Jakarta, Prohealth.id – Kementerian Kesehatan mencatat sudah ada 14 provinsi yang konsisten dalam penurunan kasus konfirmasi harian Covid-19.
Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid., Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes, 14 provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
Selain itu, 7 provinsi lain tercatat kasus hariannya sudah melandai di antaranya, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Gorontalo, Bengkulu, dan Lampung. Faktor inilah yang juga membuat posisi perawatan pasien di rumah sakit melandai karena kontribusi pasien di daerah dengan populasi besar juga ikut turun. Sampai dengan Selasa (1/3/2022), pasien dirawat di rumah sakit secara nasional turun menjadi 34 persen, dari hari sebelumnya pada akhir Februari berada di posisi 35 persen.
“Per hari ini (1/3), konfirmasi kasus harian berada di posisi 24.728 kasus per hari. Sangat jauh jika dibandingkan posisi tertinggi yang sempat mencatat angka 64.718 kasus per hari. Tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit (bed occupancy ratio/BOR) juga masih sangat terkendali dengan kecenderungan menurun,” katanya.
Lebih lanjut, Kemenkes juga menunjukkan di beberapa daerah pada minggu terakhir Februari mengalami penurunan positivity rate, diantaranya: DKI Jakarta, Bali, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, Papua, NTB, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah.
“Meskipun dalam pantauan kami masih ada beberapa provinsi di Jawa dan luar Jawa yang meningkat, tapi secara agregat kita bisa melihat penanganan pandemi secara nasional membaik karena provinsi dengan kota-kota besar padat penduduk sudah melewati puncaknya dalam waktu yang cukup konsisten,” sambung dr. Nadia.
Adapun perbaikan indikator penanganan pandemi juga tampak dari angka kesembuhan pasien di rumah sakit yang terus meningkat secara nasional. Hingga Senin (28/2/2022) lalu, angka kesembuhan pasien ada di posisi 43.992. Angka ini lebih baik dari hari sebelumnya Minggu (27/2/2022) lalu, yang ada di posisi 39.384.
Namun demikian, data menunjukkan risiko kematian tertinggi masih terjadi pada pasien yang belum menerima vaksinasi lengkap, lansia, dan memiliki komorbid.
Berdasarkan catatan Kemenkes pada 5.013 pasien yang meninggal akibat Covid-19 dari 21 Januari 2022 sampai 26 Februari 2022, adalah pasien komorbid terbanyak yang ditemukan di pasien meninggal adalah diabetes melitus dan bahkan 21 persen pasien memiliki komorbid lebih dari satu. Secara rinci, hingga Sabtu (26/2/2022), dari 5.013 pasien yang meninggal akibat Covid-19, ada 69 persen belum divaksinasi lengkap, 57 persen di antara pasien meninggal tersebut adalah lansia dan 45 persen memiliki komorbid,” jelas dr. Nadia.
Guna menekan angka kematian, dr. Nadia menjamin Kemenkes terus meningkatkan dan memperluas layanan kesehatan serta mempercepat laju vaksinasi. Memberikan vaksinasi lengkap hingga booster adalah upaya agar pertahanan terhadap virus Covid-19 menjadi lebih tinggi, terutama bagi lansia, pasien dengan komorbid, dan anak-anak terhadap risiko bergejala berat hingga kematian akibat Covid-19.
Untuk vaksinasi booster, kini sudah dapat diberikan kepada seluruh masyarakat yang berusia diatas 18 tahun, dan telah menerima vaksinasi dosis primer minimal tiga bulan sebelumnya. Pemerintah juga telah resmi menambahkan regimen vaksin booster, yakni vaksin sinopharm. dengan demikian ada 6 jenis regimen vaksin booster yang digunakan di indonesia; Sinovac, Astrazeneca, Pfizer, Moderna, Janssen (J&J), dan Sinopharm.
