Kasus penganiayaan yang dialami D (17 tahun) pada pertengahan Februari 2023 lalu dengan sebutan ‘Kasus Rubicorn’. Dalam pengamatan Prohealth.id, selama lebih dari dua pekan kasus ini trending di media sosial khususnya di Twitter. Dua pelaku penganiayaan D yaitu MDS dan S, keduanya masih berusia 20 dan 19 tahun. Sementara AGH, pacar dari MDS sekaligus saksi anak yang kini berubah status menjadi pelaku yang berkonflik dengan hukum tentu mengubah bacaan publik terhadap perkembangan kasus ini.
Pelaku MDS menjadi sorotan publik karena selalu memamerkan kehidupan borjuis dan elitis, apalagi dia berstatus sebagai anak dari pejabat pajak kantor Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan. Kasus ini terus bergulir dengan temuan-temuan gaya hidup mewah pejabat pemerintahan sampai dengan pencucian uang yang dilakukan pejabat pajak.
Sampai dengan 6 Maret 2023, kondisi D belum sadarkan diri dan belum ada perkembangan yang signifikan. Pemukulan terhadap D membuat putra pengurus GP Ansor ini mengalami cedera otak yang disebut dengan Diffuse Axonal Injury.
Kondisi D yang sangat memprihatikan dan desakan untuk menjadikan AGH sebagai tersangka makin menguak ditambah dengan tudingan buruk kepada anak usia 15 tahun tersebut. Salah satunya adalah potongan chat WhatsApp yang mengindikasikan keterlibatan AGH untuk melancarkan rencana menganiaya D, apalagi ada motif D diduga pernah melakukan perbuatan tidak baik kepada AGH.
Dikutip dari Youtube Mata Najwa, tim Narasi memberikan ruang bagi keluarga AGH, pelaku yang berkonflik dengan korban D melalui kakaknya, Ivana Yoan Haryanto. Dalam video tersebut, Ivana sebagai perwakilan AGH mengatakan, anak 15 tahun tersebut terpaksa berbohong oleh kekasihnya MDS untuk menjebak D sehingga terjadilah penganiayaan tersebut.
Kasus kekerasan fisik, verbal, maupun seksual yang dialami anak-anak adalah fenomena gunung es. Sebelumnya, Prohealth.id menyiarkan rilis dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang menyatakan selama dua bulan awal tahun 2023 sudah ada 10 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Jumlah korban dari 10 kasus tersebut bahkan mencapai 86 orang.
Berangkat dari sejumlah temuan itu, Prohealth.id mewawancarai Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi untuk menguak alasan-alasan maraknya kasus kekerasan pada anak. Berikut isi wawancara tersebut.
Menurut Kak Seto, apa yang membuat anak memiliki kecenderungan melakukan kekerasan? Berkaca dari kasus MDS ini, akankah ada pola salah asuh dari orang tua?
Memang peristiwa kekerasan yang dilakukan anak atau mantan anak termasuk orang dewasa saat ini cukup tinggi kekerasan ini termasuk juga pada masa pandemi. Masa pandemi Covid-19 orang terkungkung, orang tidak bisa kemana-mana, tidak bisa berkreativitas, atau berhubungan sosial. Akhirnya banyak orang-orang yang mudah frustasi atau reaksi terhadap frustasi negatif melahirkan tindakan agresivitas dengan cara keliru. Misalnya; kekerasan pada anak meningkat, perceraian meningkat, perceraian tentu bermula dari kekerasan fisik, kekerasan psikologis, konflik dan kemudian bercerai, dan sebagainya. Yang harus kita lihat bagaimana isi pendidikan kita. Pendidikan kita yang informal yaitu saat berada di dalam keluarga, tetapi bisa non formal di sanggar-sanggar, atau formal yaitu di sekolah.
Kita juga sudah tahu apa yang dicanangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kita, bahwa isi pendidikan di Indonesia ada lima. Ini yang sering dilupakan.
