Jakarta, Prohealth.id — Rosiana Tendean, warga Jakarta yang peduli lingkungan perkotaan yang sehat dan bebas dari asap rokok kerap bertanya mengapa Perda KTR di DKI Jakarta belum juga tuntas. Padahal pembahasannya telah dimulai sejak empat tahun silam.
Terakhir, Rosiana mengetahui dari media jika dalam setahun terakhir DPRD DKI Jakarta aktif membahas perda tersebut. Namun hingga sekarang, lagi-lagi ia tak mendengar kelanjutannya.
“Ternyata sudah hampir setahun masalah Perda KTR belum tuntas juga. Gak tahu permasalahannya dimana. Karena waktu itu bilang, segera, segera dan sampai sekarang tidak ada kejelasan,” ujar Rosiana dalam bincang bebas bertajuk ‘Apa Kabar Perda KTR DKI Jakarta?’ beberapa waktu yang lalu.
Menurut Rosiana, akan banyak warga yang melakukan pelanggaran apabila aturan berupa Perda KTR tidak dibuat, karena tidak ada sanksi bagi mereka yang melanggar. “Karena memang perdanya belum ada,” katanya.
Rosiana yang juga atlet bulu tangkis Indonesia era 80-an itu bercerita bahwa Perda KTR sangat dibutuhkan. Itu untuk melengkapi Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 50 Tahun 2012 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang telah lebih dahulu ada.
Rosiana bahkan punya pengalaman unik, bagaimana sebuah Pergub ternyata pernah cukup efektif memberi efek jera bagi restoran yang membebaskan pengunjungnya merokok. Saat itu, Rosiana yang hendak makan terganggu dengan asap rokok yang memenuhi ruangan. Dia lalu komplain ke pemilik restoran.
“Restoran itu dicampur antara yang merokok dan tidak merokok, dalam kondisi tertutup. Trus saya bilang, kok gak dibedain?” ujar Rosiana.
Saat itu, menurut Rosiana, Pemprov DKI sedang gencar-gencarnya menerima pengaduan dari masyarakat melalui Lapor.id. Hal-hal terkait pelanggaran aturan boleh dilaporkan melalui kanal pengaduan tersebut.
“Saat itu belum Perda, cuma Pergub tentang kawasan dilarang merokok. Saya lalu foto-foto dan saya kirim ke Lapor.id. Dua minggu kemudian saya ke situ lagi, sudah tidak boleh merokok. Berarti kan ngefek Pergubnya,” kata Rosiana.
Pentingnya Perda KTR juga diutarakan oleh Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan. Azas Tigor mengatakan Perda KTR Jakarta telah lama ditunggu-tunggu oleh warga ibu kota.
“Ini merupakan dukungan warga Jakarta kepada DPRD Jakarta, karena sejak 4 tahun lalu, yakni 2016-2017, DPRD Jakarta telah menginisiasi Perda KTR.” kata Azas Tigor Nainggolan yang akrab disapa Astina.
Menurut Azas Tigor, pembahasan Perda KTR terhenti karena sejumlah hal. Lalu di tahun 2019 kembali diusulkan untuk dibahas. “Tapi sayang belum ada perkembangan. Akhirnya tertimbun dengan situasi pandemi,” ujarnya.
Kemudian pada akhir tahun 2020, Perda KTR kembali diusulkan sebagai inisiasi dari DPRD Jakarta. Sejak itu Rancangan Perda (Raperda) KTR masuk sebagai prioritas di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DKI Jakarta.
Dwi Rio Sambodo dari Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta yang juga anggota Bapemperda tidak menampik jika sejak akhir 2016 mereka telah membahas Raperda KTR. Pembahasan Raperda itu terus berlangsung hingga sekarang.
