-18 jam bekerja, pastinya akan sangat melelahkan. Ia mencontohkan tragedi 911 di AS di mana para jurnalis bekerja hampir non-stop, tanpa tidur berminggu-minggu, tidak bisa melihat keluarga mereka, sangat sibuk, makanan yang kurang. Semua demi keberhasilan berita tersebut. Dan, ini relevan juga dengan para jurnalis perubahan iklim.
Oleh karena itu, tidur menjadi hal yang sangat penting. “Pastikan untuk tidur pada jam yang sama, sehingga tubuh kalian akan terlatih. Tubuh kalian punya ritme sirkadian yang unik, jumlah kortisol akan melonjak di pagi hari, sementara turun di malam hari sehingga akan terasa sangat mengantuk. Jadi, gunakan waktu ini untuk tidur,” jelasnya.
Ia menyarankan untuk tidak melihat hp, Twitter, email, karena bisa saja akan memicu stres sehingga batal tidur. Strategi yang bisa dilakukan adalah menaruh HP jauh dari jangkauan.
“Jangan gunakan alkohol untuk bisa tidur. Alkohol sangat buruk bagi kesehatan, karena menghancurkan pola tidur. Alkohol antidepresan di sentral saraf pusat. Anda tidak mau menggunakan alkohol untuk tidur. Hindari minuman berkafein, sebaliknya mandi dengan air hangat atau meditasi. Sungguh sangat penting untuk menjaga tidur,” lanjutnya.
Yang kedua, makan yang bernutrisi karena liputan perubahan iklim merupakan jangka panjang, stres karena perubahan iklim masih berlangsung cukup panjang.
Lalu, yang ketiga, alokasikan waktu untuk menjalin hubungan dengan sesama karena hubungan yang baik akan melindungi kesehatan mental. Tidak bisa terus-menerus menaruh energi ke pekerjaan, tetapi juga energi untuk hubungan yang lain, misalnya pernikahan, anak, teman. Hal ini bisa memutuskan trauma dengan cara yang sehat.
“Saya sudah melakukan penelitian terhadap 1000 jurnalis di frontline, dan yang membuat mereka terlindungi dari masalah kesehatan mental adalah hubungan yang baik,” jelasnya.
Keempat, ambillah cuti untuk lakukan hal yang berbeda dari peliputan berita semata, misalnya jalan-jalan dengan teman.
Ia menyatakan bahwa merasa stres saat liputan banjir atau ada yang kehilangan rumah karena kebakaran hutan, ini adalah emosi yang wajar, normal sebagai manusia. Atau, merasa bahwa kapan ini tidak berakhir.
“Tetapi, emosi ini bukanlah emosi dominan Anda. Iya, merasa cemas dari waktu ke waktu menjadi wajar, depresi singkat bisa terjadi. Tapi, jika anxiety dan depresi terus menerus terjadi dan mengganggu kemampuan anda untuk bekerja, mengganggu hubungan anda, ini adalah dua peringatan yang mesti diwaspadai. Jadi, kalau sesekali, ini adalah hal yang normal. Tetapi, saat terus menerus dan mengganggu pekerjaan anda maka bisa ke terapi,” jelasnya.
“Saat pandemi, kami melakukan survei, bahwa perusahaan media yang menerapkan konseling mendapatkan lebih sedikit jurnalis dengan kecemasan dan depresi. Terapi bisa menolong dan hanya beberapa kali sesi. Jadi, kalau sudah mengganggu kehidupan, bisa pergi ke terapi karena ini akan membuat perubahan,” lanjutnya.
Post traumatic stress disorder dan moral injury
Berikutnya Prof Anthony membeberkan kesalahpahaman mengenai istilah Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD.
PTSD adalah gangguan kesehatan mental yang bisa muncul akibat stres yang sangat berlebihan. Varian stres ini bisa yang membunuh anda, atau membunuh orang lain. Kalau direlasikan dengan perubahan iklim, bisa dikualifikasikan sebagai PTSD.
Namun, harus harus ada 4 gejala PTSD yaitu mengalami ulang peristiwa traumatis, bisa dalam bentuk mimpi buruk, flashback, intrusive memory. Ini tidak disadari dan tidak diinginkan. Gejala kedua adalah avoidance (penghindaran), orang yang trauma melakukan penghindaran ini secara nyata, untuk memblokir pikiran. Ini agak susah karena di satu sisi, orang yang trauma tidak ingin kembali kesana lagi melakukan peliputan, sementara media organisasi menginginkan untuk bisa kembali liputan lagi. Gejala 3 adalah susah untuk tidur, susah untuk konsentrasi. Gejala 4 adalah kebanyakan suara negatif. Harus ada 4 gejala ini secara terus menerus selama minimal 28 hari.