Apa sih Kak, isi lima pilar pendidikan di Indonesia?
Pertama, etika. Etika itu adalah sopan santun, saling menghormati, saling bekerja sama, dan sebagainya. Itu sering dilupakan.
Kedua, estetika. Estetika adalah keindahan, kerapihan, suatu unsur seni atau art, yang menekankan pada keindahan, kerapihan, dan sebagainya. Ini termasuk bertingkah laku, bertutur kata, dan sebagainya.
Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi. Apakah itu matematika, fisika, biologi, dan sebagainya, itu materi pelajaran hanya itu yang ditekankan. Kerap anak dilihat rankingnya, dipuji oleh orang tua kalau matematika bagus.
Keempat, isi pendidikan adalah nasionalisme. Yaitu selain bangga pada Indonesia, sebagai tanah air kita semua juga nasionalisme unsur Bhinekka Tunggal Ika yaitu kemampuan menghargai perbedaan. Kemampuan dalam perbedaan itu ada suatu kesatuan. Jadi, jangan terlalu menekankan perbedaan, jangan saling membandingkan. Jangan terlalu banyak nyanyi wong dibanding-bandingke. Jadi jangan membanding-bandingkan anak pintar dan kurang pintar.
Kelima adalah kesehatan. Bukan hanya kesehatan fisik tetapi juga kesehatan jiwa, kesehatan mental. Orang yang sehat mentalnya, tidak mudah baper. Tidak mudah emosi, tidak mudah melakukan reaksi dendam, benci, dan sebagainya. Semua tentu diajarkan di semua agama.
Wah, banyak dan bagus semua. Lantas apa yang masih kurang membuat anak masih ada temuan melakukan kekerasan?
Nah, ini kelima masih ada yang pincang, kadang masih IPTEK saja yang ditekankan. Jadi, hal-hal yang tadi yakni etika, mereka yang mungkin kurang pintar, tetapi ada sopan santun harusnya dijadikan penilaian, ranking. Yah, tetapi ranking juga kadang menjebak, seolah hanya satu sisi saja yang dinilai. Tunjukkan ini kebanggaan setiap murid.
Lalu estetika, adalah mereka yang pintar menari, pintar menyanyi, pintar menggambar, pintar main musik, harus dapat apresiasi. Setiap anak harus penuh rasa syukur bahwa inilah ciptaan Tuhan yang terbaik dengan keunikan masing-masing.
Semua dari sisi pendidikan itu sudah ada. Teori ada, panduan juga sudah ada. Tetapi praktik yang kurang mendapat perhatian.
Di sisi lain kita punya karakter Profil Pelajar Pancasila. Itu juga ada enam.
beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif, seperti dikutip dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Pertama, beriman, bertakwa, akhlak mulia. Itu etika bagus. Lalu kedua kebhinekaan global, saling berbeda tetapi dasarnya sama. Ibaratnya aneka bunga di taman semua indah tidak hanya salah satu saja. Ketiga adalah gotong royong. Kemampuan bekerja sama ini, sering dilupakan.
Keempat adalah kemandirian. Kelima adalah kreativitas. Keenam adalah bernalar kritis. Nah, kritis itu berani mengoreksi. Kritis terhadap sesuatu yang keliru. Ini tidak benar.
Jadi respon anak, apakah itu sakit hati, benci, ini sudah ditanamkan solusinya dalam Profil Pelajar Pancasila. Saat ini orang dendam, benci, dalam kasus MDS tadi mungkin dia benci karena pacarnya [mengalami perilaku tidak baik] jadi mungkin belum bisa terima. Tetapi ia [MDS] mudah tersulut emosinya. Kemampuan membangun kecerdasan emosional ini sering dilupakan hanya kecerdasan kognitif saja. Kecerdasan emosional, kecerdasan moral, kurang ditekankan dalam sistem pendidikan kita, baik di informal maupun formal tadi.
