Jakarta, Prohealth.id – Disfungsi ereksi (DE) merupakan gangguan seksual berupa kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi. DE merupakan gangguan seksual yang paling umum pada pria. Namun, DE sering dianggap remeh dan dianggap tabu untuk dibicarakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi DE pada penderita diabetes melitus lebih tinggi.
Selain diabetes melitus, kegiatan bersepeda juga banyak dikaitkan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Beberapa orang beranggapan bahwa tekanan pada area sekitar alat kelamin laki-laki saat bersepeda bisa merusak saraf dan pembuluh darah dan dapat memicu terjadinya disfungsi ereksi. Apakah hal tersebut benar atau hanya sekedar mitos?
Seminar Awam Bicara Sehat ini hadir untuk memberikan pengetahuan dan informasi seputar isu yang diangkat. Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Masfuri, S.Kp., M.N yang merupakan Manajer Keperawatan RSUI.
Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD yakni seorang guru besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin metabolik diabetes di RSUI menjelaskan mekanisme fungsi seksual yang normal pada laki-laki yang sehat. Proses ini diawali dengan adanya rangsangan erektogenik (misalnya berimajinasi, melihat sesuatu, meraba sesuatu atau mencium wangi-wangian). Setelah ada rangsangan terjadi proses di otak, rangsangan itu disalurkan melalui jaringan saraf menuju daerah kelamin.
Setelah menerima rangsangan, alat kelamin yang awalnya dalam keadaan lemah dan kecil mengalami pembesaran. Darah yang mengalir masuk membuat alat kelamin menjadi tegang (ereksi) dan mengeluarkan air mani. Setelah selesai digunakan, alat kelamin akan melemah kembali.
Sementara pada keadaan disfungsi ereksi, seseorang mengalami ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang memadai untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan.
Gangguan seksual (sexual dysfunction) bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan dan jenis gangguan ini tidak hanya disfungsi ereksi. Gangguan tersebut bisa terjadi pada libidonya (keinginannya), bisa pada arousal-nya (terangsangnya) dalam hal ini pada laki-laki yaitu fungsi ereksinya terganggu, dan bisa juga gangguan pada orgasmenya (ejakulasi lebih awal, tidak bisa ejakulasi, atau ejakulasi tidak keluar dan baru keluar pada saat berkemih).
Menurut penelitian kohort The professional follow up study (n=51.529 laki-laki) prevalensi disfungsi ereksi yaitu 24,1 persen, sedangkan pada populasi yang mengalami diabetes melitus mencapai 45.8 persen hampir 2 kali lipatnya. Pasien diabetes melitus dapat mengalami disfungsi ereksi karena dua faktor.
Pertama, faktor organik yaitu terjadi karena gangguan pada alat kelamin atau pada jaringan sarafnya. Pasien yang sudah lama mengidap diabetes melitus misalnya sudah sekitar 10 tahun atau gula darahnya tidak terkontrol berisiko mengalami neuropati yang menyebabkan jaringan saraf terluka. Kondisi ini membuat rangsangan dari otak tidak bisa tersalurkan dengan baik ke alat kelamin. Kondisi disfungsi ereksi juga bisa terjadi karena adanya gangguan pada pembuluh darah yang kaku atau tertimbunnya plak lemak kolesterol sehingga alirah darah tidak lancar.
Kedua, faktor gangguan psikis, misalnya adanya rasa cemas karena mengidap penyakit kronis, kurang percaya diri dan kurangnya komunikasi antar pasangan. Prof. Pradana mengatakan bahkan kedua faktor ini kadang sulit dipisahkan. Pasien disfungsi ereksi yang usianya masih dibawah 40 tahun seringkali diakibatkan oleh faktor psikis, sementara pada pasien yang sudah berusia 40 tahun ke atas biasanya akibat faktor organik.