Mayoritas jurnalis tidak dapat PTSD, tapi karena di garda depan, laju pengidap PTSD menjadi tinggi dibandingkan kalangan umum.
Selanjutnya, ia membahas soal moral injury atau cidera moral yang bukan gangguan kesehatan mental. Cidera moral ini merupakan rasa sakit moral yang kita alami saat gagal melakukan sesuatu sesuai dengan moral kita.
“Ini menjadi terkait dengan jurnalis perubahan iklim, sebagai contoh melihat agenda perubahan iklim dikeluarkan dari perdebatan bahkan peraturan. Tentu saja, bagi jurnalis yang melihat ini, tidak sesuai dengan panduan moral mereka. Ini bisa disebut sebagai moral injury, karena dekat dengan hati.”
Ia menambahkan apabila kena moral injury, maka emosi yang paling umum adalah malu, rasa bersalah, dan marah. Meski demikian, moral injury bukan gangguan kesehatan mental. Ini lebih ke konfrontasi pada situasi yang tidak mengenakkan. Misalnya, ada politisi yang tidak mengeluarkan kebijakan yang sejalan, sehingga ada semacam rasa pertanyaan: kenapa saya melakukan ini semua? Karena tidak ada yang berubah? Lalu, jurnalis bisa menjadi sini karena merasa tidak membuat perubahan sama sekali.
Dua jebakan
Prof Anthony kemudian membahas dua jebakan yang biasanya dialami oleh para jurnalis. Yang pertama adalah apa yang membuat saya berhak stres atau mengeluh kalau yang saya liput lebih sengsara dari saya?
Ia menyatakan bahwa di satu sisi, tidak ada yang menyamakan level kesukaran dalam hidup seseorang. “Ini tidak bisa dibanding-bandingkan,” jelasnya.
Di sisi lain, kalian tidak bisa menegasikan apa yang kalian rasakan. “Kalian tidak bisa mengabaikan perasaan sendiri,” lanjutnya.
“Saya berikan analogi: ketika patah kaki kiri, dan di tempat tidur sebelah ada yang patah kaki dua-duanya, tentu saja kamu tidak akan bilang “itu ada yang lebih parah”, sebaliknya kamu juga akan menunggu dokternya untuk datang dan mendiagnosis kamu. Jadi, ini tidak ada bedanya dengan kesehatan mental,” tambahnya.
Ia menegaskan tidak ada perbedaan di sini antara kesehatan fisik dan kesehatan mental, ini semua soal kesehatan. “Kalau merasa bahwa sedang cemas, sedang depresi, sedang tidak baik-baik saja, jangan bilang, oh tidak seberapa parah dengan yang kebakaran hutan. Itu bukan argumen yang rasional, tapi carilah pertolongan,” jelasnya.
Jebakan kedua adalah harus wartawan meliput semuanya. “Kalian punya etik kerja yang bagus, harus meliput semua, dan karena ini jadi terkurung dalam pekerjaan dan akhirnya mengorbankan yang tidur, makanan, hingga hubungan. Intinya adalah ini, kalian tidak bisa liputan semuanya karena berita akan terus-terusan ada. Tidak mungkin liputan semua aspek dari berita. Kalaupun iya, akan terjebak dengan rasa bersalah, harusnya bisa lebih baik lagi, padahal sudah berupaya sebaik mungkin. Waktunya bisa dihabiskan untuk berkumpul bersama teman atau keluarga, bukan untuk menyesali kenapa tidak meliput. Hidup tanpa merasa bersalah dan ini perlu bagi jurnalis. Bukan berarti tidak melakukan pekerjaan, tapi sebaliknya, saat pergi kerja, akan lebih baik dengan mental mindset,” jelasnya.
Ia pun menutup dengan strategi terakhir yaitu mindfulness based stress reduction yang mudah untuk diterapkan, mengajarkan orang untuk rileks dan berhadapan dengan kecemasan.
“Cobalah untuk tidak fokus apa yang tidak bisa kamu kontrol tapi fokus yang bisa kamu kontrol, yaitu tidur, makanan dan hubungan. Rasa cemas dan depresi saat-saat ini sangat normal tetapi apabila ganggu kerjaan, harus cari terapi,” jelasnya. “Bisa dapat cek up darah, kolesterol, darah tinggi, kenapa tidak lakukan kesehatan mental cek up setahun sekali.”
Ia menyebutkan bahwa kesehatan mental tidak mahal ketimbang harus MRI atau scan lainnya, tapi berbicara soal konseling di mana duduk bersama untuk melihat kondisi fundamental.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post