Jadi, kesimpulannya rasa benci, dendam ini karena kecerdasan emosionalnya yang tidak diolah, ya?
Ya inilah yang mengakibatkan benci, dendam. Kalau sudah marah, apapun juga dilakukan. Ini juga ditunjukkan dalam kasus sekitar, misal seorang jenderal membunuh ajudannya, dan banyak sekali. Mungkin orang tuanya memaki pembantu rumah tangganya, memaki atau memukul. Jadi kurang ada rasa empati, rasa kasih sayang, kekuatan cinta, ini tidak dibangun. Ini kalau dibiarkan dia akan melahirkan generasi kekerasan dan ini mengancam persatuan bangsa. Sehingga mudah terjadi konflik antar suku, antar agama, antara kelas sosial, dan sebagainya. Jadi ini fenomena gunung es. Nun jauh disana, di Maluku, Papua, Aceh, mungkin tak tercium media, tidak diketahui.
Kelemahan lain kemampuan membangun komunikasi. Dalam keluarga, orang tua mimpi punya anak penurut, kalau anak protes, bersuara, tidak boleh, kamu masih kecil. Kalau dibiasakan ada Ngobras, ngobrol bareng asik, atau rapat keluarga, jadi anak merasa dihargai hak-haknya. Hak didengar suaranya adalah hak anak harus dibangun komunikasi, tidak mudah salah paham.
Jadi membangun komunikasi persahabatan harus dibiasakan, agar kita tidak panen generasi yang penuh dengan nuansa kekerasan.
Berkaitan dengan kecenderungan narsisme anak yang memamerkan status sosial, kekayaan, dan cenderung menindas. Apakah ada riset-riset bahwa terjadi kesenjangan sosial antar anak karena berorientasi materi?
Sebetulnya, saya sendiri banyak menemui anak anak kelas menengah atas bergelimang harta, tetap baik, punya etika. Di sisi lain, ada anak-anak penuh kekurangan misalnya anak jalanan melakukan tindakan kekerasan. Intinya adalah, mohon setiap anak dihargai potensinya. Begitu anak tidak pede [percaya diri], dia mencari kompensasi, bisa pada kekayaan, kekuatan. Nah, kekuatan itu misalnya untuk anak dari ekonomi bawah, kekuatan itu dia katakana, “Ayah saya preman. Saya banyak teman, saya bisa melakukan kekerasan.” Jadi anak cenderung melakukan kompensasi dengan yang dia mudah dilakukan tetapi dari unsur kelebihan yang bukan kelebihan dirinya tetapi kelebihan orang tua, kelompoknya, dan sebagainya. Itu yang saya anjurkan setiap orang tua temukan keunikan, kehebatan, setiap putra dan putrinya. Bahwa semua orang tidak harus jadi Albert Einstein, bisa jadi Mozart, jadi Bethoven, bisa menjadi Ronaldo, Messi, bisa juga Michael Jackson. Bahwa semua hebat. Jadi keunikan setiap anak ini akan membawa kebanggaan tiap diri manakala mereka mandiri kuat, mereka pede, dan bisa ikuti hati nuraninya.
Selain kasus kekerasan fisik, lingkungan sekolah juga masih rentan kasus perundungan atau bullying. Bagaimana Kak Seto menyikapi hal tersebut?
Setiap anak pada dasarnya unik dan tak tergantikan. Seperti kasus-kasus perundungan, bullying itu. Salah satu alasannya pada anak pelaku bullying itu dia merasa rendah diri, kurang pintar, kurang cakep, makanya itu perlu dalam mendidik anak-anak semua anak hebat. Kamu semua, hebat. Kamu semua unggul pada bidang masing-masing. Jadi jangan mimpi punya anak penurut, tapi anak yang bisa bekerja sama. Ini juga berlaku untuk menumbuhkan spiritualitas. Misalnya keinginan anak ke gereja, ke masjid, itu juga bukan karena tekanan atau perintah orang tua tapi juga dia merasa dekat dengan Tuhan, maka dia menjadi lebih produktif, dan lainnya. Itu yang perlu ditekankan.