Kemudian jika diakibatkan oleh faktor organik, disfungsi ereksi ini terjadi secara perlahan-lahan, sementara jika diakibatkan oleh faktor psikis, kejadian disfungsi ini terjadi mendadak, misalnya minggu kemarin masih sehat-sehat saja, lalu minggu ini tidak bisa. Prof. Pradana mengatakan bahwa ada baiknya untuk membedakan kedua faktor ini yakni organik atau psikis, pasien berkonsultasi ke dokter terlebih dahulu.
Dalam penyampaian materinya yang berjudul “Diabetes, Mengapa Sebabkan Disfungsi Ereksi,” Prof. Pradana menjelaskan disfungsi ereksi disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya diabetes melitus, dapat pula akibat penyakit kronis lain seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, dan depresi berat. Disfungsi ereksi juga bisa terjadi karena faktor bertambahnya usia dan konsumsi obat-obatan tertentu seperti obat anti hipertensi jenis beta-bloker, mariyuana, narkoba, dan dapat pula terjadi akibat hormon estrogen.
Dalam mendeteksi kondisi disfungsi ereksi, Prof.Pradana menampilkan beberapa kuesioner yang dapat diisi pasien diantaranya ada kuesioner International Index of Erectile Funtions (IIFF) dan Erection Hardness Score (EHS). Setelah mengisi kuesioner tersebut akan didapatkan skor yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi keadaan apakah pasien tergolong normal, disfungsi ereksi ringan, sedang, atau berat. Skrining ini sangatlah penting.
Disfungsi ereksi dapat pula menjadi tanda awal dari penyakit lain, misalnya penyakit jantung, penyakit serebrovaskuler, stroke, atau komplikasi lainnya. Prof. Pradana mengatakan bahwa seringkali para pria sungkan untuk menceritakan gangguan ereksinya kepada dokter. Padahal dengan melakukan skrining ini sejak dini, penyakit-penyakit tadi bisa dicegah lebih awal.
Ubah gaya hidup, stop merokok
Dalam mengatasi permasalahan disfungsi ereksi, setelah melakukan identifikasi atau pemeriksaan fisik dengan dokter, langkah selanjutnya adalah menemukan penyebabnya, apakah disfungsi ereksi ini disebabkan oleh faktor organik, stres, atau akibat konsumsi obat-obatan tertentu. Setelah itu dokter dapat memberikan obat oral atau terapi tertentu sesuai dengan kondisi tiap pasien. Walaupun sudah mendapatkan obat-obat, tetap dibutuhkan stimulasi seksual agar dapat bekerja membantu meningkatkan performa ereksi.
Ia juga mengatakan bahwa perubahan gaya hidup tidak kalah penting untuk mengatasi disfungsi ereksi ini. Beberapa yang dapat diubah misalnya dengan menghindari rokok dan alkohol, menurunkan berat badan jika berlebih, mengurangi konsumsi makanan yang tinggi lemak dan kolesterol, dan menghindari obat-obatan yang berpotensi menyebabkan disfungsi ereksi. Selain itu hilangkan risiko yang menyebabkan stres, jalin komunikasi yang baik dengan pasangan untuk mendiskusikan ekspektasi, serta lakukan terapi psikoseksual jika dibutuhkan.
Jika langkah-langkah ini belum membuahkan hasil, dokter mungkin akan menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar hormon testosteron. Salah satu fungsi dari hormon ini yaitu untuk ereksi. Jika kadarnya rendah, biasanya pasien bisa diberikan suplementasi testosteron.
Prof. Pradana menyampaikan beberapa kesimpulan diantaranya disfungi ereksi umumnya terjadi 10-15 tahun setelah onset diabetes. Risiko ini semakin meningkat jika kadar gula darah tidak terkontrol. Kadar gula darah yang tidak terkendali membuat disfungsi ereksi semakin sulit untuk diterapi.
Oleh karena itu, sebaiknya pasien harus melakukan perubahan gaya hidup yang lebih sehat dan mendapatkan tambahan terapi dari obat-obatan maupun terapi lainnya berdasarkan rekomendasi dari dokter untuk mencapai perbaikan fungsi seksual.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post