Hanya saja, Raperda KTR bersamaan pembahasannya dengan 28 Raperda lainnya. “Dari jumlah itu 4 diantaranya merupakan inisiasi DPRD, yaitu: Raperda Sistem Pendidikan Daerah, CSR, RT dan RW, dan Kawasan Tanpa Rokok,” katanya.
Dwi Rio mengingatkan agar masyarakat tidak perlu khawatir meskipun ada 28 Raperda yang sedang dibahas. Menurutnya, Perda KTR akan tetap dilanjutkan, karena sebagian dari Raperda itu ternyata bertentangan dengan undang-undang terbaru tentang Cipta Karya.
“Perda itu setengahnya tidak dilanjutkan karena ada UU Omnibus Law, khususnya tentang deregulasi dan debirokatrisasi. Sehingga Perda yang berkaitan dengan investasi, izin, ekonomi dimasukkan dalam Perkada (Peraturan Kepala Daerah) atau Pergub. Jadi tidak pakai lagi Perda,” kata Dwi Rio.
Khusus terkait Raperda KTR, Rio memastikan hal itu akan selesai sesuai target. Alasannya, Raperda KTR merupakan inisiasi dari DPRD DKI Jakarta. “Karena Raperda inisiasi ini gengsi juga bagi kita. Kalo sampai diinisiasi, kemudian mentok, gak jadi, kita ini seperti berpaling muka juga,” ujarnya.
Saat ini, menurut Dwi Rio, tahapannya telah sampai pada pengajuan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang harus dimaknai secara bijak. Meski demikian dia lalu tidak bisa menutup mata dengan sejumlah permasalahan yang timbul.
“Memang jika kita lihat dari satu perspektif, bahwa ini ada kaitannya dengan persoalan kesehatan, masa depan anak-anak, remaja, saya setuju. Tapi kemudian di banyak forum diskusi, dari komunitas seperti ‘Perokok Bijak’, mereka juga melihat dalam perspektif lain,” ungkap Dwi Rio,
Perspektif itu ada kaitannya dengan ekonomi politik. Dimana mereka mengkritisi konvensi global atau konvensi internasional yang hanya memasukkan unsur tembakau. “Padahal rokok bukan hanya tembakau, tetapi banyak jenisnya,” kata Dwi Rio.
Selain itu, ada topik lain yang mengemuka terkait keadilan untuk semua. Menurut Dwi Rio, adil itu termasuk bagi mereka yang tidak merokok, termasuk perokok pemula, dan perokok aktif.
“Reaksi yang masuk ke Bapemperda seperti itu. Sehingga muncul pada konten-konten audiensi, rapat dengar pendapat, dan sebagainya adalah bagaimana Raperda KTR bisa berkeadilan disemua kalangan,” katanya.
Lebih jauh Dwi Rio mengatakan, jika menyimak UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Pasal 115 jelaskan beberapa hal mengenai tempat atau lokasi yang tidak diperkenankan sebagai kawasan merokok.
“Tempat itu adalah, tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya yang dicantumkan kata ‘dapat’,” ujarnya.
Secara prinsipil menurut Dwi Rio sudah ada win-win solution, selain melalui keputusan MA juga didasarkan pada klausul di pasal-pasal UU Kesehatan. “Di kita sudah satu persepsi adalah ini demi berkeadilan untuk semuanya,” tegasnya.
Jika dibandingkan antara tahun 2021 dengan 2016, khususnya terkait dukungan prinsipil, menurut Dwi Rio tidak begitu berbeda. Hanya saja, banyak yang meminta agar hak-hak perokok tetap diperhatikan.
“Itu sudah dituangkan dalam ketentuan bahwa itu ada di tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya dengan syarat yaitu beda gedung, ruang terbuka, tidak ditempat lalu lalang, keluar masuk dan sebagainya. Dan itu sudah terealisasi di banyak tempat sebetulnya,” ungkap Dwi Rio.
Selain itu, Dwi Rio menjelaskan jika naskah akademik, tanggapan Bapemperda. pandangan umum fraksi telah dilakukan. “Sekarang ini masuk tahapan finalisasi,” katanya.