Kasus kekerasan D ini ihwalnya juga tak jauh dari asmara remaja. Bagaimana Kak Seto menilai fenomena gaya pacarana anak dan remaja zaman sekarang? Apalagi, selisih usia pelaku MDS dan AGH ini jauh. AGH masih pelajar.
Memang sebaiknya pada usia yang tepat (untuk pacaran) jangan pada usia anak. Dorongan libido sudah muncul, ada potensi terjadi tindakan yang dari segi moral sebagai pelanggaran. Kalau harus ada hubungan lawan jenis, ya pada saat usia sudah lebih matang. Misalnya SMA jelang masuk mahasiswa, itu baru relatif akan lebih stabil, kontrol dan pengendalian dirinya. Aspek-aspek logika juga harus diperhatikan bukan aspek emosionalnya saja.
Apakah hubungan pacarana MDS dan AGH ini bisa tergolong child grooming?
Ya karena bujuk rayu, berbagai hal lain bisa saja terjadi. Maka kontrol orang tua berperan, khususnya pada asmara remaja. Kita di satu sisi kampanye jangan terjadi perkawinan anak, tetapi kita lupa bagaimana menjaga nilai etika, moral, terhadap hubungan lawan jenis. Para remaja ini sebaiknya lebih diarahkan mengembangkan potensi masing-masing. Ke sanggar bukan itu saja belajar, tetapi ke sanggar tari, sanggar musik, olah raga.
Di Jakarta ada gelanggang remaja, itu bisa diaktifkan kembali. Di daerah lain juga sama sehingga dinikmati semua kalangan dan ada upaya mempersatukan perbedaan lapisan tadi.
Penghakiman massa kepada sosok AGH yang masih usia 15 tahun ini apakah tidak melanggar hak anak? Adakah batasan dalam UU Perlindungan Anak atas perlakukan netizen yang membombardir kecaman pada anak usia 15 tahun tersebut?
Jadi, definisi anak adalah usia 18 tahun ke bawah, apalagi ini 15 tahun dan perlu dilindungi dari tindakan kekerasan termasuk tindak kekerasan media sosial. Harusnya dari awal, identitas korban saksi mohon disimpan dan tidak disebarluaskan karena media sosial ini ada nilai positif dan negatif.
Positif bisa membuat popularitas anak, tapi bisa juga menghancurkan konsep diri seorang anak karena diadili oleh netizen. Jadi, dalam konteks anak ini wajib dilindungi untuk tidak gencar pada media sosial, supaya anak-anak yang menjadi korban dan pelaku harus tenang dengan dirinya.
Lalu ajak netizen untuk mengontrol juga unsur kecerdasan emosional dan tidak menjadi hakim jalanan. Serahkan semua ke hukum. Ada UU Perlindungan Anak, dan ada UU Sistem Peradilan Anak. Jadi anak itu kalaupun harus dalam tanda kutip dipidana, itu pidana yang membuat anak tak terpuruk tapi rehabilitas dari kelakuan yang salah.
Berarti ada kemungkinan diurus dengan UU Peradilan Anak, ya?
Iya, termasuk juga sebagai contoh anak mencuri, anak teroris, anak yang bapak ibunya melakukan tindak kejahatan. Ini anaknya dilindungi jangan sampai terkena sasaran tembak, perundungan, dan ini bagian pemenuhan hak anakyang ada di Indonesia dan dijamin oleh UU.
Seperti perubahan status AGH dari saksi jadi pelaku berarti dia bisa melalui proses Sistem Peradilan Anak?