CARA MEMAHAMI ANGKA KEMATIAN
Sementara itu, Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dr Tonang Dwi Ardyanto melalui pesan singkat mengatakan masih banyak pasien yang bertanya, “Dok, katanya kemarin BA.2 yang bikin angka kematian meningkat ya?”
Lebih lanjut, dr. Tonang menjelaskan sebelum varian Omicron, virus Covid menginfeksi sel. “Setelah masuk ke dalam sel, bereplikasi dan hendak menyebar ke sel lain. Saat itu kembali ada kesempatan sistem imun mengenali protein S lagi. Begitu berulang. Sehingga terjadi “kompetisi” antara usaha sistem imun kita dengan kecepatan pertumbuhan dan penyebaran virus,” ungkapnya.
Sementara pada varian Omicron ada empat perubahan. Pada virus covid varian sebelumnya, protein spike itu akan terbuka saat mendekati reseptor. Dengan harapan bisa berikatan dan mengunci. Dari varian awal sampai ke varian Delta, teknik membuka dan mengunci reseptor berlangsung semakin cepat. Sehingga semakin mampu menghindari hambatan oleh sistem imun. Pada Omicron, perubahan jenis kedua, adalah protein lebih stabil, artinya tidak mudah terbuka, baru terbuka sesaat sebelum berikatan dengan reseptor. Dengan demikian, menambah sulit dikenali oleh sistem imun kita. Sementara pada varian sebelumnya, setelah berhasil berikatan dengan reseptor, disusul ikatan dengan TMPRSS2. Setelah itu menjadi sarana untuk bisa masuk ke dalam sel. Adapun TMPRSS2 ini lebih banyak terdapat di paru-paru, lebih sedikit di saluran nafas. Maka pada varian-varian sebelumnya, cenderung virusnya menyebar ke paru-paru.
Pada Omicron, sebagai ciri ke (3) adalah setelah berikatan, ternyata tidak membutuhkan TMPRSS2, tapi langsung melakukan endositosis atau menembus masuk ke dalam sel. Maka pertumbuhan Omicron di saluran nafas 70 kali lebih cepat daripada delta. Namun di paru-paru, pertumbuhannya 10 kali lebih lambat daripada Delta.
Namun yang menarik bahwa ada ciri ke (4) bahwa Omicron itu lebih berespon terhadap interferon atau bagian dari sistem imun bawaan. Keempat ciri inilah yang membuat Omicron mudah menular, cepat menyebar, tumbuh cepat virusnya tapi cenderung ringan gejalanya.
“Maka yang disampaikan itu benar, ketika BA.1 yang mendominasi. Kondisi mulai berubah ketika BA.2 mulai berkembang. Dari 4 ciri tersebut, ada perubahan pada ciri ke 3. BA.2 kembali bisa menggunakan TMPRSS2 untuk proses masuk ke dalam sel. Akibatnya BA.2 memiliki daya tumbuh yang lebih tinggi daripada BA.1 di paru-paru,” ungkap dr. Tonang.
Hal ini yang diduga memicu angka kematian relatif meninggi akhir-akhir ini. Walau masih tetap signifikan di bawah saat gelombang delta, tapi lebih signifikan daripada saat BA.1 yang dominan.
Secara umum, angka pertambahan kasus Omicron saat ini secara global pada posisi mulai menurun dari gelombangnya. Di Indonesia sendiri, bagi Jakarta sudah dua pekan menurun. Untuk nasional memang baru mulai menunjukkan penurunan, walau belum stabil penurunannya.
Diduga, walau secara risiko gejala berat, lebih besar pada BA.2 daripada BA.1 tapi diharapkan gelombang omikron tetap akan pada fase menurun. Hanya kita harus lebih waspada, terhadap perkembangan varian BA.2 terkait angka kematiannya. “Yang sudah jelas, baik BA.1 maupun BA.2 tetap dapat terdeteksi dengan PCR dan tes antigen,” tegas dr. Tonang.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post