Tahapan finalisasi lebih berkaitan dengan upaya mengecek ulang sejumlah hal, termasuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. “Mana yang otomatis, analog, given dan mana yang perlu ditambahkan, diterangkan sesuai kebutuhan lokal di daerah DKI Jakarta,” katanya.
“Kita tidak mungkin menabrak peraturan diatasnya, misalnya UU 36/2009 di pasal 115 itu ada kata “dapat”, kemudian di MA dimasukkan kata “menyediakan. Mungkin itu saja yang menjadi pembahasan di Bapemperda,” ujar Dwi Rio menambahkan.
Tahapan finishing juga merupakan kegiatan harmonisasi agar tidak terjadi kontradiksi, utamanya saat dibahas di Rapat Pimpinan (Rapim) antar-fraksi, sebelum diketuk palu di paripurna.
“Jika saat dibahas, saya yakin tidak sampai satu bulan sudah selesai. Kalau saya punya prediksi paling tidak, bulan September atau Oktober sudah masuk dalam Raperda KTR,” tegasnya.
Mendengar hal itu, Ketua fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad sangat mendukung hadirnya Perda KTR di Jakarta. PSI siap mewujudkannya, karena mereka memang sangat peduli dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Sehingga kerangka mendukung Perda KTR bukan hanya sebatas memahami bahaya rokok itu sendiri, tetapi secara plaform partai memang melihat kebijakan yang dapat menjadi sebuah perlindungan bagi perempuan dan anak yang harus diprioritaskan,” kata Idris.
Selanjutnya jika dibutuhkan, PSI akan ikut bergerak, terutama jika pembahasannya dilakukan di tingkat pimpinan fraksi. “PSI selalu hadir pada forum-forum yang ada di masyarakat, apalagi jika forum di DPRD membahas Perda KTR ini, kami akan selalu ikut,” tegasnya.
Menurut Idris, dukungan mereka terhadap Perda KTR bukan hanya sebatas janji dan slogan. Buktinya, PSI merupakan salah satu partai yang dalam dua tahun terakhir aktif terlibat menyusun program prioritas peraturan daerah terkait kawasan tanpa rokok.
“Jadi secara komitmen kami melihat Perda KTR sebagai upaya perlindungan anak dan perempuan, karena menurut kami prevalensi merokok anak jadi semakin banyak,” ujarnya.
Kepala Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Zainal menyambut baik lahirnya Perda KTR di Jakarta. Pasalnya, Zaenal kerap mengeluhkan soal penegakan aturan yang terkendala landasan/dasar hukum.
“Saat melakukan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum, misalnya, kita belum punya dasar terkait peraturan daerah, sehingga kita kesulitan juga saat ingin menegakkan aturan,” ujar Zaenal.
Menurut Zaenal, Perda KTR tidak hanya membahas kawasan tanpa rokok semata, namun melebar ke hal lain, seperti penjualan rokok di tempat umum hingga penertiban di mal-mal atau supermarket.
“Sehingga jika ada pelanggaran, kita bisa melakukan penindakan. Ya bisa perdata atau pidana,” tegasnya.
Selama ini, menurut Zaenal, aturan yang menjadi landasan mereka dan satpol PP dalam menegakkan aturan hanya didasarkan pada Pergub tentang larangan iklan rokok yang memang banyak bertebaran di ruang terbuka.
“Yang ingin kita pedomani dalam penegakan aturan atau melakukan penertiban adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap kawasan tanpa rokok ini,” kata Zaenal.
Selanjutnya, Pemprov DKI akan terus mendukung DPRD DKI Jakarta dalam menuntaskan Perda KTR sehingga akan menurunkan prevalensi perokok anak. “Kami juga menyambut baik jika ada pembahasan atau tindak lanjut dari penyelesaian Perda ini,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post