Jadi bisa, seperti yang saya tangani kasus anak 15 tahun dia membunuh. Ternyata karena dia korban kejahatan seksual yang membuat dia hamil dan itu tidak diketahui orang tua dan keluarga. Akibatnya terdorong balas dendam dengan cara yang dia bingung, dia membenamkan pelaku dalam bak mandi sampai meninggal. Dalam proses peradilan anak kasus ini juga diserahkan ke rumah aman. Agar dia [pelaku] bisa melahirkan bayi hasil kejahatan seksual dan bisa menerima anaknya, itu karena rehabilitasi oleh hukum, sesuai Undang-undnag dan dorongan Kemensos.
Kemarin, dari data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) awal tahun ini ada 86 anak korban pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Bagaimana menjamin anak-anak bebas dari ancaman pelecehan dan kekerasan seksual?
Iya, kita ini kadang terpaku pada peran pemadam kebakaran. Begitu kejadian semua ribut, tetapi langkah di hulu sering dilupakan. Langkah preventif, bagaimana mendidik anak, pelatihan, simulasi, pada anak menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual. Makanya ini bukan sekadar kekerasan tapi kejahatan seksual, karena dilakukan dengan cara kekerasan, bujuk rayu, grooming, seolah memberikan perhatian, kasih sayang tetapi minta imbalan dengan cara yang tak terduga.
Kepada anak-anak perlu dilakukan simulasi. Jika mereka [anak-anak] dipegang harus berani mengatakan tidak. Anak harus diajarkan bernai teriak, melarikan diri, itu dilatihkan kepada anak.
Seperti bagaimana anak menghadapi penculikan, bagaimana menyingkap kaki penculik, perlu sekali jadi langkah preventif kepada anak supaya bisa melindungi organ vital tubuhnya.
Pendidikan seksualitas ini dilupakan karena mengajarkan hubungan seks. Bukan, mengajarkan tentang kesehatan dan keamanan organ tubuhnya sendiri termasuk organ seksualitasnya. Hal itu kadang dilupakan. Maka, anak anak harus jadi baris pertama yang bisa melindungi diri sendiri. Kedua, lingkunan juga dikampanyekan, predator seksual itu cukup banyak mengintai dari orang di sekitar anda. Di lembaga RT RW juga ini dihidupkan. Kemudian di sekolah diadakan semacam Satgas Anti Kejahatan Seksual. Ini selalu ingatkan siswa dan guru agar tak terjebak sebagai pelaku kejahatan seksual.
Menurut Kak Seto, apakah ada kecenderungan anak defensif, tidak berani melaporkan kejahatan seksual karena takut respon keluarga akan kembali melakukan kekerasan? Jadi ini seperti rantai kekerasan?
Memang di beberapa tempat misalnya dengan atas nama menjaga nama baik, dan sebagainya. Tetapi ibaratnya kata bijak melindungi anak itu perlu orang sekampung, bukan orang tua, tetapi semuanya.
Ada pasal dalam UU Perlindungan Anak menyatakan; siapapun yang mengetahui kekerasan terhadap anak, atau kejahatan seksual, diam saja, tidak berusaha menolong atau melapor, dia tidak bisa dibiarkan saja, ada hukuman dan minimal 5 tahun penjara. Jadi berarti kita semua diwajibkan peduli melindungi anak, bukan karena ‘itu kan bukan anak saya’.
Adakah usulan dari Kak Seto supaya orang sekampung bisa melakukan perlindungan anak?
Semua anak wajib dilindungi. Maka kalau perlu di setiap RT ada SPARTA yaitu Seksi Perlindungan Anak Rukun Tetangga. Dengan demikian [kasus pada anak] dengan melapor ke Seksi SPARTA ini.
Saat ini SPARTA ada di Kota Tangsel sampai mendapatkan rekor MURI, lalu ada di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bitung. Ini jadi langkah karena kalau ke polisi ada yang takut. Kalau ke KPAI [Komisi Perlindungan Anak Indonesia] jauh.
Pewawancara: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post